IBX582A8B4EDEABB The Red Shoes | Info Absurditas Kata The Red Shoes - Info Absurditas Kata
Beranda · E-Mail Koran · Info Lomba · Kiat Menulis · Adsense · SEO Youtube · Jasa · Toko · Blog

The Red Shoes



Tidak lama lagi, Nina genap berusia 11 tahun. “Ayah besok aku ulang tahun, aku ingin hadiah sepatu.” Bujuknya di sebuah pagi ketika kalender memampang angka 12 di bulan Maret.
Aku dan istriku, Natali, sama-sama tersenyum mendengar rengekan mungil itu “Ulang tahun kamu kan masih 3 hari lagi.” Natali menggoda.

“Ayah suka lupa sih.” Keluh Nina, wajanya kusut.
“Nggak dong, Ayah ga akan lupa, janji deh.” Jawabku, merayu.
“Pokoknya Ayah ga boleh lupa.” Nina menelusup ke dalam selimut.
“Iya, Ayah ga bakalan lupa kok.” Natali meyakinkan
Nina masih menikmati selimutnya, kemudian tersenyum ke arah suaraku, Natali berbaring di sisi kiri Nina, mengusap-ngusap rambutnya. Tangan-tangan mungil Nina perlahan mengurai selimut, mendorongnya dengan kaki, hingga melorot di ujung tempat tidur. Tangannya terapung, meminta sebuah pelukan seperti pagi yang kemarin, kemarinnya lagi dan kemarin dari kemarinya lagi.
“Nina mau dipeluk ama siapa, Ayah apa Bunda?”
“Dua-duanya.” Nina tersenyum, tangannya masih melayang. Aku dan Natali memeluknya berbarengan.
“Ayo bangun sayang.” Natali mengurai pelukan.
“Peluk lagi…” Nina merengek.
“Ciumnya nggak?” Natali merengut.
“Iya dong…” Nina memelas manja.
Natali mencium kening Nina. “Ih bau, mandi dulu yuk.” Godaku. Aku memeluknya, menciumnya, kemudian membopongnya ke kamar mandi.
Hari sudah beranjak siang ketika Nina telah disulap ibunya menjadi ratu paling cantik di jagat raya ini. Rambutnya tergerai sebatas bahu, aroma wangi buah-buahan memendar dari celah-celah lembut rambutnya. Seragam sekolah sudah sempurna dikenakannya.
Aku akan menatapnya, terus menatapnya sampai kemampuan menatapku hilang dan jika mungkin berpindah di kedua bola matanya, agar Nina tahu bahwa dirinya adalah yang tercantik bagiku dan Natali tentunya, selama sembilan tahun Nina selalu menjadi yang tercantik di rumah ini, tidak hanya sembilan tahun tapi selamanya.
“Ayah, jangan lupa ya. Awas kalau lupa!” Nina masih mengancam
“Sepatu kan? Nggak dong, nggak mungkin Ayah lupa.”
“Janji?” Nina berjalan mendekat, tangannya melayang-layang, mencari tanganku ingin menggenggam, ingin aku berjanji.
“Iya sayang, Ayah janji.” Kugenggam tangannya yang melayang-layang di udara. Nina tersenyum, wajahnya terlihat cerah, sangat cerah. Cahaya riang terpancar dari wajahnya, merayap meresap ke dalam hatiku.
“Ayah…”
“Iya sayang?”
“Bagaimana kalau nanti siang kita jalan-jalan ke kota?” Tangan mungilnya semakin erat menggengam tanganku, kepalanya tertunduk diberati harapan.
“Jalan-jalan ke kota? Mau ngapain kita ke kota?”
“Hmmmm, mau beli sepatu…”
Apa yang tidak? Untukmu Nina, aku dan Natali akan melakukan apa saja, apa saja. Akan tetapi kali ini, permintaan-permintaan kecil itu membubuh nanar, membuatku sasar.
“Berdua?” Tanyaku
“Iya, berdua. Mau kan?”
“Bunda ga diajak?”
“Ajak jangan? Ajak? Jangan?” Nina menimang-nimang, Natali merengut menatapi Nina.
“Iya deh, bunda juga harus ikut.” Nina tersenyum.
“Asyik, kita jalan-jalan ke kota.” Natali memeluk Nina dari belakang. Nina tersenyum, bersorai, melompat, riang, sangat riang.
“Eh, kita pakai motor kan? Aku nggak mau pake angkot, gerah.” Sambungnya.
“Iya Sayang, pake motor kita.”
“Tapi aku mau duduk di depan.”
“Ga mau di tengah?”
“Nggak ah, bosen di tengah terus. Sekali-kali aku ingin di depan.” Nina merengek, kepalanya tertunduk penuh harap aku mengabulkan permintaan-permintaan kecilnya itu.
“Iya deh, kamu di depan.” Aku mencubit pipi Nina, gemas. Kemudian membawanya ke halaman, berdiri di depan pagar rumah. Tidak lama lagi, bus sekolah akan menjemputnya, tepat jam 8 pagi.
Nina sangat riang. Dari sudut-sudut mataku, aku melihat senyuman terus berlarian dari celah bibirnya, menjadi genang telaga di wajahnya yang tenang dan pagi ini terlihat sangat riang.
            “Nina, ayo siap-siap sebentar lagi busnya datang.”
            Jam di tembok sudah jatuh di angka 7 lebih 30 sebentar lagi bus sekolah menjemput Nina. Natali menggendongnya, membawanya ke beranda, menunggu suara mesin bus yang meraung-raung dan klakson yang setia memanggil.
***

“Ayah, kenapa berhenti? Lampu merah ya?” Nina menoleh ke belakang, ke arah wajahku. Aku menatapnya, aku menatap lampu lalu lintas, warna merah menyala terang, sementara lampu hijau dan kuning meredup kelam.
“Pinter kamu, iya sekarang lagi lampu merah.”
“Masih lama?” Tanya Nina.
“60 detik lagi.” Aku membaca waktu lampu merah yang tergantung di atas jalan, angka digital yang juga berwarna merah.
“Yah, lama. Satu menit.”
“Kok 1 menit?”
“Iya dong, 60 detik itu kan 1 menit, kalau 1 jam itu 6 menit atau 360 detik.” Nina pamer kepintaran, rumus-rumus ilmu hitung memang perkara mudah untuknya, Nina bahkan mampu menjawab hitungan dengan dijit besar secepat kalkulator. Perkalian, pembagian, kurang dan tambah, Nina bisa melahapnya dengan mudah. Aku dan Natali sendiri, seringkali kewalahan meladeni kecerdasan Nina.
“Ayah, ayo maju. Sudah 1 menit.”
Aku tersentak, Nina begitu tepat menduga, angka di papan waktu benar-benar menunjuk detik nol ketika Nina mengatakan itu. Aku memacu sepeda motor, menuju toko sepatu anak-anak di pusat kota.
“Ayah, kita ke mall aja yuk.” Natali berbisik.
Aku berbelok, ikuti rambu, telusuri denyut kota, Nina menikmati terpa angin yang menarik-narik rambutnya. Tidak lama lagi, kami akan tiba.
Bayang-bayang Nina terjerat kaca, terlihat sempurna, aku menatapnya. Nina menggenggam lenganku, menggenggam lengan Natali. Mall terlihat sesak, dikunjungi banyak orang, anak-anak kecil berlarian di depanku, berkejaran. Nina menoleh ke kiri dan ke kanan, memerhatikan suara-suara. Toko sepatu anak-anak sudah di depan mata. Hanya ada seorang ibu bersama anak perempuannya, usia anak itu kurang lebih satuh tahun lebih tua dari Nina. Mereka memilih-milih sepatu di atas rak.
“Ibu, aku gak suka warna hijau. Cari sepatu lain yuk,” Rengek anak itu, tangannya menunjuk ke arah sepatu merah di rak yang lain “Itu Bu, lihat sepatu merah itu pasti bagus.” Serunya, riang. Nina menoleh ke arah mereka.
“Bunda, sepatunya cari yang bagus ya.” Bisik Nina. Natali memilih-milih sepatu di atas rak, hijau, biru, ungu, kuning, coklat, merah, segala warna sepatu ada di sana.
“Bunda dapet…” Natali merogoh sepatu dari rak.
Tangan nina melayang-layang di udara ingin menyentuh sepatu pilihan Natali, “Bagus nggak Bun?” Nina memegangi sepatu itu.
“’Bagus banget, coba kamu pake deh, pasti kelihatan cantik. Ummmm… seperti putrid salju.” Natali menurunkan Nina dari pangkuannya.
“Ayah, sepatunya bagus kan?” Nina memakai sepatu itu, kakinya bergerak-gerak menikmati sepatu baru,
“Bagusan warna coklat, sepatu merah itu kurang pas buat kamu.” Ibu-ibu di sebelah Natali menaruh sepatu merah ke rak. “Tapi aku mau warna merah.” Jawab anaknya, matanya melirik kea rah Nina.
Nina mendongak, menoleh ke arah mereka. Kemudian terduduk, sepatunya dilepaskan, wajahnya seketika berubah mendung.
“Bunda…” Nina menyodorkan sepatu yang tadi dicobanya.
“Sepatunya pas kan?” Natali menyimpan sepatu itu di sebelah.
“Aku ingin sepatu merah.” Nina merengek.
Natali menatapku, aku merasa pecah, sangat pecah. Nina bisa membedakan apa saja. Membedakan aku dari orang lain, membedakan uang sepulur ribuan dan dua puluh ribuan, membedakan coretan tinta dan pensil, menghitung super cepat seperti kalkulator, tapi Nina tidak akan pernah mungkin membedakan warna-warna. Hijau, merah, ungu, kuning, biru, putih, apalah arti deret semua warna itu. Di mata Nina, segalanya hanya hitam, kelam.
“Ayah aku ingin sepatu merah.”
Rengekan itu, seperti suara-suara yang kekal, bergema dari sudut hati ke sudut hatiku yang lain. Tidak akan hilang, tidak akan pernah. Aku terpejam, bola mataku tertutup, hanya kelam, hanya hitam yang kusaksikan. Tidak  ada merah, ungu, kuning dan biru. Tidak ada warna
“Seperti ini kah duniamu Nina?”
Aku menjerit, tanpa suara.


Artikel keren lainnya:

Belum ada tanggapan untuk "The Red Shoes"

Post a Comment

Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar