KAMBING
BERTOPENG HITAM
Absurditas Malka*
“Wow! Tersangkanya ketahuan!” Pekik Sadun.
Empat bulan silam, Sadun dipanggil KPK karena diduga terlibat
dalam tindak pidana korupsi. Panggilan KPK paling akbar yang melibatkan kurang
lebih 60 orang yang diduga terlibat.
Bukan sembarang orang, di dalamnya ada aneka macam orang
termasuk yang bertaraf super. Seperti Superman, Batman, Robinhood, Zoro, dan
masih banyak lagi. Waktu itu, semuanya tidak ada yang dinyatakan sebagai tersangka,
apalagi terdakwa, kecuali Sadun.
“Aku bilang juga apa, aku tidak
bersalah.” Umpat Sadun, sambil melipat kertas koran hari dalam genggaman,
wajahnya semringah, senyumnya bertaburan di sepanjang jalan pulang. Ia kini
dibebabaskan dari jeratan kasus korupsi itu, rupanya KPK sudah menemukan siapa
tersangka utamanya. Meskipun sangat aneh dan penuh pertanyaan, kenapa hanya ada
satu tersangka?
Ada banyak hal yang dipelajarinya
sejak empat bulan silam. Pertama, kekuasaan itu tak pernah salah. Jika pun
salah, maka ia akan menuduh siapa saja yang bukan kawannya untuk dipersalahkan.
Kedua, jika bukti menyatakan ia memang bersalah, maka ia akan mengkambing-hitamkan
salah satu kawannya untuk dipersalahkan. Itulah kekuasaan, pikir Sadun.
Jakarta, terlihat seperti bunga
mawar, begitu merah, begitu rekah bagi Sadun. Disesapnya aroma kebebasan di
sepanjang perjalanan pulang. Namun benaknya masih berlompatan pada ingatan
silam.
Bukan pada kegilaan Hambalang, bukan pada permainan politik
dan konspirasi kekuasaan, tapi pada manusia-manusia super yang juga ikut dipanggil
dalam kasus dugaan tipikor itu. Terutama, Zoro, Batman, Spiderman dan sosok
lainnya yang membela dunia di balik topeng.
“Aku menyukai topeng.” Gumam Sadun.
Topeng adalah misteri, kabut gelap
yang menutupi kenyataan sejati. Misteri yang menjadi pertanyaan tentang jati
diri si pemakai topeng yang sebenarnya. Penjahat dan pahlawan, kadang keduanya
sama saja, bukan? Beraksi di balik topeng.
“Andi Malarangeng? Apakah ia
mengenakan topeng?” Sadun tercekat, dibukanya kembali lipatan koran yang masih
digenggam. Diburunya halaman berita yang memampang wajah mantan menpora itu,
ditelisiknya wajah itu, disentuh-sentuh, “Jangan-jangan wajahnya itu hanya
topeng?” Ucap Sadun.
“Tidak mungkin, tidak mungkin dia
memakai topeng? Apalagi dijadikan topeng?” Sadun tersenyum, matanya tajam
menatap gambar wajah Andi di lembaran koran.
Buka
dulu topengmu, buka dulu topengmu...
Seorang anak muda belia, melintas di
dekatnya. Dari dalam ponselnya sebuah lagu pop lokal Indonesia berdering
nyaring. Sadun mengangguk-angguk, ikuti irama musik.
Ah, topeng juga menjadi nada, topeng menjadi irama. Benarkah
dunia ini adalah sebuah perkumpulan orang-orang yang beraksi di balik
topeng-topengnya? beraksi sebagai penjahat, atau pahlawan. Tidak mungkin
semuanya penjahat, tidak mungkin semuanya pahlawan.
“Gila!” Sadun menutup kembali lembar
koran.
Wajah Andi terlipat menjadi empat, apalah daya, dirinya hanya
selembar gambar. Besok lusa mungkin tidak sekadar terlipat, mungkin sudah
menjadi bungkus kacang rebus atau ikan asin di pasar. Itu masih lebih baik, ketimbang
terserak di jalanan, terinjak atau lapuk di tempat sampah. Tapi apalah artinya
wajah-wajah di halaman koran? Semuanya sama saja, bukan. Sekadar tinta dengan
gradasi warna terang dan redup. Wajah yang sama sekali tak berpengaruh pada
harga penjualan sebuah koran. Sebagai mana nama para penulis yang pemula atau best seller, tak berpengaruh di hadapan
barcode ISBN perpusnas.
“Sadun!” Seseorang memanggilnya. Tak
jelas dari mana suara itu berasal.
“Siapa yang manggil aku?” Sadun
menoleh ke sekeliling, sepi. Hanya sederet wajah asing yang tumpah di jalanan
kota Jakarta di waktu siang.
“Sadun! Aku di sini...”
Aih, suara itu rupanya datang dari atas gedung, tak terlalu
tinggi, hanya gedung berlantai dua. Dari pakainnya, tak asing lagi, sosok itu
adalah Spiderman. Busyet!
“Hoi! Turunlah, kemari!” Sadun berteriak ke arah Spiderman,
lantang. Orang-orang menatapnya penuh pertanyaan, semuanya ikut menoleh ke arah
gedung yang ditatap Sadun.
“Spiderman?”
“Wow! Spiderman!”
Orang-orang seketika berkerumun, mendongak-dongak menonton
Spiderman yang duduk-duduk di genting gedung berlantai dua.
Swuurrr... jaring laba-laba menyembur dari
telapak tangan Spiderman, sedetik kemudian tubuhnya melayang ringan di udara
bergelantung pada seutas tali laba-laba, lalu tubuhnya begitu ringan menjejaki
trotoar, tepat di hadapan Sadun.
“Remember me, Mister Sadun?” Ucap Spiderman,
menyodorkan tangan, ingin berjabat.
“Halah, pake ngomong english
segala, tadi juga bisa bahasa Indonesia. Iya inget dong, ngapain kamu manggil-manggil
aku?” Tanya Sadun, heran.
Spiderman mendekati Sadun, dibisikannya sederet kata-kata,
tidak ada seorang pun yang bisa mendengar. Termasuk saya yang menuliskan cerita
ini, tak bisa mendengar apa yang dibisikannya.
Sungguh, para pembaca yang budiman. Saya tidak sedikit pun
bisa mendengar apa yang dibiskan Spiderman itu.
***
Sadun mencak-mencak, sendirian.
Kemudian berlari ke arah mobil yang diparkir ke pinggir
jalan, ditelisiknya wajah sendiri. Tidak, tidak ada topeng di wajahnya,
wajahnya bukan topeng.
“Sudah kuduga, negara ini dihuni
oleh manusia-manusia bertopeng! Tapi wajah-wajah di belakang topeng itu, wajah
siapakah? Pahlawan atau penjahat atau korban keduanya?” Sadun tertegun.
Setelah bisik-bisik Spiderman itu,
langkahnya kini berputar, tidak lagi menuju rumah, sepertinya Sadun tidak lagi
berhasrat untuk pulang.
“Pak Presiden, ada apa denganmu?”
Gumam Sadun, langkahnya tegap memburu istana negara.
Setelah cukup lama berselang, Sadun
akhirnya tiba di depan istana negara. Sepasukan super hero sudah menunggunya di sana. Tentu mereka tak
terang-terangan menampakan diri kepada khalayak, mereka bersembunyi di suatu
tempat, menunggu Sadun.
Atas bantuan para super hero itulah Sadun berhasil
menyelinap masuk ke dalam istana negara. Apa susahnya bagi mereka?
“Berjalanlah ke arah sana, ikuti
lorong gedung ini. Dan kau masuklah ke ruangan Pak Presiden. Tenang saja,
penjaganya sudah kami lumpuhkan.” Ucap Batman, menjelaskan apa saja yang harus
dilakukan Sadun.
“Tapi kenapa harus aku? Kenapa tidak
kalian saja?”
“Penulis ceritanya menginginkan kamu
yang melakukannya. Kami hanya bertugas mengantarkanmu saja.” Jawab Batman.
“Halah! Kalian ini katanya super hero, tapi masa iya takut sama
penulis cerita. Apakah penulis ceritanya si Absurditas Malka? Kalau memang dia,
nanti deh aku kasih pelajaran tuh orang.”
“Sssst... Jangan ngancam-ngancam,
nanti nasibmu bisa sial seperti kami ini. Sudah, laksanakan saja tugasmu.”
“Cih! Baiklah. Ke arah sana ya?”
Sadun menunjuk lorong gedung yang terbentang.
Batman tak berkata-kata, hanya mengangguk
saja.
Seperti detektif 007, Sadun
melenggang masuk ke ruang presiden. Sudah tak berhuni para penjaga, lengang.
Benar rupanya, mereka sudah dilumpuhkan. Di dalam ruangan, lengang. Tak ada
seseorang, hanya alunan musik saja yang terdengar. Alunan lagu melankolis entah
milik group band siapa, Sadun tak mengenalnya.
“Hoi! Siapa sampeyan?”
Dari ruangan lain, mungkin kamar
mandi, mungkin dapur, entahlah, tiba-tiba muncul seseorang. Ya, itu Pak
Presiden, tak asing lagi Sadun mengenal wajahnya, ia sering melihat wajah
presiden di televisi dan koran-koran.
“Saya Sadun, saya datang ke tempat
ini untuk membuka topeng negara.”
“Ngomong opo sampeyan iki? Ora mudeng
aku?”
“Kata Spiderman, Batman, Superman,
Zoro, Ironman, Highlander, Robin Hood, Wolverin, ...”
“Sudah-sudah! Banyak banget namanya,
apa kata mereka?”
“Kata mereka ada pejabat bertopeng
di negara kita.”
“Maksud sampeyan?”
Sadun butuh waktu panjang untuk
menjelaskan apa maksudnya. Presiden akhirnya mengangguk-angguk, benar juga
negaranya memang disesaki orang-orang yang bertopeng. Apakah ada negara yang di
dalamnya terbebas dari topeng?
“Tidak, Andi Malarangeng bukan
kambing hitam bertopeng. Dia memang bersalah, dia tidak sedang dalam misi
menyelamatkan partai, tidak. Sampeyan pasti ngarang, seperti para wartawan
itu.” Kilah Presiden, ketika menyudutkannya perihal status Andi Malarangeng
yang menjadi terdakwa kasus korupsi Hambalang.
“Hmmm, baiklah kalau begitu, saya percaya saja. Tapi apakah
wajah Bapak Presiden ini asli atau topeng?”
“Tunggu sebentar... Jangan-jangan aku sendiri memakai
topeng?” Gumam Presiden, diraba-rabanya wajah sendiri.
“Coba saya lihat?” Sadun mendekat,
menelisik dan ikut meraba-raba wajah Pak Presiden.
“Sepertinya bukan, topeng.” Gumam
Presiden, kemudian berdiri dan berjalan menuju kaca besar di ruangan lain. Di dalam ruangan itu, Presiden menarik-narik
wajahnya sendiri, ingin yakin apakah dirinya memakai topeng atau tidak?
Lama waktu berjalan, Sadun berbisik sendirian, begini
katanya.
“Hei Absurditas Malka, awas kamu. Nanti saya akan membalasmu,
akan mengirimkanmu ke dunia paling menyeramkan. Nanti, setelah aku tahu apakah
Presiden itu memakai topeng atau tidak. Tunggu saja!”
Wow, Sadun mengancam saya. Apakah saya harus takut? Entahlah,
saya hanya ingin tahu apa yang dibisikan Spiderman tadi? Itu saja.
Dari ruang tempat Presiden berkaca,
tiba-tiba terdengar teriakan.
“Kambing bertopeng!”
Itu suara presiden.
Setelah teriakan itu, seharusnya aku kembali
membicarakan Sadun. Endingnya adalah
Sadun, tapi ia sudah menghilang, entah ke mana. Dan aku terkesiap, betapa
lelaki di dalam ruangan itu, yang disebut Sadun sebagai Pak Presiden itu,
adalah diriku sendiri.
Wajahku hilang, berganti topeng
kambing, topeng hitam.
Kambing bertopeng hitam.
Bandung, 19 Desember 2012
*) Absurditas Malka lahir di Karawang pada 29 Mei
1982, pengrajin buku di SkylArt Publisher. Aktif menulis berbagai cerpen absurd, penulis buku kumcer Ular-ular Kain Serban, dan Sumur Pasir.
Belum ada tanggapan untuk "Kambing Bertopeng Hitam (Les Mal Assambler II) - Majalah Sabili, Edisi Januari 2013"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar