IBX582A8B4EDEABB Ibu, Aku Harus Pulang | Info Absurditas Kata Ibu, Aku Harus Pulang - Info Absurditas Kata
Beranda · E-Mail Koran · Info Lomba · Kiat Menulis · Adsense · SEO Youtube · Jasa · Toko · Blog

Ibu, Aku Harus Pulang


Kedua bola matanya sudah berbulan-bulan terpejam, hanya dadanya yang semakin ringkih saja terlihat kembung kepis, lambat sangat lambat. Segala macam panggil, usap, isak dan doa-doa yang berkeliar di sekujur tubuhnya, seolah-olah tak pernah ada. Dunia Tole sudah bertahun-tahun seperti itu, ambruk dalam sakit, menyendiri dalam sepi.


“Sudah kamu bawa ke mana anakmu, Nim?” Tanya Mbah Ugi.

“Sudah habis seluruh harta kekayaan saya, Mbah. Tole tidak kunjung sembuh, kini saya hanya bisa pasrah semoga Allah memberikan kesembuhan untuk Tole.”  Nimah tertunduk, pipinya membelah, pecah diiris linang. Direjamnya segala sakit, di dada paling dalam. Ditahannya segala nyeri, di jantung paling pucuk.

“Kamu berobat ke dokter atau ke dukun?” Mbah Ugi menarik nafas dalam-dalam, ikut bersedih.

“Dokter sudah, dukun sudah. Tidak ada yang bisa mengobati Tole, Mbah. Mereka tidak tahu Tole sebenarnya sakit apa, To…” Nimah tidak lagi sanggup berkata-kata, segala apa yang ingin diucapkan dititipkannya kepada  air mata yang hangat, yang pedih, yang mengiris.

Hening, Mbah Ugi dan kawan-kawannya yang datang menjenguk Tole sejenak terdiam, kata-kata karam di dalam gelas kaca, tenggelam di kebeningan air, tanpa suara. Tole di atas kasur busa, terbaring tenang, tidak pernah bergeliat, tidak sedikit pun bergerak, seperti orang mati jika saja dadanya tidak terlihat kembung kempis.

“Mbah…” Nimah menyulut suara, tenggoroknya seperti bersekat, “Tolong carikan orang yang bisa mengobati Tole, saya akan jual segala apa yang saya miliki agar Tole bisa kembali sembuh.” Nimah mengangkat tatap, sorotnya mengisyaratkan sejuta harap. Mbah Ugi tidak lekas menjawab.

“Hmmm… Mbah pernah mendengar seseorang yang bisa menyembuhkan apa saja tapi…” Mbah Ugi menerawang sejenak, “Tapi… Mbah tidak tahu apakah beliau saat ini masih hidup atau tidak. Cerita tentangnya sudah sangat lama Mbah dengar.” Lanjut Mbah Ugi.

“Siapa Mbah, di mana orang sakti itu?” Warna mata Nimah yang sudah bertahun kelabu, seketika memekat berpulas harapan. Diusapnya jejak air mata dengan kain baju. “Di mana orang itu Mbah, saya akan mencarinya.” Sambung Nimah, ingin segera mendengar perihal orang yang diceritakan Mbah Ugi.

“Beliau… disebut-sebut haji … Haji Madi. Dulu… tinggalnya di kota… Cirebon.” Mbah Ugi terbata merapal ingatan, membongkar memoar. “Ya, beliau tinggal di Cirebon, di kampung Udang.”

“Nanti sore saya akan ke sana Mbah, saya akan mencarinya.” Nimah beranjak dari duduknya, ditatapnya Tole penuh harap. Hatinya buncah dengan harapan yang bersemi, pikirannya terang seolah kembali disisipi matahari. Berjuta matahari.

*****

“Tole, bangun nak.”
Nimah mengusap wajah Tole, ditatapnya tubuh ringkih di balik kain sarung, tubuh yang sudah bertahun-tahun terbaring tanpa gerak, tanpa geliat.

Haji Madi sudah didatangkannya ke rumah, tidak ada perubahan. Tole tak kunjung membaik, sakitnya tetap tak tersembuhkan. Tole seharusnya menjadi anak yang sehat, berlarian riang bersama teman sebaya, pergi ke sekolah atau mencari ikan di empang. Seharusnya dunia ini tidak pernah menghadirkan kejahatan-kejahatan semacam itu kepada Tole, apa salah dan dosanya? Kenapa harus Tole yang menderita sakit tak tersembuhkan itu?

Pertanyaan-pertanyaan itu seolah gelora ombak, menggedor-gedor hati Nimah. Tidak pernah ada jawab untuk segala ratap dan sedih yang bersarang di hatinya. Tuhan tinggal cerita, tak henti namaNya disebut, ditasbih, ditakbir dan ditahmidkan di sepanjang malam, di seluruh siang, hanya sakit berpanjangan yang menjadi kenyataan. Tak sedikit pun kesembuhan yang datang.

Begitupun rutuk dan puruk, tidak menjadi apapun kecuali sesak yang kian berlipat. Hanya menyerah dan menerima, itu saja yang bisa Nimah lakukan, hanya itu. Hidup mungkin tak pernah salah, nasib tak perlu dipertanyakan, setiap orang hanya harus berserah menerima tempuhan.

“Tole…”
Nimah menatapi tubuh Tole yang tertutup kain sarung. Air matanya hari ini, seolah tak bertuan, tak kuasa dibendungnya, mengalir memarit di wajahnya, seperti kuku Iblis yang tajam mencabik membubuh perih. Tidak biasanya, selama bertahun-tahun kesedihan selalu bisa diredakan, ditelannya sendirian. Tapi hari ini, air mata bersekutu dengan seluruh semesta, memarit, menelaga, menyamudera. Tumpah di atas lusuh tikar pandan. Merendamnya di kedalaman perasaan yang gulana.

“Ibu…”
Tole bergumam, setelah bertahun-tahun mulutnya selalu terkatup, lupa pada kata, terasing dari suara. Nimah terburai, diburunya Tole, didekatinya, didekapnya, diusap.

“Tole, kamu bangun Nak? Tole?” Nimah ingin mendengar kata-kata lagi dari mulutnya, Tole membuka mata, tersenyum kemudian semakin tersenyum menatap Nimah dalam tatap yang tenang.  ”Ibu, kita di mana?” Ucap tole, meskipun parau, Nimah cukup jelas mendengarnya.

“Kita di sini, Nak. Di rumah kita…” Nimah menjawab racau.

“Aku harus pulang, Bu.” Tole kembali tersenyum.

“Pulang ke mana, Nak? Ini rumah kita…” Air mata membasuh kata-kata. Nimah berserak menjadi serpih, menjadi pecahan, hatinya terburai-burai dalam kesendirian.

“Jangan sedih Bu, janji ya.” Tole tersenyum, semakin tersenyum.
Nimah menangis, semakin menangis. Tole kembali terpejam, tenang sangat tenang. Tubuhnya tidak bergerak, tidak bergeliat.

Bandung, 05 April 2012

Artikel keren lainnya:

Belum ada tanggapan untuk "Ibu, Aku Harus Pulang"

Post a Comment

Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar