IBX582A8B4EDEABB Lelaki Jeruji Besi | Info Absurditas Kata Lelaki Jeruji Besi - Info Absurditas Kata
Beranda · E-Mail Koran · Info Lomba · Kiat Menulis · Adsense · SEO Youtube · Jasa · Toko · Blog

Lelaki Jeruji Besi



Aku ini anaknya yang sah, lahir dari rahim istrinya yang bekerja sama dengan spermanya sendiri. Lelaki itulah yang berpuluh tahun membuatku terlempar ke dunia ini, ke pemukiman kumuh yang keras ini. Menjadi manusia pengangguran yang hidup dengan cara yang juga keras, kotor dan rentan.
            Aku tidak sekolah, aku tidak bekerja, aku tidak pernah ada bagi bapak, tidak pernah menjadi anaknya.
            “Anak sialan! Seharusnya kamu tidak pernah lahir!” bapak menggebrak meja kaca, suaranya berdentam, aku tertunduk menahan geram.
            “Kenapa lagi Pak? Kalian ini ribut terus setiap hari, ibu lelah melihat kalian. Sudah sudah!”
            Ibu berwajah muram, menatapku nanar. Bapak masih berapi-api, kata-kata lain yang lebih belati, masih berlarian dari mulutnya. Aku tidak harus mendengar.
            “Bu, lain kali jangan ceritakan pada bapak kalau aku butuh uang.” Ucapku kesal, ibu hanya terbengong.
            “Nak…” Ibu ingin menahan tapi aku tak tertahan.
            “Mampus sono di jalan!”
            Kutatap lelaki itu, di matanya tidak ada pancaran tali kasih antara seorang anak dan bapak. Tatapan matanya hanya memanjangkan murka, aku ingin menerkamnya, membuatnya remuk, menumbuk-numbuk isi kepalanya. Memadamkan iblis yang selalu menari-nari di tatapnya.
            “Setan!”
            Bapak menghardik untuk yang pengakhiran. Aku pergi meninggalkan rumah dan suara-suara pertengkaran yang semakin samar. 30 ribu rupiah untuk membeli ban dalam sepeda motor, rupanya sangat mahal, berbayar maki dan kesal, itu pun tetap tak kesampaian. Sial!
            Jalanan depan rumah, malam ini sepi, tidak ada Bodot, Deko atau Obenk, mereka sahabatku, manusia-manusia kalah yang tidak banyak berharap dalam hidup, kecuali menikmati dengus nafas hari ini, tak peduli tentang lusa, tak peduli tentang lalu. Biasanya mereka selalu mangkal di mulut gang, bersama botol-botol minuman dan gitar akustik piaraan. Kita biasa berkelakar, tergelak, menyanyi, menikmati malam, sampai larut, sampai isi kepala sempurna berputar-putar dan segala persoalan hidup sejenak terlupakan.
            Suara-suara bapak masih mengamuk-ngamuk di dalam kepala, aku meredamnya dengan asap yang dalam dihisap. Di atas jembatan, aku bertengger, hari sudah sangat malam.
            Belasan lelaki berjalan tergesa-gesa, mereka seperti menyembunyikan sesuatu di punggunnya, terlihat dari jaket mereka yang mengembung. Seandainya saja Obenk ada di sini, tentu mereka akan dimaki-maki olehnya, melintas tanpa mengucap permisi. Tapi, biar sajalah, aku bosan berperang.
            “Lu anaknya Monot kan?”
            Lelaki yang berjalan paling belakang, tiba-tiba berhenti. Tubuhnya berbalik ke arahku, teman-temannya yang lain seketika mendekatiku.
            “Bangsat! Di mana si Monot?” Lelaki itu mengeluarkan samurai dari punggungnya. Cahaya lampu membuat samurai itu berkilauan, ujung tajamnya tepat mengancam leher.
            “Monot di rumah.” Jawabku, aku menyelidik wajahnya yang tertutup topi, malam menyamarkan rupanya. Aku tidak mengenalinya, kecuali suaranya yang parau dan aroma alkohol yang tercium kental.
            “Amankan!”
            Lelaki itu memberi itu komando, kemudian melanjutkan perjalan, 5 orang lelaki lainnya menyergapku, tinju mereka menghujam di wajah dan tubuhku. Hujan tinju itu rasanya tidak asing, hantaman kepal tangan siapapun rasanya selalu menyakitkan dan aku roboh pada pukulan ke sekian puluh kali. Mereka mengikatku dan melemparkanku ke pojokan jalan yang gelap.
***
            Pecahan kaca berserak di beranda, di atas terasnya bercak tetesan darah sudah mengering, bekas perkelahian tadi malam. Ibu menangis di atas lantai, beberapa buah batu terlihat nangkring di lemari.
            “Mana bapak, Bu? Mana?”
            Hanya air mata yang menjadi jawaban, suara tangis ibu semakin keras. Beberapa orang di dalam rumah yang masih sudi membantu, terlihat membenahi rumah yang sudah acak-acakan.
            “Bapakmu di rumah sakit, koma.” Tangis ibu semakin menjadi.
            “Di rumah sakit mana Bu?” Aku membopong ibu, mendudukannya di atas kursi. Ibu tidak berkata-kata.
            Belasan lelaki yang tadi malam itulah yang tentunya membuat bapak masuk rumah sakit, koma. Aku yang tidak pernah diakui sebagai anaknya, berkali-kali dikutuk dan dicaci maki, tetap saja berduka untuknya.
            “Mau ke mana kamu?” suara ibu bergetar.
            “Ke rumah sakit.”
            Ibu semakin menangis ketika aku melangkahi serpihan kaca, bongkahan batu dan bercak-bercak darah di teras. Amarah menyalak di dada, membakar hati, akal dan kedua bola mataku.
            Bodot, Deko dan Obenk sudah menunggu di depan rumah. Bodot-lah yang tadi pagi menemukanku di sudut jalan, melepaskanku dari tambang yang mengikat kaki, tangan dan mulut. Bodot juga yang mengumpulkan teman-temanku yang lain.
            “Kita hajar mereka!” Obenk terlihat geram.
            “Ayo kita pergi.” Kita semua berjalan gesa, menuju markas orang-orang yang tadi malam menyerang bapak di rumahnya. Obenk sudah mencari tahu siapa saja mereka.
            Satu luka bacokan bersarang di ubun-ubun Deko, 3 luka tebasan menyobek punggung Bodot, tusuk belati yang meleset bersarang di lengan Obenk, aku sendiri kehilangan seluruh gigi depan yang rontok dihantam kayu. Kami semua terluka, setelah mengalahkan 13 orang lelaki di markasnya, 1 lelaki yang kepalanya kubentur dengan batu kali, sepertinya mati di tempat. Lelaki itulah yang menghujani tubuh bapak dengan belasan tusukan di perut dan dada.
            Sampai saat ini, aku tidak pernah berhasil mencari jawaban, kenapa aku harus membalas dendam, membayar sakit yang bapak rasakan. Seharusnya aku riang melihatnya sekarat, bukankah semasa hidupnya aku tidak lebih baik dari binatang dan tidak pernah diharapkan. Entahlah apa yang membuatku menabur dendam.
                Aku tidak pernah melihat lagi Bodot, Deko dan Obenk sampai hari ini, hanya jeruji besi dan kawanan baru dalam penjara yang setiap hari bersamaku. Setelah penyerangan itu, polisi datang menangkapku, sementara ketiga sahabatku tidak terlacak, mereka entah melarikan diri ke mana?
“Nak...”
Aku mendengar suara, tak asing lagi itu suara bapak. Suaranya membentur jeruji, berdentingan lalu hinggap di telinga dan tidak bermakna apa-apa. Suara itu entah datang dari mana atau mungkin aku yang salah dengar. Entahlah.
“Baron! Ada tamu buatmu.” Sipir penjara memanggilku.
Ibu menungguku di ruang yang sudah disediakan, kedua bola matanya sembam berkaca. Kugenggam jemarinya, ibu terbata bicara.
“Bapakmu meninggal tadi malam.”

Bandung, 23 April 2012
sumber gambar: ini

Artikel keren lainnya:

Belum ada tanggapan untuk "Lelaki Jeruji Besi"

Post a Comment

Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar