33 BINATANG TERBANG
Absurditas Malka
Sali mendadak terobsesi untuk bisa terbang setelah melihat ribuan
laron kemarin malam. Sampai saat ini entah seberapa banyak rengekannya itu
diucapkan. Selain merengek, ia kerap menirukan gerakan terbang, berdiri dengan
dua kaki belakang, merentangkan dan mengepak-ngepakkan kaki depannya. Kambing
bernama Sali ini ia masih bocah, masih berpikir dirinya suatu saat bisa
terbang, seperti laron yang dilihatnya kemarin malam.
“Cucuku, apakah kamu
sudah bisa terbang?” tanya Sadun, kakeknya Sali.
Tentu pertanyaan itu dikutuk untuk hanya mendapatkan
jawaban tidak, selamanya. Selama-lamanya.
“Belum Kek,
mungkin besok. Bersabarlah.” Jawab Sali, riang. Tak hentinya ia meniru gerakan
terbang, berkelepak memutari padang rumput, hinggap di rimbunan perdu dan
ilalang, hinggap di mana saja ketika nafasnya nyaris habis kelelahan.
“Cucuku, benarkah kamu ingin bisa terbang?” Lama-lama,
Sadun merasa geli dengan perilaku cucunya itu.
“Kakek, benarkah kambing tidak bisa terbang?” Sali
berhenti pura-pura terbang, ditatapnya raut Sang Kakek yang terlihat menahan
geli.
“Cucuku, tidak ada kambing yang bisa terbang.” Sadun
mengunyah rumput sebanyak-banyaknya agar ia tidak tertawa, tidak menertawakan
cucunya sendiri.
“O, Kakekku. Bagaimana caranya agar cucumu ini bisa
terbang?” Sali kembali pura-pura terbang, meliuk-liuk kian-kemari, menghayati dirinya sebagai kambing
terbang.
“Cucuku, setelah kamu
besar, pergilah ke Gunung Sastra. Di tempat itu semua binatang bisa terbang,
siapa tahu kamu bisa belajar terbang. Benar-benar bisa terbang. Hihihi…” Bisik
Sadun, janggutnya membuat
geli telinga Sali.
“Apakah
kambing di sana bisa terbang? Apakah mereka
memiliki sayap seperti laron atau kelelawar? Apakah mereka dilahirkan oleh
burung? Kakek, kenapa aku harus
menunggu besar? Cucumu ini akan pergi sekarang.” Mimpi Sali untuk bisa terbang,
seketika menemu jawaban.
“Pergilah, cari tempat
itu. Kamu akan menemukannya.”
Sali tidak banyak bertanya lagi, ia lantas
mengepak-ngepak tangannya meninggalkan kakeknya, mencari Gunung Sastra, ingin pandai terbang.
***
“Bapak, apakah tempat
ini bernama Gunung Sastra?” Suara Sali nyaris tak terdengar, tenaganya terkuras
setelah menempuh jarak absurd antara mimpi di dalam kepalanya dan Gunung Sastra
yang kini dipijaknya. Sosok yang dipanggilnya itu, tak lain seekor serigala
hutan.
“O, bocah malang. Dikau
penuh luka dan layu merana seakan tak lama lagi nyaris mati sengsara. Benar,
inilah Gunung Sastra.” Serigala menelan liurnya berkali-kali, betapa ia tengah
dihadapkan pada makanan lezat kesukaannya. “Benarkah
di tempat ini semua binatang bisa
terbang?” Tanya Sali, ketika serigala itu hanya berjarak sejengkal darinya.
“Bocah malang, kamu
datang ke sini hanya untuk melihat binatang terbang?” Serigala itu menyandarkan
Sali ke batang pohon.
“Sebenarnya, aku ingin
belajar terbang.” Bisik Sali, suaranya habis, ia pun jatuh pingsan.
Serigala itu seketika
kehilangan selera makan. Dibuangnya jauh-jauh panggilan perutnya sendiri, ia merasa harus menolong kambing malang itu.
Dibopongnya tubuh Sali yang lunglai tak sadar diri.
Tap Tap Tap
Wussssh!
Setelah menjejakkan kaki beberapa kali, serigala itu
melayang di udara. Sesekali hinggap di pucuk-pucuk ilalang, bahkan mengawang memijak rimbun pohonan, kadang
seolah melampaui awan. Tubuhnya sangat ringan, melayang di udara, tenang, riang,
membawa Sali terbang.
***
“Di mana binatang-binatang terbang itu?” Ucap Sali
ketika ia siuman setelah seharian ia tak sadarkan diri. Tubuhnya yang kotor
seperti gelandangan, kini sudah mengilap lagi, dirawat oleh serigala penyelamat.
“Bocah, kamu terlalu banyak mendengarkan
omong-kosong.” Serigala itu mengusap keringat sebesar-besar biji jagung yang
ramai menempeli jidat Sali.
“Aku ingin bisa terbang. Apakah Bapak bisa terbang?”
Sali menepis lengan yang sedang menyeka keringat di jidatnya. Ia berusaha duduk
tapi tubuhnya terasa lemah.
“Serigala tidak ada yang bisa terbang.”
“Kalau Bapak tidak bisa terbang, antarkan aku kepada
siapa saja yang bisa terbang di Gunung Sastra ini, siapa saja yang bisa
mengajarkan aku terbang.”
“Bocah, kamu ini masih kecil dan keras kepala.” Serigala
itu tersenyum geli melihat keinginan Sali yang membara.
“Bapak, aku mohon.” Air muka Sali terlihat penuh iba,
sementara bola matanya berkilatan oleh harapan.
“Baiklah. Pertama-tama, sebenarnya kamu keliru. Tidak semua binatang di
Gunung Sastra bisa terbang, hanya
beberapa saja.”
“Seberapa banyak yang bisa terbang?” Sali berkali-kali
mengawasi ketiak serigala itu, tidak terlihat lipatan sayap di sana, rupanya
benar serigala itu tak bisa terbang.
“Hanya tiga puluh tiga saja yang bisa terbang.”
“Kenapa hanya sebegitu?”
“Sebenarnya ratusan, mungkin ribuan. Tidak pernah ada
jumlah yang pasti tapi …” Serigala itu
berhenti bicara, tatapnya seketika menerawang.
“Tapi kenapa, Bapak? Ceritakanlah.”
“Satu di antara tiga puluh tiga binatang terbang,
sebenarnya ia tak bisa terbang. Hihihi…” Serigala itu terkekeh sampai-sampai
perutnya berguncang-guncang.
“Kalau ia tak bisa terbang kenapa ditulis bisa terbang?”
“Tiga puluh tiga atau seratus, kalau bisa terbang
tetap saja akan terbang meskipun mereka tidak dituliskan bisa terbang.
Begitupun sebaliknya, kalau tidak bisa terbang tetap saja tak akan bisa terbang
meskipun ribuan kali dituliskan
bisa terbang.”
“Ya sudahlah. Sekarang siapa yang bisa mengajariku
terbang?”
“Siapa lagi, tentu mereka, Delapan Babi Terbang.”
“Delapan Babi terbang?”
“Ya, mereka itu semuanya babi, memiliki sayap. Mereka
tinggal di kedalaman belantara Gunung Sastra, di antara pekatnya kabut-kabut,
di dalam kubangan kotor tepat di bawah pohon angpau. Sekarang, untuk bisa
terbang kamu harus memintanya kepada mereka. Carilah.”
“Apakah mereka bisa mengajariku terbang?”
“Jika pun mereka tak bisa mengajarkanmu terbang,
setidaknya mereka bisa menuliskanmu sebagai bisa terbang. Hihihihi…” Serigala
itu terkekeh lagi, perutnya berguncang-guncang lagi.
***
Tiga hari tiga malam,
Sali menerabas dingin dan gelapnya belantara Gunung Sastra. Akhirnya ia
menemukan sarang Delapan Babi Terbang, seperti yang diceritakan serigala itu.
Tepat di bawah pohon angpau yang rindang, memayungi kubangan kotor, busuk, dan
menjijikkan.
“Hoi! Kalian Delapan Babi Terbang?” Teriak Sali, suaranya
membuat kabut Gunung Sastra bergetar.
“Bocah! Apakah kamu
ingin bisa terbang?” Teriak salah satu babi terbang, dua pasang sayap serupa
sayap kelelawar tak mau diam di punggungnya, terus saja mengelepak, bunyinya berisik.
Sali tak gegas bicara,
ia menelisik sayap-sayap di punggung babi-babi itu. Ia pernah melihat babi di
kampungnya tapi tak satu pun yang bersayap. “Bagaimana mereka bisa punya
sayap?” Sali bergumam, tanpa sadar kaki depannya meraba ketiak dan punggungnya
sendiri, tak ada sayap di sana.
“Bocah! Bicaralah!” Teriak babi itu lagi, suaranya
lebih kencang.
“Aku tidak akan sudi menemui kalian kalau aku tidak
akan bisa terbang. Ajarkan aku terbang!” Teriak Sali, lantang.
Sali kini percaya babi-babi itu benar-benar bisa
terbang, terlebih ketika salah satu babi mendekatinya. Tubuh babi itu terbang di
udara, terbang dengan dua pasang sayap kelelawar di punggungnya. Hanya saja
terbang mereka tak anggun, terlihat payah, terbanting-banting kian kemari,
sepasang sayap itu seperti kepayahan menahan bobot badannya sendiri. Lumpur
kotor dan bau busuk terciprat kemana-mana ketika sayap-sayap babi itu mengepak.
“Pulanglah, hanya ada tiga puluh tiga binatang yang
bisa terbang, tidak akan bertambah tidak akan berkurang. Pergilah!” teriak babi
itu, sepasang sayap di punggungnya tak hentinya berkelepak. Lumpur kotor
menampar muka Sali. Ploook!
“Aku harus menjadi yang ketiga puluh empat.” Sali
bersikeras ingin belajar terbang, agar ia bisa membuktikan bahwa kakeknya
salah, bahwa kambing sebenarnya bisa terbang.
“Hwarakadah! Keras
kepala, pulanglah!” teriak babi itu lagi, kesal.
“Ayolah, aku tidak akan pulang sebelum aku bisa
terbang.”
“WANI PIRO?”
Teriak Delapan Babi Terbang, bersamaan.
***
Tepat satu tahun, Sali dilatih terbang. Sebenarnya ia diperas Delapan Babi Terbang, disuruh kerja ini dan
itu, diminta begini dan begitu demi kesenangan mereka belaka. Tetap saja ia tak bisa terbang.
Mereka sendiri sebenarnya tak pernah bisa terbang. Ada pun ketika pertama kali mereka
terlihat terbang, rupanya itu tipuan tali tambang. Mereka mengikat dirinya dengan tambang, bergantung pada pohon angpau, agar terlihat seperti terbang. Babi memang tak ada yang bisa terbang, tak pernah ada. Termasuk
babi ngepet, tak mungkin terbang! Bagaimana mungkin mereka bisa
terbang? Hidup mereka setiap saat habis di dalam kubangan, berpesta dengan
kotoran.
Setelah membongkar akal bulus Delapan Babi Terbang,
Sali pun melarikan diri dari muslihat mereka. Ia teringat ucapan kakeknya, ia merasa
harus pulang menerima kenyataan bahwa kambing tak bisa terbang.
“Benarkah kambing tak bisa terbang?” Sali
termenung-menung. “Kambing tidak bisa terbang karena mereka tidak pernah sekali
pun mencoba untuk terbang!” pekiknya
seolah ia menemukan inovasi jitu yang akan mengubah dunia. Berlarilah
ia ke tepi jurang.
“Aku bisa terbang!” di tepi jurang paling tinggi di Gunung Sastra, Sali berteriak
kencang. Suaranya berlarian ke lereng dan lembah, bolak-balik di udara kemudian
hilang setelah beberapa jeda. Plung… Sali
menjatuhkan tubuhnya ke dalam jurang, nekat membuktikan bahwa kambing
tak bisa terbang.
Wussssh… Ajaib! Sali melayang, menembus udara, terbang membelah tebalnya kabut Gunung
Sastra. Tak ada sayap di punggungnya, tak pernah ada sayap. Tak ada kambing
yang punya sayap, bukan?
“Bapak! Aku bisa
terbang!” Teriak Sali dari ketinggian
ketika tepat berada di atas sarang serigala yang dulu menyelamatkannya.
Serigala penyelamat gelagapan, mulutnya menganga,
sampai-sampai dagunya seperti hendak copot, tak percaya dengan apa yang
dilihatnya. Belasan meter di atas jidatnya, kambing itu benar-benar terbang!
“Bapak, aku pulang!” teriak Sali, lantang di
ketinggian.
“Pulanglah. Jangan
terbang kalau sedang hujan, nanti disambar halilintar.” Teriak
serigala, tak kalah lantang.
Cekiiiiiiit… Tiba-tiba Sali berhenti di udara, ia kembali menuju sarang serigala. Ada sesuatu yang dilupakannya.
“Siapakah
nama Bapak?”
“Bocah, apalah artinya sebuah nama? Tapi kau
bisa memanggilku Mira Sato, kadang Saini KM, atau Saut Situmorang mungkin pula Wiji Tukul. Pergilah bocah, pulanglah.” Teriaknya.
Sali pun melesat,
berkelisut di awang-awang. Meninggalkan Gunung Sastra yang tak hentinya
berkabut-kabut. Selama-lamanya berkabut.
Terbang, terbang, terbang, menembus langit dan
kebohongan.
Bandung, 19 Januari 2014
NOTE:
- Paragraf yang dicetak tebal di bagian ending, boleh dihilangkan.
- Bila judul di atas berasa terlalu “jahat” boleh diganti menjadi “33 Binatang Terbang” atau cukup “Kambing Terbang”
----------------------------------------------------------------------------------------------------
Info:
- Mira Sato = Seno Gumira Ajidarma
- Judul awal cerpen ini "8 BABI TERBANG"
- Itu NOTE yang dicetak tebal pake warna merah, saya sertakan di naskah cerpen aslinya :D
Belum ada tanggapan untuk "Cerpen 33 Binatang Terbang (Tribun Jabar, Minggu - 16 Februari 2014) "
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar