IBX582A8B4EDEABB Efek Gorila Pegari | Info Absurditas Kata Efek Gorila Pegari - Info Absurditas Kata
Beranda · E-Mail Koran · Info Lomba · Kiat Menulis · Adsense · SEO Youtube · Jasa · Toko · Blog

Efek Gorila Pegari


            Kabut masih menyelimuti kota Anarka ketika Sadun memulai rutinitasnya untuk berlari mengelilingi pemukiman. Lari pagi sudah rutin dilakukannya setiap pagi, orang-orang di kota itu juga sudah mengetahui kebiasaannya.
            “Selamat pagi Pak Narto…” Sadun tersenyum, tanganya melambai ke arah beranda rumah bercat kuning.
            “Pagi Nak…” Pak Narto menurunkan koran yang sedang dibacanya, tangan kanannya melambai ke arah Sadun. Seorang lelaki lain terlihat sedang memanaskan mobil di pekarangan rumah Pak Narto.
            Sweater abu-abu bertulisan “Freedom” dikenakan Sadun pagi itu, berpadu dengan topi hitam polos. Training hitam dengan tiga garis putih memanjang ke bawah dipadukannya dengan sepatu cats berwarna putih. Mengelilingi pemukiman kota itu hanya butuh waktu 15 menit dengan berlari santai dan Sadun akan memutari pemukiman selama 1 jam itu berarti 4 putaran.
            Tidak hanya Sadun yang terlihat selalu berlari pagi di kota itu, ada beberapa lelaki lain yang juga melakukan aktifitas sama, ada juga perempuan.
            “Pagi bang Sadun, sehat nih lari tiap pagi.” Eva tersenyum ke arah Sadun, mereka berpapasan di jalan. Sayur-sayuran segar terlihat penuh di keranjang belanja Eva. Sadun tidak berhenti, hanya tersenyum hangat, melambaikan tangan dan balik menyapa.
            “Selamat pagi Eva, mengonsumsi sayur itu bagus untuk kesehatan.” Jawab Sadun sambil berlalu.
            Tidak lama lagi, Sadun akan menghabiskan putaran pertama. Di belakangnya seorang lelaki terlihat ngos-ngosan, keringatnya membasah di dadanya yang dibungkus sweater putih.
            “Mario!” Sadun memercepat langkah, dikejarnya Mario.
            “Halo sobat, masih rutin lari pagi nih.” Mario menoleh ke arah Sadun kemudian mengikuti berlari santai.
            “Iya dong, tumben kamu lari pagi, ada apa nih?” Sadun menelisik pakaian Mario dengan sudut mata. Dari cara berpakaiannya Mario terlihat seperti akan berolahraga meskipun Sadun tidak pernah melihatnya berlari pagi.
            “Iya nih, kantor mau ngadain acara pertandingan antar perusahaan. Aku kepilih secara acak buat jadi tim sepak bola. Sial!” Mario terlihat ngos-ngosan. Wajahnya memerah.
            “Bagus dong. Makanya siapain fisik dari sekarang.” Sadun mulai berkeringat.
            “Gila, baru 5 menit udah ngos-ngosan.” Mario memerlambat langkahnya.
            “Aku duluan ya. Semangat Sob!” Sadun melambaikan tangan, Mario tertinggal di belakang.
            Mario berhenti di pinggir jalan, tangannya memegangi lutut, dadanya terlihat naik turun sangat cepat. Warna merah di wajahnya semakin tegas terlihat. Lelaki lain menyalip Mario.
            “Dua Putaran lagi Nak.” Teriak Pak Narto dari jendela mobil yang terbuka, di beranda rumah terlihat istri Pak Narto sudah terlihat rapih.
            “Mau ke mana Pak?” Sadun memerlambat larinya.
            “Jalan-jalan ke kota.” Pak Narto tersenyum.
            “Selamat jalan-jalan ya Pak.” Sadun kembali berlari.
            Rumah Pak Narto yang bercat kuning sudah dilewatinya dua kali, Sadun masih terlihat segar, nafasnya masih teratur, keringat perlahan mulai menjebol pori-porinya. Setelah rumah Pak Narto, Sadun akan melewati warung tukang sayur-mayur. Biasanya warung itu ramai di waktu pagi. Sebagian besar ibu-ibu belanja kebutuhan dapur di sana, hanya sedikit saja yang mau berjalan kaki ke luar pemukiman untuk berbelanja di pasar dadakan pinggir jalan, tepat di gerbang pemukiman. Eva salah satunya yang terlihat sering merelakan kakinya untuk berjalan ke gerbang pemukiman, berburu sayur segar.
            “Hai Eva…”
            “Eh, Bang Sadun lagi.” Eva tersenyum, ditatapnya punggung Sadun, sweaternya terlihat meninggalkan jejak keringat yang resap.
            Eva kembali memilih sayuran di warung, biasanya Eva tidak mampir di sana, hanya saja pagi itu pasar dadakan pinggir jalan tidak menyediakan sayuran yang diinginkannya.
            Sadun terus berlari, kabut kota perlahan memudar, dihempaskan garis-garis sinar matahari. Tidak lama lagi Sadun akan menghabiskan putaran kedua setelah melewati taman pinus yang sejuk, kakinya akan kembali ka bangku merah di pinggir taman. Bangku merah yang selalu menjadi titik mulai dari rutinitas lari paginya.
            Setelah beberapa saat, Sadun berpapasan lagi dengan Eva yang sudah selesai berbelanja. Dari arah berlawanan Eva terlihat membawa banyak sayuran, di belakangnya mobil tua milik pak Narto terlihat dipacu perlahan. Suara sepatu Sadun terdengar ritmis menumbuk trotoar, bersahutan dengan suara sepatu pelari lain di belakangnya.
            Lelaki bersweater putih terlihat menatap Eva, sorot matanya tajam seperti pedang. Lelaki itu kemudian menatap ke arah kaca mobil Pak Narto, kemudian menatap punggung Sadun.
            “Rajin sekali ya, Nak Sadun itu.” Pak Narto menatap Sadun dari dalam mobil yang bergerak lamban.
            “Iya Pak, hebat. Selain rajin, Dia juga ramah.” Ibu Narto mengawasi Sadun dan lelaki yang berlari di belakangnya.
            Eva menatap Sadun, wajahnya tersenyum. Pertemuan dengan Sadun memang tidak pernah bisa dihindarkan. Dalam sekali layatan ke pasar, Eva biasanya akan berpapasan dengan Sadun sebanyak 1 atau 2 kali.
            Seorang perempuan berlari dari arah gang kecil. Perempuan itu terlihat seperti lelaki, rambutnya cepak, gestur tubuhnya juga seperti lelaki. Secara kebetulan, mereka berpapasan di mulut gang, di waktu yang sama.
Sadun, Eva, lelaki bersweater putih dan perempuan yang terlihat seperti lelaki muncul dari dalam gang, berpapasan saat itu di tempat yang sama, di waktu yang sama. Pertemuan mereka tepat terjadi di depan sebelah kanan mobil Pak Narto dan istrinya.
            “Pistol?”
            “Pistol!”
            Pak Narto dan istrinya berteriak serempak, mereka melihat sosok yang datang dari gang itu mengeluarkan sebuah pistol dari belakang pinggangnya.
            Dor!
            Terdengar suara tembakan.
            Sadun dan pelari lain, seketika merunduk, mencari sumber suara, mengawasi sekitar. Eva roboh di atas trotoar, dari celah-celah rambutnya yang tergerai, darah merah terlihat membasah.
            “Eva! Eva!” Sadun memburu Eva.
            “Kejar orang itu! Kejar!” Sadun menunjuk-nunjuk ke arah mulut gang. Lelaki bersweater putih bermaksud mengejarnya tapi gang sudah kosong, tidak ada siapapun di sana.
            Lelaki bersweater putih panik memijit ponsel ingin menghubungi polisi atau ambulan. Pak Narto dan istrinya berhenti di pinggir jalan tangannya menuduh-nuduh ke arah mulut gang, begitupun istrinya.
            “Tolong panggilkan polisi dan ambulan!” Sadun berteriak, disentuhnya nadi Eva. Tidak ada detak. Ditempelkannya jemari ke lubang hidung, tidak terasa hembusan nafas. Perempuan yang mengeluarkan pistol sudah hilang, kembali masuk ke dalam gang.
***
            Eva meninggal di tempat. Tidak lama setelah kejadian, petugas kepolisian sudah berada di TKP. Sadun dan saksi lainnya dikumpulkan di tempat terpisah untuk dimintai keterangan.
            “Pak Narto, Bapak berada di TKP ketika Eva ditembak, siapa saja yang terlihat berada di sana?”
            “Eva, Sadun, Dia dan seorang lelaki yang datang dan menghilang ke sana.” Pak Narto menunjuk lelaki bersweater putih, kemudian menatap mulut gang. Matanya berkaca-kaca.
            “Apakah benar Bapak melihat pelaku penembakan?”
            “Benar Pak, saya dan istri saya melihatnya.”
            “Tolong sebutkan ciri-ciri pelaku.”
            Pak Narto menghela nafas, diingatnya kembali peristiwa yang tadi pagi terjadi. Eva yang membawa banyak sayuran, Sadun, lelaki bersweater putih dan sosok berpistol kembali terbayang di ingatan.
            “Pak Narto, tolong sebutkan ciri-ciri pelakunya.”
            “Pelakunya, seorang lelaki memakai sweater abu-abu bertulisan ….” Dahi Pak Narto berkerut, pikirannya diperas untuk mengingat tulisan di sweater si pelaku pembunuhan. Tapi tidak ada satu tulisan pun yang bisa diingatnya.
“Apa tulisannya Pak?“
“Saya lupa. Tapi saya ingat, lelaki itu memakai training hitam, training Adidas.” Jawab Pak Narto, yakin.
“Training Adidas seperti itu?” tanya petugas, tangannya menunjuk ke arah training Sadun.
“Iya, seperti training Nak Sadun. Dia juga memakai topi berwarna hitam.” Pak Narto mengangguk-ngangguk setelah menatap tiga garis putih di celana training Sadun.
“Bukan Pak, lelaki itu tidak memakai topi. Kalau sweater dan celana trainingnya memang sesuai dengan kata-kata suami saya itu. Tapi orang itu tidak memakai topi.” Istri Pak Narti tiba-tiba menyanggah.
“Dia pakai topi, Bu.”
“Tidak. Ibu melihat sendiri, Dia tidak pakai topi.”
“Bapak juga melihatnya, lelaki itu memakai topi. Bapak masih ingat kejadiannya.”
 “Bapak dan Ibu, tolong hentikan. Kami butuh informasi yang akurat.”
Petugas melerai mereka.
“Pelakunya tidak memakai topi!”
“Pelakunya memakai topi!”

Bandung, 12 Mei 2012
Cerpenisasi dari teori Visible Gorillaz yang terjadi kepada siapa saja, hukum dari ingatan manusia itu senantiasa bersifat ilusi. Manusia hanya menayangkan kembali apa yang mereka ingin ingat, bukan apa yang mereka alami.Peristiwa pertengkaran saksi di atas, benar-benar terjadi di Amerika sono. Dua saksi (suami istri) yang berada di TKP pada akhirnya tidak pernah memberikan informasi yang sama.



Artikel keren lainnya:

Belum ada tanggapan untuk "Efek Gorila Pegari"

Post a Comment

Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar