IBX582A8B4EDEABB Sirkus (Tribun Jabar, 25 Agustus 2013) | Info Absurditas Kata Sirkus (Tribun Jabar, 25 Agustus 2013) - Info Absurditas Kata
Beranda · E-Mail Koran · Info Lomba · Kiat Menulis · Adsense · SEO Youtube · Jasa · Toko · Blog

Sirkus (Tribun Jabar, 25 Agustus 2013)

SIRKUS
Absurditas Malka*

            Memiliki seorang anak yang selalu penasaran itu melelahkan. Selalu ada saja yang dipertanyakan, selalu ada saja yang terlontar dari mulutnya. Aku sebagai seorang ayah, kadang harus berpikir keras untuk bisa menjawabnya.
            “Ayah, kenapa anjing sirkus itu terlihat bersedih?” tanya anakku.
            Jawaban seperti apa kiranya yang harus kuucapkan? Aku bahkan tidak bisa membedakan mana anjing yang sedang sedih, mana yang sedang senang. Bagiku tak ada bedanya. Ekspresi anjing-anjing itu terlihat sama saja.
            “Anjing yang mana?” Jawabku, mengulur waktu, agar aku sempat untuk memikirkan jawaban yang tepat.
            “Itu yang di ujung sebelah kiri.”
            Tangan anakku menunjuk-nunjuk ke arah seekor anjing sirkus yang berada di panggung sirkus. Aku sebenarnya sudah tahu anjing yang dimaksud oleh anakku, tapi jawaban yang tepat masih belum kutemukan.
            “Anjing yang itu? Anjing yang bulunya putih itu ya?” Aku masih mengulur waktu, tanganku menunjuk-nunjuk ke arah anjing yang berbeda.
            “Bukan yang itu, tapi yang itu. Anjing di ujung kiri.” Anakku sepertinya mulai kesal, nada suaranya agak mendengking dan telunjuknya seperti tombak yang melesak menunjuk anjing yang dimaksud.
            “O, anjing yang itu. Kenapa anjing itu?” Aku manggut-manggut, menelisik wajah anjing itu. Tetap saja, aku tidak bisa mengatakan anjing itu sedang bersedih.
            “Iya, anjing yang itu. Kenapa terlihat sedih, Ayah?” Anakku menatap anjing itu dengan sorot mata yang iba.
            Aku coba membandingkannya dengan anjing yang lain, mungkin ada sesuatu yang bisa memberiku pembeda bahwa anjing itu benar-benar sedang bersedih seperti yang dikatakan anakku, Sadun.
***
            Tempat pertunjukan sirkus ini sangat berbeda, aku pernah beberapa kali melihat pertunjukan sirkus tapi belum pernah melihat yang seperti ini. Semuanya yang dipertontonkan adalah anjing, tidak ada binatang lain seperti singa, gajah, atau monyet. Hanya ada anjing saja.
            “Ayah, boleh aku memelihara anjing?” tiba-tiba pertanyaan lain terlontar lagi dari mulut Sadun.
            “Buat apa melihara anjing?”
            Sebenarnya aku ingin pura-pura tidak mendengar ocehan itu, tapi Sadun tak hentinya menatapku.
            “Aku mau memelihara anjing.” Sadun merengek, tangannya menggoyang-goyangkan bahuku.
            “Tidak boleh, anjing itu najis.” Jawabku, dingin. Aku semakin teguh menontot atraksi anjing.
            “Tapi bukankah Ayah pernah bilang, ada anjing yang masuk surga. Kalau tidak salah, anjing Ashabul Kahfi. Iya kan?”
            Kalau saja aku tahu Sadun ingin memelihara anjing, seharusnya aku tidak pernah menceritakan riwayat Ashabul Kahfi kepadanya tempo hari. Sial!
            “Iya ada, tapi kamu tetap tidak boleh memelihara anjing, kecuali kamu terlahir sebagai Ashabul Kahfi.”
            Semoga jawabanku ini cukup cerdas, seharusnya Sadun mengerti bahwa ia tidak boleh memelihara anjing.
            “Aku ingin menjadi Ashabul Kahfi saja deh. Boleh?”
            “Kenapa lagi sekarang tiba-tiba mau jadi Ashabul Kahfi?” Ah, aku sudah menerka anak ini selalu lebih cerdas dari yang kuduga.
            “Supaya aku bisa memelihara anjing.”
            Aku tidak berkata-kata lagi. Aku pura-pura sibuk menonton atraksi anjing yang sedang mendoro mobil gerobak kecil. Aku bertepuk tangan, aku bersorak. Sadun terus saja menatapku, menunggu aku berhenti pura-pura sibuk.
***
            Kaing! Kaing! Kaing!
            Malam-malamku kini kerap dikejutkan suara dengking anjing. Sadun anakku itu, diam-diam memelihara seekor anjing. Badai nyaris reda ketika tiba-tiba Sadun pulang membawa seekor anak anjing di dalam tasnya.
            “Nak, kamu belum menjadi Ashabul Kahfi, buang anjing itu.” Aku merebut tas Sadun, kemudian membuang anak anjing itu ke pinggir jalan.
            “Kurasa anak anjing itu akan kembali.”
            Benar rupanya, anak anjing itu tidak pergi dari rumahku, dia selalu kembali. Sadun selalu rutin memberinya makan setiap hari, pagi, siang, dan sore. Sepiring nasi dan lauk pauk yang ada di dapur.
            “Kamu boleh memeliharanya tapi anjing itu tidak boleh masuk ke dalam rumah. Kecuali kamu sudah menjadi Ashabul Kahfi.”
            “Baiklah, terima kasih Ayah.”
            Akhirnya, Sadun menjadi majikan anjing. Kian hari anjing itu kian besar, sehat, dan sangat menurut kepada majikannya. Tidak hanya itu, anjing itu kini memiliki nama, Sadun memanggilnya Serban.
            “Apa? Kamu memberi nama anjing itu apa?”
            “Serban, itu namanya.”
            “Kenapa kamu memberi nama seperti itu?”
            “Dia sangat mencintai serban, coba ayah lemparkan dua kain yang berbeda, satu serban dan satu lagi apa saja. Serban tentu akan memilih kain serban, dia pintar, dia tahu mana kain serban mana bukan.”
            Aku tidak percaya, tapi aku melihatnya sendiri. Sadun melemparkan kain sarung, anjing itu cuek saja. Kemudian Sadun melemparkan serban, anjing itu melompat-melompat, memburunya, berguling-guling bermain kain serban. Bahkan, memakainya, ketika ia berdiri kain serban itu sudah melilit di lehernya. Buset!
            “Anjingmu pintar ya, mau kamu apakan anjing itu?”
            “Aku mau melatihnya sirkus.”
            “Seharusnya kamu melatih anjing itu tidur. Anjingnya Ashabul Kahfi jagonya tidur.”
            “Nanti saja kalau aku sudah menjadi Ashabul Kahfi.”
            Sadun semakin menggilai anjingnya, sehabis pulang sekolah dia langsung bermain dengan anjingnya. Melatihnya beratraksi, membuatnya lebih pintar dari hari ke hari. Serban, anjingnya Sadun itu, kini sudah bisa mengendari sepeda, bisa membopong ember, bisa salto berkali-kali, bisa berdiri lama dengan dua kaki belakang, bisa mendribling bola dengan moncongnya, bisa melakukan banyak hal seperti anjing-anjing sirkus yang tempo hari kami menontonnya.
***
            “Ayah, bagaimana kalau kita mengadakan pertunjukan sirkus?”
            “Ogah.” Aku mulai bosan dengan pertanyaan-pertanyaan dan pernyataan-pernyataan Sadun. Hanya jawaban singkat-singkat saja yang kulontarkan.
            “Kita bisa dapat uang, Ayah.” Sadun semakin antusias membujukku.         
            “Ayah sibuk.”
            “Tapi teman-temanku sudah membayar tiket pertunjukan sirkus Serban, kalau sampai tidak jadi. Apa kata teman-temanku?”
            Buset! Sadun rupanya sudah menjual banyak tiket kepada teman-temannya sendiri. Halaman rumahkulah yang dijadikannya tempat pertunjukan sirkus.
            “Uangnya buat kamu saja, tapi ingat jangan pernah membawa masuk anjing itu ke dalam rumah.”
            “Baiklah, terima kasih Ayah.”
            Satu per satu tean-teman sekolahnya Sadun datang ke rumah, mereka terlihat penasaran, ingin segera melihat sirkus. Aku sendiri bingung, bagaimana caranya Sadun bisa menjual tiket kepada teman-temannya, lumayan banyak yang datang, tidak kurang dari dua puluh orang.
            “Sadun, kapan mulainya?” teriak teman Sadun.
            “Iya nih, sudah jam dua siang, cepat dong.” Timpal yang lain.
            “Tenang semuanya, tidak lama lagi sirkusnya akan dimulai. Silakan duduk di tempat yang telah disediakan.” Sadun menunjuk ke arah tikar yang sudah disiapkannya di halaman rumah.
            Anak-anak kecil itu serempak berlarian menuju tikar yang sudah terhampar kemudian duduk bersila dengan rapi. Setelah semuanya berkumpul, Sadun berdiri di depan teman-temannya.
            “Teman-teman, terima kasih telah datang. Sekarang kita mulai pertunjukan sirkusnya. Tepuk tangan, dong!”
            Suara tepuk tangan dan sorak sorai terdengar bersahutan, acara sirkus pun dimulai. Sadung bersiul memanggil anjingnya, Serban.
            Kaing! Kaing! Kaing!
            Dari arah belakang teman-temannya, tiba-tiba Serban muncul, dia melompat hamparan tikar yang berisi 20 orang itu.
            “Horeeee...” Teman-teman Sadun bersorak-sorai melihat atraksi pembuka yang mengejutkan itu. Serban kini sudah berdiri di depan penonton, lidahnya menjulur-julur, di lehernya terikat kain serban berwarna merah, ekornya yang serupa ekor tupai berkibar-kibas ritmis ke kiri dan kanan.
            Sadun bersiul lagi. Serban kembali beratraski, kini anjing itu berjalan dengan dua kaki belakang, sementara kaki depannya membawa barbel replika. Serban berjalan memutari para penonton.
            “Horeee!!! Keren!” teriak para penonton.
            Sadun semakin semangat, begitupun Serban. Keduanya semakin terlihat lincah melakukan berbagai macam atraksi yang bahkan belum pernah aku lihat sebelumnya.
***
            Satu per satu, teman-teman Sadun pulang. Mereka terlihat kecewa, pertunjukan sirkus telah usai, tidak ada lagi atraski yang mengundang decak kagum. Wajah mereka terlihat mengantuk, dan kesal.
            “Pertunjukan apa ini? Kenapa kalian tidur saja?” Ucapku, setelah semua penonton pergi meninggalkan Sadun dan Serban.
            Aku tertegun, terhenyak, teringat kata-kata terakhir yang diucapkan Sadun kepada teman-temannya tadi. Ya, dia akan mempertontonkan pertunjukkan Ashabul Kahfi. Tidur panjang berabad-abad.
            Sadun dan Serban masih tertidur ketika hari perlahan beranjak malam. Mereka benar-benar tertidur, aku hanya tersenyum saja. Bagaimanapun mereka bukanlah Ashabul Kahfi, nanti tengah malam atau besok pagi kurasa keduanya akan kembali terbangun. Aku pun tertidur, lelap, sangat lelap.
***
            Bersama segelas kopi yang masih hangat, aku berjalan menuju beranda. Aku tersenyum geli, teringat anakku yang kemarin mempertontonkan pertunjukan Ashabul Kahfi. Mungkin mereka masih tidur di halaman rumah atau mungkin sudah pindah karena tidak kuat menahan dingin.
Perlahan, aku menarik daun pintu. Di halaman rumah sana, tak ada Sadun, tak ada Serban. Aku hanya melihat belulang yang berserakan.

Bandung, 25 Juli 2013

*) Absurditas Malka lahir di Karawang, bekerja di Panglima Ikan Bakar dan aktif menulis cerpen juga carpon.

           




 

Artikel keren lainnya:

Belum ada tanggapan untuk "Sirkus (Tribun Jabar, 25 Agustus 2013)"

Post a Comment

Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar