PERTEMUAN
Untuk kamu yang kerap berdenyar di
ruang sadar, apa lagi di semesta bawah sadar.
Sesekali temani aku memijak pasar Ciroyom, kamu
tidak akan sakit hanya gegara menginjak lumpur yang bercampur aneka macam
sampah dan kotoran. Kamu tidak akan mati di sana hanya karena dibekap bau busuk
yang pengap. Kamu tidak juga menjadi berdosa karena sejenak meninggalkan
megahnya mall dan FO. Sesekali saja, pergi bersamaku. Berbaur dengan sekian
ribu raut wajah yang matanya berkilatan cahaya harapan. Berdesak-desakan di
antara orang-orang yang pakaiannya tidak perlu dibubuhi parfum.
Dear…
Tepat di tengah-tengah pasar itu, ketika jalan
bercabang ke kiri dan kanan. Bersebelahan dengan penjual tahu-tempe yang kalap karena negara selalu menjadi
keledai dungu yang tak mampu mengendalikan harga kedelai. Ya, di sana, aku
selalu melihat jongko penjaja pertemuan.
Dear…
Jongko itu, tidak menjual sayur-sayur segar
sebagaimana jongko yang lain, tidak pula menjual daging, ikan, atau aneka bumbu
dapur. Jongko itu menjual pertemuan. Seorang lelaki yang usianya sepadan dengan
senja yang ungu, akan selalu ada menunggui jongkonya yang kosong, tidak
menjajakan apa-apa, kecuali pertemuan. Ya, jongko itu seperti jongko kosong
yang tidak menjual apa pun. Hanya ada lampu neon yang terang, meja kayu dengan
atap terpal lusuh, dan lelaki senja itu saja yang terlihat di sana.
Dear…
Aneka macam pertanyaan membuatku akhirnya menghampiri
jongko lelaki senja itu. Aku dalam segala ragu, bersama plastik-plastik berisi
ikan, sayur segar, dan aneka macam bumbu, berjalan mendekatinya. Lelaki itu
tersenyum ke arahku, dia menyambutku dengan sebersit senyum yang berkilatan,
cahaya mata yang benderang, dan wajah yang selalu segar.
Dear…
“Kemarilah Nak, siapa yang ingin kau temui?” Ucap
lelaki itu, tangannya terulur, menyambutku. Bibirnya tak henti mengurai senyum.
“Kek, jongko apa ini, kenapa sepi? Apa yang Kakek jual
di sini?” Tanyaku, ragu.
“Kakek tidak menjual apa pun, Nak. Kakek hanya menjual
pertemuan.” Lelaki senja tersenyum lagi,
semakin hangat.
“Maksudnya?” Aku kerutkan dahiku, coba menerka apa
maksud lelaki senja itu.
“Pertemuan, itulah yang Kakek jual. Kamu bisa menemui
siapa saja dengan membeli sebuah pertemuan di jongko ini.” Lelaki senja
meyakinkanku.
“Ciyus, Kek?” Aku tentu tak percaya begitu saja dengan
apa yang dikatakan lelaki senja.
“Siapa yang ingin kau temui, Nak?” Dia sepertinya
menantangku.
“Almarhum Bapakku.” Jawabku bergetar.
“Tidak bisa, Kakek tidak menjual pertemuan dengan
orang-orang yang telah tiada. Selebihnya kamu bisa menemui siapa saja.”
“Hmmm…” Aku semakin penasaran, siapakah yang harus
kutemui?
“Ibumu?”
“Besok lusa aku pulang, jadi aku tidak akan membeli
pertemuan itu. Hmmm…”
“Kekasihmu?”
“Aku tidak punya kekasih. Hmmm…”
“Nabila JKT48?”
“Busyet! Bisa gitu?”
“Kakek sudah bilang, siapa saja. Siapa saja.”
“Hmmm…. Ini serius kan, Kek?”
Dia tidak berkata-kata,
hanya melemparkan senyum saja. Menungguku menyebutkan sebuah nama.
“Aku ingin bertemu dengan …”
Dear…
Aku menyebut namamu,
lengkap. Nama yang di setiap sudut pasar Ciroyom ini seperti manekin yang
menirai. Nama yang di sepanjang jalan kota Bandung ini seperti umbul-umbul yang
memagar. Nama yang berdenyar di bulir darahku, siang dan malam. Namamu, nama
kamu.
“Harganya lima belas
tujuh ratus, satu pertemuan.”
“Hah, kok murah amat?”
Aku merogoh saku, mengeluarkan sejumlah uang yang disebutkan lelaki senja.
“Kembalian tiga ratus
rupiah.” Lelaki senja menyodorkan recehan, sebanyak 300 rupiah. “Sekarang, pulanglah. Dan jangan
sia-siakan pertemuannya.” Lelaki senja tersenyum tenang, sangat tenang.
Dear…
Aku seperti terkena
sihir, kakiku begitu saja melangkah menjauh, meninggalkan jongko penjual
pertemuan itu, meninggalkan lelaki senja. Aku berbalik, kembali ke keramaian
pasar. Aku tidak sadar, kalau-kalau saat itu aku sudah kena tipu. Begitu
mudahnya ditipu. Bisa saja bukan, lelaki itu penipu?
Dear…
Bersama plastik-plastik
yang berisi ikan, sayur, dan bumbu dapur di tangan kiri dan kanan. Aku terus
berjalan menyisir pasar. Jongko-jongko pedagang berderet di sisi jalan,
cahayanya begitu terang, sangat terang. Aku nyaris tidak mungkin menelisik
wajah-wajah penunggu jongko itu,cahaya itu terlalu terang. Begitupun jalan yang
sedang kutempuh, terlihat menuju kubangan cahaya di depan sana. Kakiku terasa
melayang, berjalan tenang menuju pusat terang.
Dear…
Aku tahu tidak seorang
pun akan percaya ceritaku ini, termasuk kamu. Tapi apalah artinya akal pikiran
dalam keluasan semesta kerinduan, hanyalah sebulir debu yang kerdil dan tak
bermakna. Tapi … di sinilah kita saat ini, dalam sebuah pertemuan. Kau
sandarkan nafasmu di bulir darahku. Kau usap punggungku dengan lembut. Kita
saling meminjam detak jantung. Berbagi asap kopi dan menikmati cucuran cahaya
yang berhujan dari lingkar bulan, dari kerlip bintang, dari kedua bola matamu.
Dear…
Pertemuan ini, apakah
mimpi belaka? Tentu bukan, demi getar
manis di bibirmu. Demi dengus hangat, di dadamu.
Bandung, 21 September 2013
Absurditas Malka
Belum ada tanggapan untuk "Pertemuan (Catatan Pasar)"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar