IBX582A8B4EDEABB God (Don't) Save the Queen (Tribun Jabar, edisi Minggu 1 Desember 2013) | Info Absurditas Kata God (Don't) Save the Queen (Tribun Jabar, edisi Minggu 1 Desember 2013) - Info Absurditas Kata
Beranda · E-Mail Koran · Info Lomba · Kiat Menulis · Adsense · SEO Youtube · Jasa · Toko · Blog

God (Don't) Save the Queen (Tribun Jabar, edisi Minggu 1 Desember 2013)

GOD (Don’t) SAVE THE QUEEN
Absurditas Malka*


            Dia masih mencari jalan untuk melarikan diri dari negeri dongeng. Dia berlari ke segala arah mata angin, tetap saja pelariannya berakhir sia-sia. Setiap ujung dari arah tempuh, hanya membawanya pada kebuntuan. Tentu, dia tidak akan menyerah, selama hidup masih memberinya jatah.
            Angin berkesiut, meniup daunan, mengusap keringat yang masih meleleh di sekujur tubuhnya. Dia bersandar di batu besar, di bawah pohon meranti yang rindang, meringankan nafasnya yang masih tersengal. Di pahanya yang berselonjor, sang pacar terlentang, tengadah menatapnya penuh kasmaran.
“Bang, tidak ada dunia lain di luar sana. Di sini kita hidup, di negeri dongeng ini. Sampai kapan Abang akan berlari? Lupakan fantasimu itu, aku tidak mau Abang menjadi gila...” Perempuan dengan bibir yang bertabur mawar, pipi yang bersemburat rona senja, dan mata yang dihuni kejora itu, tak pernah lelah mengingatkan pacarnya.
            “Fantasi katamu? Tidak Ningsih, tidak... Negeri dongengan inilah yang sebenarnya fantasi. Dunia yang nyata, dunia sejati berada di luar sana. Aku hanya butuh waktu untuk menemukannya, membamu ke sana. Dan kita akan berbahagia di dunia nyata.” Dia tak pernah percaya pada kata-kata pacarnya.
            “Kenapa kamu selalu meragukanku, Bang?” Ningsih terlihat kecewa, matanya yang kejora seketika diluapi gemawan paling mendung, paling murung.
            “Ningsih, aku mungkin meragukan apa saja, tapi aku tidak pernah meragukan rasa cintamu. Setidaknya aku akan selalu percaya pada cintamu. Selain dunia nyata di luar sana, cintamu adalah yang nyata juga.” Segaris senyum berhujan dari bibirnya, dia mengerti perihal kegelisahan-kegelisahan pacarnya. Tapi dia harus mencari dunia yang diyakininya ada di luar sana.
            “Bang, apa salahnya dengan negeri dongeng ini? Bukankah kita berbahagia hidup di dunia ini?” Ningsih kini mengangkat tubuhnya, didekatinya wajah lelaki pemburu fantasi itu. Ditempelkannya kedua bibir yang penuh mawar itu di bibir sang pacar.
            “Semuanya serba salah di negeri ini, Ningsih. Kenapa kamu begitu buta? Apakah cinta ini yang membuatmu buta?” Dia melengos, selalu ada rasa kecewa di setiap kali sang pacar menolak gagasannya tentang dunia yang selalu dicarinya. “Pemimpin kita yang cantik itu, nyatanya penjahat. Dia menumpuk-numpuk kekayaan di lemarinya sendiri, dia ingin menjadi ratu yang kekal, dia ingin menguasai semua nyawa di negeri ini. Dia dan keluarganya begitu kaya raya, sementara rakyat di negeri ini teramat sangat papa. Bukankah itu sesuatu yang sangat salah, sangat gila?”
            “Baiklah, dunia itu ada, dunia ini salah. Tapi jangan biarkan mawar-mawar di bibirku mengetuk ruang kosong.” Ningsih memburu wajah sang pacar.
            Angin kembali berkesiut, daunan kering ranggas di atas sana. Jempalitan di awang-awang, jatuh nun di suatu tempat sana. Dia dan Ningsih, di balik batu, berdua menyulam angin dengan asmara.
***
             Penduduk negeri dongeng di ujung barat tumpah ruah di jalanan. Mereka sedang menunggu sang ratu, pemimpin negeri dongeng. Mereka berebut ingin berdiri paling depan, ingin melihat dari dekat rupa sang ratu.
            “Ratu datang...” Seorang perempuan dengan kebaya lusuh, berbisik gugup kepada temannya. Tangannya ingin menunjuk ke arah kereta kencana yang ditunggangi sang ratu, tapi ia tak berani. Tidak ada seorang pun yang berani. Semua penduduk menunggu kereta kencana melintas di depan mereka, dan beruntung bila misa melihat sang ratu dari celah jendela.
            “Ratu yang Agung, Ratu yang Mulia...” seorang anak kecil bergumam sendirian, matanya mengikat erat-erat wajah sang ratu yang terlihat menyembul dari jendela kereta.
            “Ya Tuhan, betapa cantik Sang Ratu...” Pemuda dengan rambut sebahu, terpana melihat kecantikan wajah sang ratu. Begitupun semua penduduk negeri dongeng yang melihatnya
            “Bang, lihat, betapa cantik sang ratu. Ya Tuhan, semua perempuan di negeri dongeng ini tentu cemburu pada kecantikannya.” Ningsih rupanya hadir juga di sana, berdiri paling depan, ikut berdesakan dengan penduduk yang lain. Di belakangnya berdiri tegap sang pacar.
            “Tidak ada yang lebih cantik di negeri dongeng ini, kecuali pemilik punggung yang saat ini sedang kupeluk. Bahkan kecantikan Sang Ratu, tidak bermakna bagiku.” Dia berbisik lembut di telinga Ningsih.
            “Ssst... Bang hati-hati dengan ucapanmu. Kalau Sang Ratu mendengar, bisa mati kamu.” Ningsih mendelik, tangannya mencubit sang pacar.
            “Apa lagi yang harus kukatakan? Begitulah adanya. Lagian kamu dan semua penduduk di negeri dongeng ini, tertipu belaka. Tidakkah kamu melihat rupa sang ratu yang sebenarnya?” Dia menunjuk rupa sang ratu yang masih menyembul di jendela kereta.
            “Bang, telunjukmu!” Ningsih segera membenamkan telunjuk pacarnya yang menduduh tepat ke wajah sang ratu.
            “Lihat baik-baik. Rambutnya yang menjuntai bagaikan malam paling hitam itu, kedua bola matanya yang dihuni matahari dan rembulan, dan wajahnya yang menyimpan ketenangan telaga. Semua itu tipu daya belaka.” Dia tidak lagi menunjuk dengan tangannya.
            “Apa maksudmu, Bang?”
            “Itu sebabnya aku selalu mencari dunia nyata, itu sebabnya aku selalu berlari mencari jalan untuk meninggaklan negeri dongeng ini, Ningsih. Segala yang ada di sini, salah belaka, salah seperti apa yang kamu lihat.”
            Dia berhenti bicara, ditatapnya wajah sang ratu dengan sorot terhunus tajam. Baginya sang ratu terlihat sangat mengerikan, rambutnya adalah ratusan tangan yang menggenggam belati, matanya di huni kilatan api dari dasar neraka, bibirnya yang merah semata-mata dipulas darah yang dihisap dari jantung korban-korbannya.            “Cantik...” Ningsih bergumam, tidak ada yang salah dengan apa yang dilihatnya. Tidak ada yang salah dengan negeri dongeng dan pemimpinnya.
***
            “Abangmu kok belum berangkat?” bisik Zahra, sahabat Ningsih. Sudut matanya mengawasi dia yang terlihat masih menunggu waktu yang tepat untuk pergi.
Semua orang tahu, biasanya dia sudah meninggalkan rumah di waktu pagi, berlari entah ke mana, mencari dunia nyata, mencari sesuatu yang bagi semua orang hanya ada dalam kepala dia belaka. Mencari negeri yang di dalamnya kesalahan dihukum sebagai kesalahan, dan kebenaran menempati ruangnya sebagai benar. Tidak seperti apa yang terjadi di negeri dongeng, benar dan salah, begitu buram, tak pernah jelas, bahkan tak pernah ada.
            “Lagi galau kali.” Ningsih menjawab sekenanya.
            “Wadaw! Hidup di negeri dongeng nggak boleh galau, obatin geeh.” Zahra ngeloyor, meninggalkan Ningsih, memberinya isyarat untuk menyampiri dia.
            “Bang, kenapa masih di sini?” Ningsih berdiri kaku di dekatnya.
            “Aku ragu, Ningsih.” Dia tak menoleh, matanya asyik mengikuti gerakan awan-awan di langit sana.
            Ada banyak matahari yang rekah di bola mata Ningsih ketika mendengar pacarnya mulai ragu. “Akhirnya... Kalau sudah ragu, sudahlah Bang, lupakan dunia itu. Kita hidup di negeri dongen ini, di negeri yang dipimpin ratu paling cantik sedunia. Kita hidup sejahtera, kita bahagia di sini.”
“Bukan, bukan itu. Abang sedang berpikir untuk membawamu. Abang ingin menunjukkan rupa Sang Ratu yang sebenarnya. Ikutlah bersamaku.” Dia menoleh perlahan, matanya memancarkan harapan yang amat sangat.
            “Aih, Abang tidak perlu menunjukkan apa pun tentang negeri dongeng ini. Segala kecacatan negeri ini, telah ada sejak entah kapan. Tunjukkan saja satu hal kepadaku, dunia fantasimu itu. Setelah itu, aku baru mau percaya pada segala apa yang Abang katakan.” Rasa kesal, haru, juga kecewa berkecamuk dalam dada Ningsih. Betapa pacarnya itu masih saja berkutat dengan fantasi bodohnya. Tak pernah ada dunia lain di luar sana, hidup hanya terjadi di negeri dongeng.
            “Benarkah itu saja?” Dia tersenyum menantang.
            “Ya itu saja, dan aku tahu, Abang tidak akan pernah menemukan dunia itu. Aku tahu, Abang akhirnya akan bisa menerima negeri dongeng ini sebagai kenyataan. Hidup bersamaku di sini dan kita berbahagia, selamanya. Selama-lamanya.” Ningsih mendekati sang pacar, dilekatkannya tatapan yang penuh harap.
            “Baiklah... Abang akan menemukan dunia itu, simpan rindumu kuat-kuat. Abang hanya akan kembali setelah menemukan dunia itu.”
            “Bang jangan marah. Dengarlah, dunia itu tidak pernah ada. Abang tidak akan pernah menemukan apa pun di luar sana.” Ningsih merajuk.
            “Abang tidak marah kepadamu, Ningsih. Abang hanya marah kepada negeri dongeng ini, betapa negeri ini begitu buram, pemimpinnya adalah penjahat, wakil rakyatnya adalah orang-orang serakah, pejabat negaranya adalah bangsat.”
            Tidak ada apa pun yang bisa menahan keberangkatan seorang lelaki yang dadanya telah disesaki mimpi. Dia pergi meninggalkan negeri dongeng, kampung halamannya.    Dia kini sudah utuh ditelan tiada, jalan setapak yang ditatapi Ningsih, sudah menelannya di tikungan sana.
Kelak, dari tikungan yang ditandai pohon meranti itulah, dia akan kembali. Bersama secarik peta dan cerita tentang dunia yang selama ini hanya ada dalam fantasinya belaka.
***
            “Apa yang salah dengan negeri dongeng ini? Kebahagiaan ada di sini, salah dan benar juga ada di sini, meskipun semuanya selalu saja buram tetap saja ini kampung halaman kita, Bang.” Ningsih tak pernah berhenti mempertanyakan itu.
Setelah dia tiada, kini Ningsih melulu memikirkan perihal kata-kata pacarnya, perihal mimpinya tentang dunia yang sempurna. Tetap saja, bagi Ningsih negeri dongeng adalah negeri yang baik-baik saja, tak ada yang salah, tak ada yang palsu.
            ”Non, dia tidak akan kembali, berhentilah menunggunya.” Ucap seorang perempuan tua yang kebetulan lewat.
            “Aku sedang menikmati senja, Nek.” Ningsih berkilah.
            “Sudahlah, tidak perlu berbohong. Aku bisa melihat sorot matamu, merasakan dengus nafasmu, kamu sedang menanti pacarmu. Kamu tidak harus mati dalam penantian, lupakan pacarmu itu.” Ucap perempuan itu seraya melenggang.
            Ningsih terdiam, disesapinya senja demi senja, ditempuhnya sekian lama penantian. Kekosongan dan rindu yang kian beranak-pinak dalam dadanya, suatu saat nanti akan menemukan penawar. Dia akan pulang, suatu saat nanti. Suatu saat.
“Bang... Duniamu itu tidak pernah ada, bukan?”
            Ningsih bergumam, disesapinya senja yang semakin temaram. Disesapinya pula derit waktu yang tak pernah berhenti berputar. Jauh di dalam hatinya, rindu terasa semakin berdenyar. Semakin bergeletar.
***
            “Ningsih, seharusnya kamu percaya kepadaku. Tempat kita hidup hanyalah dongengan belaka, penuh tipu daya. Seharusnya kamu percaya.”
            Dia mengembuskan nafas panjang dan dalam, Ningsih dan segala riwayat negeri dongeng mengakar dalam dadanya, menjadi belantara di dalam ingatannya. Dan tidak ada seorang pun yang mungkin kembali pada memoar.
            “Aku sudah menemukanmu duniaku, Ningsih. Tapi aku tidak akan pernah kembali. Sekarang, di sini aku hidup, di sini kebahagian-kebahagianku.” Dia kembali berlari, terus berlari, meliuk-liuk di antara celah huruf-huruf, melompat dari halaman yang satu ke halaman yang lain.
Kini, dia hidup di dalam buku.

Bandung, 11 Oktober 2013

*) Absurditas Malka, lahir di Karawang dan kini bekerja di PKL Panglima Ikan Bakar Madu - Bandung.


--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Beberapa jam kemudian, Benny Arnas menulis twitt sebagai berikut: "God (Don't) Save the Queen. Begitu judul sebuah cerpen pagi ini. Sudah keinggris-inggrisan, salah pula! Ai, penulis=redaktur. Payah!"

"Mantap dan pedas" "bwahahahha :D" Begitulah saya menjawab tanggapan di atas. Ya, cuma nyengir, lagian nggak usah terlalu serius nanggapin komentar "terapung" semacam itu. Setiap orang bisa sekonyong-konyong men-judge, cuma segelintir saja yang bisa membangun kerangka dan landasan megah untuk judge yang dibuatnya. Hwarakadah!

Setelah beberapa jam kemudian, dari seorang teman, saya tahu, rupanya bersumber dari FB dengan masalah seputar kata dont, doesnt, didnt, dll.

Menurut aturan baku bahasa Inggris, kata GOD harus diikuti oleh kata DOESNT atau DIDNT (lampau), bukan DONT seperti pada judul cerpen di atas.

Ya, benar, kalau judul di atas berupa "pemaparan", penulisannya memang "God Doesnt Save the Queen." (Tuhan tidak menyelamatkan sang ratu) 

Hanya saja, judul di atas makdus-nya adalah "Tuhan jangan selamatkan sang ratu" (God Dont Save the Queen).

Begitulah... Sist n Bro...
Hatur nuhun, tanggapannya.
Terima kasih telah membaca :)


Artikel keren lainnya:

Belum ada tanggapan untuk "God (Don't) Save the Queen (Tribun Jabar, edisi Minggu 1 Desember 2013)"

Post a Comment

Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar