IBX582A8B4EDEABB Kambing Bertopeng Hitam (Les Mal Assambler II) - Majalah Sabili, Edisi Januari 2013 | Info Absurditas Kata Kambing Bertopeng Hitam (Les Mal Assambler II) - Majalah Sabili, Edisi Januari 2013 - Info Absurditas Kata
Beranda · E-Mail Koran · Info Lomba · Kiat Menulis · Adsense · SEO Youtube · Jasa · Toko · Blog

Kambing Bertopeng Hitam (Les Mal Assambler II) - Majalah Sabili, Edisi Januari 2013

KAMBING BERTOPENG HITAM
(Les Mal Assambler II)
Absurditas Malka*


“Wow! Tersangkanya ketahuan!” Pekik Sadun.
Empat bulan silam, Sadun dipanggil KPK karena diduga terlibat dalam tindak pidana korupsi. Panggilan KPK paling akbar yang melibatkan kurang lebih 60 orang yang diduga terlibat.
Bukan sembarang orang, di dalamnya ada aneka macam orang termasuk yang bertaraf super. Seperti Superman, Batman, Robinhood, Zoro, dan masih banyak lagi. Waktu itu, semuanya tidak ada yang dinyatakan sebagai tersangka, apalagi terdakwa, kecuali Sadun.
            “Aku bilang juga apa, aku tidak bersalah.” Umpat Sadun, sambil melipat kertas koran hari dalam genggaman, wajahnya semringah, senyumnya bertaburan di sepanjang jalan pulang. Ia kini dibebabaskan dari jeratan kasus korupsi itu, rupanya KPK sudah menemukan siapa tersangka utamanya. Meskipun sangat aneh dan penuh pertanyaan, kenapa hanya ada satu tersangka?
            Ada banyak hal yang dipelajarinya sejak empat bulan silam. Pertama, kekuasaan itu tak pernah salah. Jika pun salah, maka ia akan menuduh siapa saja yang bukan kawannya untuk dipersalahkan. Kedua, jika bukti menyatakan ia memang bersalah, maka ia akan mengkambing-hitamkan salah satu kawannya untuk dipersalahkan. Itulah kekuasaan, pikir Sadun.
            Jakarta, terlihat seperti bunga mawar, begitu merah, begitu rekah bagi Sadun. Disesapnya aroma kebebasan di sepanjang perjalanan pulang. Namun benaknya masih berlompatan pada ingatan silam.
Bukan pada kegilaan Hambalang, bukan pada permainan politik dan konspirasi kekuasaan, tapi pada manusia-manusia super yang juga ikut dipanggil dalam kasus dugaan tipikor itu. Terutama, Zoro, Batman, Spiderman dan sosok lainnya yang membela dunia di balik topeng.
            “Aku menyukai topeng.” Gumam Sadun.
            Topeng adalah misteri, kabut gelap yang menutupi kenyataan sejati. Misteri yang menjadi pertanyaan tentang jati diri si pemakai topeng yang sebenarnya. Penjahat dan pahlawan, kadang keduanya sama saja, bukan? Beraksi di balik topeng.
            “Andi Malarangeng? Apakah ia mengenakan topeng?” Sadun tercekat, dibukanya kembali lipatan koran yang masih digenggam. Diburunya halaman berita yang memampang wajah mantan menpora itu, ditelisiknya wajah itu, disentuh-sentuh, “Jangan-jangan wajahnya itu hanya topeng?” Ucap Sadun.
            “Tidak mungkin, tidak mungkin dia memakai topeng? Apalagi dijadikan topeng?” Sadun tersenyum, matanya tajam menatap gambar wajah Andi di lembaran koran.
            Buka dulu topengmu, buka dulu topengmu...
            Seorang anak muda belia, melintas di dekatnya. Dari dalam ponselnya sebuah lagu pop lokal Indonesia berdering nyaring. Sadun mengangguk-angguk, ikuti irama musik.
Ah, topeng juga menjadi nada, topeng menjadi irama. Benarkah dunia ini adalah sebuah perkumpulan orang-orang yang beraksi di balik topeng-topengnya? beraksi sebagai penjahat, atau pahlawan. Tidak mungkin semuanya penjahat, tidak mungkin semuanya pahlawan.
            “Gila!” Sadun menutup kembali lembar koran.
Wajah Andi terlipat menjadi empat, apalah daya, dirinya hanya selembar gambar. Besok lusa mungkin tidak sekadar terlipat, mungkin sudah menjadi bungkus kacang rebus atau ikan asin di pasar. Itu masih lebih baik, ketimbang terserak di jalanan, terinjak atau lapuk di tempat sampah. Tapi apalah artinya wajah-wajah di halaman koran? Semuanya sama saja, bukan. Sekadar tinta dengan gradasi warna terang dan redup. Wajah yang sama sekali tak berpengaruh pada harga penjualan sebuah koran. Sebagai mana nama para penulis yang pemula atau best seller, tak berpengaruh di hadapan barcode ISBN perpusnas.
            “Sadun!” Seseorang memanggilnya. Tak jelas dari mana suara itu berasal.
            “Siapa yang manggil aku?” Sadun menoleh ke sekeliling, sepi. Hanya sederet wajah asing yang tumpah di jalanan kota Jakarta di waktu siang.
            “Sadun! Aku di sini...”
Aih, suara itu rupanya datang dari atas gedung, tak terlalu tinggi, hanya gedung berlantai dua. Dari pakainnya, tak asing lagi, sosok itu adalah Spiderman. Busyet!
“Hoi! Turunlah, kemari!” Sadun berteriak ke arah Spiderman, lantang. Orang-orang menatapnya penuh pertanyaan, semuanya ikut menoleh ke arah gedung yang ditatap Sadun.
“Spiderman?”
“Wow! Spiderman!”
Orang-orang seketika berkerumun, mendongak-dongak menonton Spiderman yang duduk-duduk di genting gedung berlantai dua.
Swuurrr... jaring laba-laba menyembur dari telapak tangan Spiderman, sedetik kemudian tubuhnya melayang ringan di udara bergelantung pada seutas tali laba-laba, lalu tubuhnya begitu ringan menjejaki trotoar, tepat di hadapan Sadun.
Remember me, Mister Sadun?” Ucap Spiderman, menyodorkan tangan, ingin berjabat.
“Halah, pake ngomong english segala, tadi juga bisa bahasa Indonesia. Iya inget dong, ngapain kamu manggil-manggil aku?” Tanya Sadun, heran.
Spiderman mendekati Sadun, dibisikannya sederet kata-kata, tidak ada seorang pun yang bisa mendengar. Termasuk saya yang menuliskan cerita ini, tak bisa mendengar apa yang dibisikannya.
Sungguh, para pembaca yang budiman. Saya tidak sedikit pun bisa mendengar apa yang dibiskan Spiderman itu.
***
            Sadun mencak-mencak, sendirian.
Kemudian berlari ke arah mobil yang diparkir ke pinggir jalan, ditelisiknya wajah sendiri. Tidak, tidak ada topeng di wajahnya, wajahnya bukan topeng.
            “Sudah kuduga, negara ini dihuni oleh manusia-manusia bertopeng! Tapi wajah-wajah di belakang topeng itu, wajah siapakah? Pahlawan atau penjahat atau korban keduanya?” Sadun tertegun.
            Setelah bisik-bisik Spiderman itu, langkahnya kini berputar, tidak lagi menuju rumah, sepertinya Sadun tidak lagi berhasrat untuk pulang.
            “Pak Presiden, ada apa denganmu?” Gumam Sadun, langkahnya tegap memburu istana negara.
            Setelah cukup lama berselang, Sadun akhirnya tiba di depan istana negara. Sepasukan super hero sudah menunggunya di sana. Tentu mereka tak terang-terangan menampakan diri kepada khalayak, mereka bersembunyi di suatu tempat, menunggu Sadun.
            Atas bantuan para super hero itulah Sadun berhasil menyelinap masuk ke dalam istana negara. Apa susahnya bagi mereka?
            “Berjalanlah ke arah sana, ikuti lorong gedung ini. Dan kau masuklah ke ruangan Pak Presiden. Tenang saja, penjaganya sudah kami lumpuhkan.” Ucap Batman, menjelaskan apa saja yang harus dilakukan Sadun.
            “Tapi kenapa harus aku? Kenapa tidak kalian saja?”
            “Penulis ceritanya menginginkan kamu yang melakukannya. Kami hanya bertugas mengantarkanmu saja.” Jawab Batman.
            “Halah! Kalian ini katanya super hero, tapi masa iya takut sama penulis cerita. Apakah penulis ceritanya si Absurditas Malka? Kalau memang dia, nanti deh aku kasih pelajaran tuh orang.”
            “Sssst... Jangan ngancam-ngancam, nanti nasibmu bisa sial seperti kami ini. Sudah, laksanakan saja tugasmu.”
            “Cih! Baiklah. Ke arah sana ya?” Sadun menunjuk lorong gedung yang terbentang.
            Batman tak berkata-kata, hanya mengangguk saja.
            Seperti detektif 007, Sadun melenggang masuk ke ruang presiden. Sudah tak berhuni para penjaga, lengang. Benar rupanya, mereka sudah dilumpuhkan. Di dalam ruangan, lengang. Tak ada seseorang, hanya alunan musik saja yang terdengar. Alunan lagu melankolis entah milik group band siapa, Sadun tak mengenalnya.
            “Hoi! Siapa sampeyan?”
            Dari ruangan lain, mungkin kamar mandi, mungkin dapur, entahlah, tiba-tiba muncul seseorang. Ya, itu Pak Presiden, tak asing lagi Sadun mengenal wajahnya, ia sering melihat wajah presiden di televisi dan koran-koran.
            “Saya Sadun, saya datang ke tempat ini untuk membuka topeng negara.”
            “Ngomong opo sampeyan iki? Ora mudeng aku?”   
            “Kata Spiderman, Batman, Superman, Zoro, Ironman, Highlander, Robin Hood, Wolverin, ...”
            “Sudah-sudah! Banyak banget namanya, apa kata mereka?”
            “Kata mereka ada pejabat bertopeng di negara kita.”
            “Maksud sampeyan?”
            Sadun butuh waktu panjang untuk menjelaskan apa maksudnya. Presiden akhirnya mengangguk-angguk, benar juga negaranya memang disesaki orang-orang yang bertopeng. Apakah ada negara yang di dalamnya terbebas dari topeng?
            “Tidak, Andi Malarangeng bukan kambing hitam bertopeng. Dia memang bersalah, dia tidak sedang dalam misi menyelamatkan partai, tidak. Sampeyan pasti ngarang, seperti para wartawan itu.” Kilah Presiden, ketika menyudutkannya perihal status Andi Malarangeng yang menjadi terdakwa kasus korupsi Hambalang.
“Hmmm, baiklah kalau begitu, saya percaya saja. Tapi apakah wajah Bapak Presiden ini asli atau topeng?”
“Tunggu sebentar... Jangan-jangan aku sendiri memakai topeng?” Gumam Presiden, diraba-rabanya wajah sendiri.
            “Coba saya lihat?” Sadun mendekat, menelisik dan ikut meraba-raba wajah Pak Presiden.
            “Sepertinya bukan, topeng.” Gumam Presiden, kemudian berdiri dan berjalan menuju kaca besar di ruangan lain.  Di dalam ruangan itu, Presiden menarik-narik wajahnya sendiri, ingin yakin apakah dirinya memakai topeng atau tidak?
Lama waktu berjalan, Sadun berbisik sendirian, begini katanya.
“Hei Absurditas Malka, awas kamu. Nanti saya akan membalasmu, akan mengirimkanmu ke dunia paling menyeramkan. Nanti, setelah aku tahu apakah Presiden itu memakai topeng atau tidak. Tunggu saja!”
Wow, Sadun mengancam saya. Apakah saya harus takut? Entahlah, saya hanya ingin tahu apa yang dibisikan Spiderman tadi? Itu saja.
            Dari ruang tempat Presiden berkaca, tiba-tiba terdengar teriakan.
            “Kambing bertopeng!”
Itu suara presiden.
             Setelah teriakan itu, seharusnya aku kembali membicarakan Sadun. Endingnya adalah Sadun, tapi ia sudah menghilang, entah ke mana. Dan aku terkesiap, betapa lelaki di dalam ruangan itu, yang disebut Sadun sebagai Pak Presiden itu, adalah diriku sendiri.
            Wajahku hilang, berganti topeng kambing, topeng hitam.
            Kambing bertopeng hitam.

Bandung, 19 Desember 2012

*) Absurditas Malka lahir di Karawang pada 29 Mei 1982, pengrajin buku di SkylArt Publisher. Aktif menulis berbagai cerpen absurd, penulis buku kumcer Ular-ular Kain Serban, dan Sumur Pasir.


Artikel keren lainnya:

Belum ada tanggapan untuk "Kambing Bertopeng Hitam (Les Mal Assambler II) - Majalah Sabili, Edisi Januari 2013"

Post a Comment

Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar