FILSAFAT GANGNAM AHER-DEMIZ
Absurditas Malka*
Dunia politik dan musik
tidak bisa terlepas satu sama lain. Pada titik tertentu, keduanya dapat memberi
pengaruh signifikan, baik itu saling menguntungkan maupun saling membuntungkan.
Pada masa Soekarno,
politik pembangunan karakter, telah membuntungkan dunia musik. Koes Ploes
tercatat sebagai salah satu grup musik yang dihadiahi trali bui pada zamannya. Hadiah
tersebut diberikan karena musik mereka dianggap tidak sesuai dengan karakter
bangsa. Dua dunia itu kerap hadir secara bersamaan, terutama dalam masa
kampanye baik di level daerah maupun nasional. Berpolitik tanpa bermusik
mungkin bisa dikatakan ibarat sayur tanpa garam.
Kehadiran musik mampu
menjadi ajang hiburan gratis bagi masyarakat, siapa saja bisa bergabung di
dalamnya, -dan kalau mau- ikut terbius oleh janji-janji politisi yang
menyelenggarakan kegiatan tersebut. Hiburan musik selama selama ini dianggap
sebagai bagian wajib dari gerakan kampanye. Para politisi kerap berlomba
mendatangkan artis dan group musik kondang untuk menyedot massa. Setelah massa
berkumpul, politisi beraksi, menabur janji. Selalu begitu.
Ada yang unik dari gerakan
kampanye melalu tari gangnam yang dilakukan oleh Aher-Demiz. Kandidat tersebut
memiliki kecerdasan membaca ruh zaman, membaca apa yang popular.
Gangnam secara koreografis merupakan tarian nyeleneh, tidak mengikuti pakem
tari-menari yang baku. Gerakan-gerakannya lahir dari kebebasan yang ekspresif,
menyuarakan apa yang paling dalam dari eksistensi seorang anak manusia. Dalam
bahasa eksistensialisme bisa dikatakan gangnam adalah tarian pemberontakan yang
menolak kebekuan, kemapanan, dan ideologi yang membatu.
Bhinneka Gangnam Ikha
Selain menjadi tarian yang
paling membius di seluruh dunia, gangnam memiliki filsafat Bhinneka Gangnam Ikha. Tarian gangnam yang dipopulerkan oleh PSY
ini, hadir sebagai media atas keberagaman budaya. Media yang berhasil menjadi
pemersatu berbagai perbedaan anak manusia. Berbagai etnis, suku, agama, ras,
dan sebagainya, tidaklah berbeda dalam tarian gangnam.
Semuanya lebur menjadi
satu, menjadi keceriaan, menjadi keriangan, menjadi kesatuan yang tidak terpilah-pilah.
Gangnam tidak mengidentifikasi privelse seseorang, gangnam hanya tahu bagaimana
menari, bagaimana berceria, dan bagaimana bersatu.
Filsafat semaca itulah
yang mungkin ingin diusung oleh pasangan Aher-Demiz, kebersatuan, kerukunan,
dan kebersamaan tanpa memandang-beda berbagai identitas seseorang.
Runtuhnya Kampanye Mainstream
Melihat fenomena kampanye
di tahun 2012 dan 2013, metode kampanye mainstream yang hanya bermodal hiburan musik
di satu titik kemudian menabur janji, bisa dikatakan sudah mati.
Kampanye semacam itu
tidak lagi efektif, hanya membuang-buang biaya, menambah kemacetan dan polusi
suara. Kampanye modern tidak lagi bisa dilakukan dengan eksploitasi akal budi
secara frontal. Masyarakat sudah resisten terhadap berbagai issue kampanye yang
dijeritkan melalui panggung hiburan.
Butuh jalan lain untuk
berkampanye, menghadirkan tubuh secara blusukan seperti Jokowi misalnya. Atau
menari gangnam seperti Aher-Demiz?
Bandung, 21 Februari 2013
Absurditas Malka, Direktur SkylArt Publisher
Belum ada tanggapan untuk "Filsafat Gangnam Aher-Demiz (Inilah Koran - Minggu, 24 Pebruari 2013)"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar