“Hujan adalah berkah,
berbahagialah.”
Ufa tersenyum, teringat kata-kata
bapaknya beberapa hari ke belakang. Ditatapnya langit yang bergelayut awan,
angin kencang dan hawa hujan yang tak lama lagi akan datang. “Hujan, datanglah.
Berkati aku, berkati perut keluargaku, terutama adikku.” Ufa berdoa, di dalam
hati. Dicarinya Tuhan di balik awan-awan, semoga doa-doanya didengar.
“Bapak, sebentar lagi hujan. Ayo,
siapkan payungnya.” Ufa meraih payung di sudut tembok pagar, bapak hanya
tersenyum kemudian tengadah menatap langit, memanggil hujan. Tongkat kayu
menyangga tubuhnya digepit di ketika kiri dan kanan. Kedua kakinya sudah hilang
sejak belasan tahun silam, patah ketika terjatuh di sebuah proyek bangunan.
Dokter mengamputasi kakinya sebatas paha.
“Hujaaaaaaaan…” Teriak Dino, sahabat
Ufa. Keduanya membuka payung, memburu orang-orang, menawarkan jasa ojek payung.
“Terimakasih Tuhan.” Nina bergumam.
Kata-kata bapak memang benar, hujan
adalah berkah, Tuhan memiliki banyak cara untuk member rezeki, salah satunya
melalui hujan, itu yang saja mampu Ufa pikirkan. Selebihnya rasa riang yang tak
beralasan. Payung segala macam payung terkembang di pelataran mall besar. Hujan
jatuh tak tertahan, deras bukan alang kepalang.
Nalar
terjebak di gedung megah salah satu pusat perbelanjaan. Matanya tak pernah
diam, terus berlarian menatap papan iklan, barang-barang pajangan dan etalase
yang selalu kental dengan rayuan.
“Di
sini hujan sayang, kayaknya aku bakalan telat. Ga apa-apa kan?” Nalar cemberut,
merayu pacarnya di seberang sana, agar sudi mengulur waktu, lebih lama
menunggu, “Iya nanti aku bawain.” Nalar melipat handphone, matanya kembali
berlarian menatapi papan iklan di dinding gedung, menatapi orang-orang yang
bersedekap terjebak hujan.
“Payung,
payung.” Teriak anak-anak kecil, berebut tangan orang-orang.
Siapa
saja yang keluar dari gedung itu, akan disambut para penjaja payung yang
memagar di sepanjang pelataran. Mereka terlihat riang menikmati hujan,
bersyukur dengan setiap bulir dan dinginnya yang terus deras berjatuhan.
Nalar
berjalan ke beranda, terselip-selip di antara kerumunan. Ufa di seberang
pelataran mengintainya, menatapnya penuh harapan. Tubuhnya sudah kuyup disergap
hujan. Tangannya bergetar menahan dingin, erat menggenggam payung penuh
harapan.
“Payung
Kak, payung.” Ufa berlari memburu Nalar.
Tidak
hanya Ufa yang memburu Nalar, semua penjaja payung juga memburunya, menawarkan
ojek payung. Nalar tersenyum, ditolaknya tawaran mereka semua. Tatapan Nalar
bertumbukan dengan harapan di mata Ufa. Nalar tidak peduli, Ufa hanyalah
penjaja payung di antara sekian banyak ojek payung yang mendadak bertebaran di
saat hujan. Mereka seolah datang dari langit, dilahirkan dari rintik dan menari
di atas genang. Penuh riang menikmati berkah hujan.
Ufa
tidak beranjak, disodorkannya payung besar berwarna hijau. Matanya penuh rayu,
penuh harap, penuh doa agar Nalar entah bagaimana caranya segera berlari ke
bawah payungnya, berlindung dari hujan. “Payung Kak…” Bisik Ufa, bergetar.
Nalar tidak peduli, tatapnya acuh.
“Aku
masih di sini, hujannya gede banget. Gimana
dong?”
Nalar
kembali berbicara dengan pacarnya melalui handphone,
sudah lebih dari 1 jam Nalar berdiri di beranda, di anak tangga, di antara
sekian banyak tawaran ojek payung yang ditolaknya. Ufa sudah menawarkan
payungnya kepada siapa saja, tidak satu pun berjodoh dengan doa-doanya.
Payungnya tak juga berlayar membendung hujan.
“Payung
Kak, payung.” Ufa kembali membujuk,
Nalar tetap menolak.
Ufa
berlari memburu orang lain, menawarkan payung, hanya tolak dan tepis yang
diterimanya. Kembali dicarinya kemungkinan di pelataran mall, “Apakah payungku
jelek?” Ufa menurunkan payung, menatapnya, menyelidik, sama saja seperti payung
yang lain, tidak jelek, tidak robek. Ufa terus berburu, dari kedalaman hatinya
doa-doa tak pernah berhenti diterbangkan ke awang-awang.
Di
sudut jalan, di bawah pohon rindang yang tak lagi menyelematkan siapa saja dari
hujan, bapaknya mengawasi penuh harapan. Jika saja kedua kakinya masih utuh,
tentu payung itu akan berada di tangannya, menjadi dewa nasib yang memberinya
rezeki di celah penghujan.
“Sial,
benci gue kalau hujan begini.” Nalar mengumpat, wajahnya diluapi kesal.
Hujan
bagi sebagian lain menjadi peristiwa yang menyebalkan. Nalar membenci hujan,
seperti hari ini hujan sudah membuatnya teramat kesal. Berjalan dalam deras
hujan, bagginya bukan pilihan. Di jalanan sana, ada air deras yang menjijikan,
cipratan pelimbahan yang membuat gatal-gatal, sampah yang berseliweran.
Tapi
di seberang sana, kekasihnya sedang menuggu. Suaranya tadi ketika menelpon
sudah terdengar kesal. Seharusnya hujan tidak pernah turun, tidak pernah datang
di waktu seperti itu, Nalar mendongak, ditatapnya hujan dan langit yang masih
hitam.
“Sebel!”
Nalar terlihat geram, “Payung…” Nalar melambaikan tangan, memanggil penjaja
payung. Ufa segera memburunya, bola matanya penuh binar.
Langit
berhujan, kelam, dingin, kejam, menelagakan kesal di dalam pikiran Nalar.
Sementara Ufa merasa terlempar ke tempat paling benar, ke cahaya terang, ke
ruang hangat dan tenang. Disodorkannya payung besar berwarna hijau, diurainya
senyum riang lebar-lebar. Didengarnya doa-doa yang sejak tadi dipanjatkan.
“Terimakasih
Tuhan” Ufa menatap langit, dititipkannya rasa terimakasih kepada hujan. Kaki
mungilnya melangkah cepat, ikuti Nalar dari belakang. Hujan, dingin dan rasa
lapar merobek-robek tubuhnya dari dalam.
Ufa
terus berjalan di antara hujan, menguntit Nalar yang kesal menembus genang air
pelimbahan. Nalar sudah sampai di tempat tujuan, diburunya taksi kosong di
pinggir jalan. “Berapa Non?” Nalar menyodorkan payung, tubuhnya sudah berada di
dalam mobil.
“3000
rupiah, Ka.” Diraihnya payung yang terlipat, diterimanya dua lembar uang
kertas, seribu rupiah dan dua ribu rupiah.
Hujan
semakin deras, langit semakin kelam, lampu jalan tak cukup terang, jarak
pandang kian berkurang. Nalar sudah berlayar di atas genang, menuju entah ke
mana bersama rasa kesal, bersama rasa sebal. Ufa menatap dua lembar uang
kertas, mulutnya tersenyum riang, sangat riang.
“Lumayan…”
Gadis kecil bergumam.
***
“Payung,
payung.”
Para penjaja payung berpesta dalam
deras hujan, dunia mereka sepenuhnya sempurna, mengalir deras menuju mimpi.
Semakin deras, semakin lama hujan berjatuhan, semakin banyak recehan yang bisa
dikumpulkan.
“Aku udah dapet lima!” Teriak
seorang bocah lelaki, kepada temannya di seberang jalan. Hanya jempol yang
diacungkan ke awang-awang yang menjadi jawaban dari seberang jalan. Mereka
saling tersenyum, lalu kembali berburu recehan. Kota semakin gelap, hujan
menyerap segala cahaya. Arus kendaraan mengalir cepat, tidak ada kemacetan,
hanya sinar lampu yang kencang berlarian, menumbuk riak, menumbuk gelombang.
Gadis kecil, menatapi orang-orang di
beranda, menyapu kemungkinan. Payungnya kembali terkembang erat di genggam
tangan kanan. Tangan kirinya menyimpan uang di plastik hitam. Selembar dua
ribuan telah bersarang aman, selembar seribuan jatuh di atas aspal, terseret
air ke tengah jalan. “Uangku!” Pekik gadis kecil, kemudian berlari mengejar
lembar uang seribuan.
Toooooot!!!
Jedruuugggg.
Bruuuuugghh.
Langit
semakin kelam, gadis kecil tersungkur di tengah jalan, merah darah melukis
deras air pelimbahan. Uang seribuan yang selembar berlayar tak sempat
diselamatkan.
Deras
hujan tak bisa dihentikan.
Belum ada tanggapan untuk "Gadis Payung"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar