Kabut
masih menyelimuti kota Anarka ketika Sadun memulai rutinitasnya untuk berlari
mengelilingi pemukiman. Lari pagi sudah rutin dilakukannya setiap pagi,
orang-orang di kota itu juga sudah mengetahui kebiasaannya.
“Selamat pagi Pak Narto…” Sadun tersenyum, tanganya melambai ke arah beranda rumah bercat
kuning.
“Pagi
Nak…” Pak Narto menurunkan koran yang sedang dibacanya, tangan kanannya
melambai ke arah Sadun. Seorang lelaki lain terlihat sedang memanaskan mobil di
pekarangan rumah Pak Narto.
Sweater
abu-abu bertulisan “Freedom” dikenakan Sadun pagi itu, berpadu dengan topi
hitam polos. Training hitam dengan tiga garis putih memanjang ke bawah
dipadukannya dengan sepatu cats berwarna putih. Mengelilingi pemukiman kota itu
hanya butuh waktu 15 menit dengan berlari santai dan Sadun akan memutari
pemukiman selama 1 jam itu berarti 4 putaran.
Tidak
hanya Sadun yang terlihat selalu berlari pagi di kota itu, ada beberapa lelaki
lain yang juga melakukan aktifitas sama, ada juga perempuan.
“Pagi
bang Sadun, sehat nih lari tiap pagi.” Eva tersenyum ke arah Sadun, mereka
berpapasan di jalan. Sayur-sayuran segar terlihat penuh di keranjang belanja
Eva. Sadun tidak berhenti, hanya tersenyum hangat, melambaikan tangan dan balik
menyapa.
“Selamat
pagi Eva, mengonsumsi sayur itu bagus untuk kesehatan.” Jawab Sadun sambil
berlalu.
Tidak
lama lagi, Sadun akan menghabiskan putaran pertama. Di belakangnya seorang
lelaki terlihat ngos-ngosan, keringatnya membasah di dadanya yang dibungkus
sweater putih.
“Mario!”
Sadun memercepat langkah, dikejarnya Mario.
“Halo
sobat, masih rutin lari pagi nih.” Mario menoleh ke arah Sadun kemudian
mengikuti berlari santai.
“Iya
dong, tumben kamu lari pagi, ada apa nih?” Sadun menelisik pakaian Mario dengan
sudut mata. Dari cara berpakaiannya Mario terlihat seperti akan berolahraga
meskipun Sadun tidak pernah melihatnya berlari pagi.
“Iya
nih, kantor mau ngadain acara pertandingan antar perusahaan. Aku kepilih secara
acak buat jadi tim sepak bola. Sial!” Mario terlihat ngos-ngosan. Wajahnya
memerah.
“Bagus
dong. Makanya siapain fisik dari sekarang.” Sadun mulai berkeringat.
“Gila,
baru 5 menit udah ngos-ngosan.” Mario memerlambat langkahnya.
“Aku
duluan ya. Semangat Sob!” Sadun melambaikan tangan, Mario tertinggal di
belakang.
Mario
berhenti di pinggir jalan, tangannya memegangi lutut, dadanya terlihat naik
turun sangat cepat. Warna merah di wajahnya semakin tegas terlihat. Lelaki lain
menyalip Mario.
“Dua Putaran lagi Nak.” Teriak Pak Narto dari jendela mobil yang terbuka, di beranda
rumah terlihat istri Pak Narto sudah terlihat rapih.
“Mau
ke mana Pak?” Sadun memerlambat larinya.
“Jalan-jalan
ke kota.” Pak Narto tersenyum.
“Selamat
jalan-jalan ya Pak.” Sadun kembali berlari.
Rumah Pak Narto yang bercat kuning sudah dilewatinya dua kali, Sadun masih terlihat
segar, nafasnya masih teratur, keringat perlahan mulai menjebol pori-porinya.
Setelah rumah Pak Narto, Sadun akan melewati warung tukang sayur-mayur.
Biasanya warung itu ramai di waktu pagi. Sebagian besar ibu-ibu belanja
kebutuhan dapur di sana, hanya sedikit saja yang mau berjalan kaki ke luar
pemukiman untuk berbelanja di pasar dadakan pinggir jalan, tepat di gerbang
pemukiman. Eva salah satunya yang terlihat sering merelakan kakinya untuk
berjalan ke gerbang pemukiman, berburu sayur segar.
“Hai
Eva…”
“Eh,
Bang Sadun lagi.” Eva tersenyum, ditatapnya punggung Sadun, sweaternya terlihat
meninggalkan jejak keringat yang resap.
Eva
kembali memilih sayuran di warung, biasanya Eva tidak mampir di sana, hanya
saja pagi itu pasar dadakan pinggir jalan tidak menyediakan sayuran yang
diinginkannya.
Sadun
terus berlari, kabut kota perlahan memudar, dihempaskan garis-garis sinar
matahari. Tidak lama lagi Sadun akan menghabiskan putaran kedua setelah
melewati taman pinus yang sejuk, kakinya akan kembali ka bangku merah di
pinggir taman. Bangku merah yang selalu menjadi titik mulai dari rutinitas lari
paginya.
Setelah
beberapa saat, Sadun berpapasan lagi dengan Eva yang sudah selesai berbelanja. Dari
arah berlawanan Eva terlihat membawa banyak sayuran, di belakangnya mobil tua
milik pak Narto terlihat dipacu perlahan. Suara sepatu Sadun terdengar ritmis
menumbuk trotoar, bersahutan dengan suara sepatu pelari lain di belakangnya.
Lelaki
bersweater putih terlihat menatap Eva, sorot matanya tajam seperti pedang.
Lelaki itu kemudian menatap ke arah kaca mobil Pak Narto, kemudian menatap
punggung Sadun.
“Rajin
sekali ya, Nak Sadun itu.” Pak Narto menatap Sadun dari dalam mobil yang
bergerak lamban.
“Iya
Pak, hebat. Selain rajin, Dia juga ramah.” Ibu Narto mengawasi Sadun dan lelaki
yang berlari di belakangnya.
Eva
menatap Sadun, wajahnya tersenyum. Pertemuan dengan Sadun memang tidak pernah
bisa dihindarkan. Dalam sekali layatan ke pasar, Eva biasanya akan berpapasan
dengan Sadun sebanyak 1 atau 2 kali.
Seorang
perempuan berlari dari arah gang kecil. Perempuan itu terlihat seperti lelaki,
rambutnya cepak, gestur tubuhnya juga seperti lelaki. Secara kebetulan, mereka
berpapasan di mulut gang, di waktu yang sama.
Sadun, Eva, lelaki
bersweater putih dan perempuan yang terlihat seperti lelaki muncul dari dalam
gang, berpapasan saat itu di tempat yang sama, di waktu yang sama. Pertemuan
mereka tepat terjadi di depan sebelah kanan mobil Pak Narto dan istrinya.
“Pistol?”
“Pistol!”
Pak
Narto dan istrinya berteriak serempak, mereka melihat sosok yang datang dari
gang itu mengeluarkan sebuah pistol dari belakang pinggangnya.
Dor!
Terdengar
suara tembakan.
Sadun
dan pelari lain, seketika merunduk, mencari sumber suara, mengawasi sekitar.
Eva roboh di atas trotoar, dari celah-celah rambutnya yang tergerai, darah
merah terlihat membasah.
“Eva!
Eva!” Sadun memburu Eva.
“Kejar
orang itu! Kejar!” Sadun menunjuk-nunjuk ke arah mulut gang. Lelaki bersweater
putih bermaksud mengejarnya tapi gang sudah kosong, tidak ada siapapun di sana.
Lelaki
bersweater putih panik memijit ponsel ingin menghubungi polisi atau ambulan.
Pak Narto dan istrinya berhenti di pinggir jalan tangannya menuduh-nuduh ke
arah mulut gang, begitupun istrinya.
“Tolong
panggilkan polisi dan ambulan!” Sadun berteriak, disentuhnya nadi Eva. Tidak
ada detak. Ditempelkannya jemari ke lubang hidung, tidak terasa hembusan nafas.
Perempuan yang mengeluarkan pistol sudah hilang, kembali masuk ke dalam gang.
***
Eva
meninggal di tempat. Tidak lama setelah kejadian, petugas kepolisian sudah
berada di TKP. Sadun dan saksi lainnya dikumpulkan di tempat terpisah untuk
dimintai keterangan.
“Pak
Narto, Bapak berada di TKP ketika Eva ditembak, siapa saja yang terlihat berada
di sana?”
“Eva,
Sadun, Dia dan seorang lelaki yang datang dan menghilang ke sana.” Pak Narto
menunjuk lelaki bersweater putih, kemudian menatap mulut gang. Matanya
berkaca-kaca.
“Apakah
benar Bapak melihat pelaku penembakan?”
“Benar
Pak, saya dan istri saya melihatnya.”
“Tolong
sebutkan ciri-ciri pelaku.”
Pak
Narto menghela nafas, diingatnya kembali peristiwa yang tadi pagi terjadi. Eva
yang membawa banyak sayuran, Sadun, lelaki bersweater putih dan sosok berpistol
kembali terbayang di ingatan.
“Pak
Narto, tolong sebutkan ciri-ciri pelakunya.”
“Pelakunya,
seorang lelaki memakai sweater abu-abu bertulisan ….” Dahi Pak Narto berkerut,
pikirannya diperas untuk mengingat tulisan di sweater si pelaku pembunuhan.
Tapi tidak ada satu tulisan pun yang bisa diingatnya.
“Apa tulisannya Pak?“
“Saya lupa. Tapi saya
ingat, lelaki itu memakai training hitam, training Adidas.” Jawab Pak Narto,
yakin.
“Training Adidas
seperti itu?” tanya petugas, tangannya menunjuk ke arah training Sadun.
“Iya, seperti
training Nak Sadun. Dia juga memakai topi berwarna hitam.” Pak Narto mengangguk-ngangguk
setelah menatap tiga garis putih di celana training Sadun.
“Bukan Pak, lelaki
itu tidak memakai topi. Kalau sweater dan celana trainingnya memang sesuai
dengan kata-kata suami saya itu. Tapi orang itu tidak memakai topi.” Istri Pak
Narti tiba-tiba menyanggah.
“Dia pakai topi, Bu.”
“Tidak. Ibu melihat
sendiri, Dia tidak pakai topi.”
“Bapak juga
melihatnya, lelaki itu memakai topi. Bapak masih ingat kejadiannya.”
“Bapak dan Ibu, tolong hentikan. Kami butuh
informasi yang akurat.”
Petugas melerai
mereka.
“Pelakunya tidak
memakai topi!”
“Pelakunya memakai
topi!”
Bandung, 12 Mei 2012
Cerpenisasi dari teori Visible Gorillaz yang terjadi kepada siapa saja, hukum dari ingatan manusia itu senantiasa bersifat ilusi. Manusia hanya menayangkan kembali apa yang mereka ingin ingat, bukan apa yang mereka alami.Peristiwa pertengkaran saksi di atas, benar-benar terjadi di Amerika sono. Dua saksi (suami istri) yang berada di TKP pada akhirnya tidak pernah memberikan informasi yang sama.
Belum ada tanggapan untuk "Efek Gorila Pegari"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar