IBX582A8B4EDEABB Cerpen 33 Binatang Terbang (Tribun Jabar, Minggu - 16 Februari 2014) | Info Absurditas Kata Cerpen 33 Binatang Terbang (Tribun Jabar, Minggu - 16 Februari 2014) - Info Absurditas Kata
Beranda · E-Mail Koran · Info Lomba · Kiat Menulis · Adsense · SEO Youtube · Jasa · Toko · Blog

Cerpen 33 Binatang Terbang (Tribun Jabar, Minggu - 16 Februari 2014)

33 BINATANG TERBANG
Absurditas Malka


Tips Menulis Cerpen            “Kakek, aku ingin pandai terbang. Apa yang harus kulakukan?” Tanya seekor kambing bernama Sali.
Sali mendadak terobsesi untuk bisa terbang setelah melihat ribuan laron kemarin malam. Sampai saat ini entah seberapa banyak rengekannya itu diucapkan. Selain merengek, ia kerap menirukan gerakan terbang, berdiri dengan dua kaki belakang, merentangkan dan mengepak-ngepakkan kaki depannya. Kambing bernama Sali ini ia masih bocah, masih berpikir dirinya suatu saat bisa terbang, seperti laron yang dilihatnya kemarin malam.
            “Cucuku, apakah kamu sudah bisa terbang?” tanya Sadun, kakeknya Sali.
Tentu pertanyaan itu dikutuk untuk hanya mendapatkan jawaban tidak, selamanya. Selama-lamanya.
 “Belum Kek, mungkin besok. Bersabarlah.” Jawab Sali, riang. Tak hentinya ia meniru gerakan terbang, berkelepak memutari padang rumput, hinggap di rimbunan perdu dan ilalang, hinggap di mana saja ketika nafasnya nyaris habis kelelahan.
“Cucuku, benarkah kamu ingin bisa terbang?” Lama-lama, Sadun merasa geli dengan perilaku cucunya itu.  
“Kakek, benarkah kambing tidak bisa terbang?” Sali berhenti pura-pura terbang, ditatapnya raut Sang Kakek yang terlihat menahan geli.
“Cucuku, tidak ada kambing yang bisa terbang.” Sadun mengunyah rumput sebanyak-banyaknya agar ia tidak tertawa, tidak menertawakan cucunya sendiri.
“O, Kakekku. Bagaimana caranya agar cucumu ini bisa terbang?” Sali kembali pura-pura terbang, meliuk-liuk kian-kemari, menghayati dirinya sebagai kambing terbang.
            “Cucuku, setelah kamu besar, pergilah ke Gunung Sastra. Di tempat itu semua binatang bisa terbang, siapa tahu kamu bisa belajar terbang. Benar-benar bisa terbang. Hihihi…” Bisik Sadun, janggutnya membuat geli telinga Sali.
            “Apakah kambing di sana bisa terbang? Apakah mereka memiliki sayap seperti laron atau kelelawar? Apakah mereka dilahirkan oleh burung? Kakek, kenapa aku harus menunggu besar? Cucumu ini akan pergi sekarang.” Mimpi Sali untuk bisa terbang, seketika menemu jawaban.
            “Pergilah, cari tempat itu. Kamu akan menemukannya.”
Sali tidak banyak bertanya lagi, ia lantas mengepak-ngepak tangannya meninggalkan kakeknya, mencari Gunung Sastra, ingin pandai  terbang.
***
            “Bapak, apakah tempat ini bernama Gunung Sastra?” Suara Sali nyaris tak terdengar, tenaganya terkuras setelah menempuh jarak absurd antara mimpi di dalam kepalanya dan Gunung Sastra yang kini dipijaknya. Sosok yang dipanggilnya itu, tak lain seekor serigala hutan.
            “O, bocah malang. Dikau penuh luka dan layu merana seakan tak lama lagi nyaris mati sengsara. Benar, inilah Gunung Sastra.” Serigala menelan liurnya berkali-kali, betapa ia tengah dihadapkan pada makanan lezat kesukaannya.  “Benarkah di tempat ini semua binatang bisa terbang?” Tanya Sali, ketika serigala itu hanya berjarak sejengkal darinya.
            “Bocah malang, kamu datang ke sini hanya untuk melihat binatang terbang?” Serigala itu menyandarkan Sali ke batang pohon.
            “Sebenarnya, aku ingin belajar terbang.” Bisik Sali, suaranya habis, ia pun jatuh pingsan.
            Serigala itu seketika kehilangan selera makan. Dibuangnya jauh-jauh panggilan perutnya sendiri, ia merasa harus menolong kambing malang itu. Dibopongnya tubuh Sali yang lunglai tak sadar diri.
Tap Tap Tap Wussssh!
Setelah menjejakkan kaki beberapa kali, serigala itu melayang di udara. Sesekali hinggap di pucuk-pucuk ilalang, bahkan mengawang memijak rimbun pohonan, kadang seolah melampaui awan. Tubuhnya sangat ringan, melayang di udara, tenang, riang, membawa Sali terbang.
***
“Di mana binatang-binatang terbang itu?” Ucap Sali ketika ia siuman setelah seharian ia tak sadarkan diri. Tubuhnya yang kotor seperti gelandangan, kini sudah mengilap lagi, dirawat oleh serigala penyelamat.
“Bocah, kamu terlalu banyak mendengarkan omong-kosong.” Serigala itu mengusap keringat sebesar-besar biji jagung yang ramai menempeli jidat Sali.
“Aku ingin bisa terbang. Apakah Bapak bisa terbang?” Sali menepis lengan yang sedang menyeka keringat di jidatnya. Ia berusaha duduk tapi tubuhnya terasa lemah.
“Serigala tidak ada yang bisa terbang.”
“Kalau Bapak tidak bisa terbang, antarkan aku kepada siapa saja yang bisa terbang di Gunung Sastra ini, siapa saja yang bisa mengajarkan aku terbang.”
“Bocah, kamu ini masih kecil dan keras kepala.” Serigala itu tersenyum geli melihat keinginan Sali yang membara.
“Bapak, aku mohon.” Air muka Sali terlihat penuh iba, sementara bola matanya berkilatan oleh harapan.
“Baiklah. Pertama-tama, sebenarnya kamu keliru. Tidak semua binatang di Gunung Sastra bisa terbang, hanya beberapa saja.”
“Seberapa banyak yang bisa terbang?” Sali berkali-kali mengawasi ketiak serigala itu, tidak terlihat lipatan sayap di sana, rupanya benar serigala itu tak bisa terbang.
“Hanya tiga puluh tiga saja yang bisa terbang.”
“Kenapa hanya sebegitu?”
“Sebenarnya ratusan, mungkin ribuan. Tidak pernah ada jumlah yang pasti tapi …” Serigala itu berhenti bicara, tatapnya seketika menerawang.
“Tapi kenapa, Bapak? Ceritakanlah.”
“Satu di antara tiga puluh tiga binatang terbang, sebenarnya ia tak bisa terbang. Hihihi…” Serigala itu terkekeh sampai-sampai perutnya berguncang-guncang.
“Kalau ia tak bisa terbang kenapa ditulis bisa terbang?”
“Tiga puluh tiga atau seratus, kalau bisa terbang tetap saja akan terbang meskipun mereka tidak dituliskan bisa terbang. Begitupun sebaliknya, kalau tidak bisa terbang tetap saja tak akan bisa terbang meskipun ribuan kali dituliskan bisa terbang.”
“Ya sudahlah. Sekarang siapa yang bisa mengajariku terbang?”
“Siapa lagi, tentu mereka, Delapan Babi Terbang.”
“Delapan Babi terbang?”
“Ya, mereka itu semuanya babi, memiliki sayap. Mereka tinggal di kedalaman belantara Gunung Sastra, di antara pekatnya kabut-kabut, di dalam kubangan kotor tepat di bawah pohon angpau. Sekarang, untuk bisa terbang kamu harus memintanya kepada mereka. Carilah.”
“Apakah mereka bisa mengajariku terbang?”
“Jika pun mereka tak bisa mengajarkanmu terbang, setidaknya mereka bisa menuliskanmu sebagai bisa terbang. Hihihihi…” Serigala itu terkekeh lagi, perutnya berguncang-guncang lagi.
***
            Tiga hari tiga malam, Sali menerabas dingin dan gelapnya belantara Gunung Sastra. Akhirnya ia menemukan sarang Delapan Babi Terbang, seperti yang diceritakan serigala itu. Tepat di bawah pohon angpau yang rindang, memayungi kubangan kotor, busuk, dan menjijikkan.
            “Hoi! Kalian Delapan Babi Terbang?” Teriak Sali, suaranya membuat kabut Gunung Sastra bergetar.
            “Bocah! Apakah kamu ingin bisa terbang?” Teriak salah satu babi terbang, dua pasang sayap serupa sayap kelelawar tak mau diam di punggungnya, terus saja mengelepak, bunyinya berisik.
            Sali tak gegas bicara, ia menelisik sayap-sayap di punggung babi-babi itu. Ia pernah melihat babi di kampungnya tapi tak satu pun yang bersayap. “Bagaimana mereka bisa punya sayap?” Sali bergumam, tanpa sadar kaki depannya meraba ketiak dan punggungnya sendiri, tak ada sayap di sana.
“Bocah! Bicaralah!” Teriak babi itu lagi, suaranya lebih kencang.
“Aku tidak akan sudi menemui kalian kalau aku tidak akan bisa terbang. Ajarkan aku terbang!” Teriak Sali, lantang.
Sali kini percaya babi-babi itu benar-benar bisa terbang, terlebih ketika salah satu babi mendekatinya. Tubuh babi itu terbang di udara, terbang dengan dua pasang sayap kelelawar di punggungnya. Hanya saja terbang mereka tak anggun, terlihat payah, terbanting-banting kian kemari, sepasang sayap itu seperti kepayahan menahan bobot badannya sendiri. Lumpur kotor dan bau busuk terciprat kemana-mana ketika sayap-sayap babi itu mengepak.
“Pulanglah, hanya ada tiga puluh tiga binatang yang bisa terbang, tidak akan bertambah tidak akan berkurang. Pergilah!” teriak babi itu, sepasang sayap di punggungnya tak hentinya berkelepak. Lumpur kotor menampar muka Sali. Ploook!
“Aku harus menjadi yang ketiga puluh empat.” Sali bersikeras ingin belajar terbang, agar ia bisa membuktikan bahwa kakeknya salah, bahwa kambing sebenarnya bisa terbang.
Hwarakadah! Keras kepala, pulanglah!” teriak babi itu lagi, kesal.
“Ayolah, aku tidak akan pulang sebelum aku bisa terbang.”
WANI PIRO?” Teriak Delapan Babi Terbang, bersamaan.
***
            Tepat satu tahun, Sali dilatih terbang. Sebenarnya ia diperas Delapan Babi Terbang, disuruh kerja ini dan itu, diminta begini dan begitu demi kesenangan mereka belaka. Tetap saja ia tak bisa terbang. Mereka sendiri sebenarnya tak pernah bisa terbang. Ada pun ketika pertama kali mereka terlihat terbang, rupanya itu tipuan tali tambang. Mereka mengikat dirinya dengan tambang, bergantung pada pohon angpau, agar terlihat seperti terbang. Babi memang tak ada yang bisa terbang, tak pernah ada. Termasuk babi ngepet, tak mungkin terbang! Bagaimana mungkin mereka bisa terbang? Hidup mereka setiap saat habis di dalam kubangan, berpesta dengan kotoran.
Setelah membongkar akal bulus Delapan Babi Terbang, Sali pun melarikan diri dari muslihat mereka. Ia teringat ucapan kakeknya, ia merasa harus pulang menerima kenyataan bahwa kambing tak bisa terbang.
“Benarkah kambing tak bisa terbang?” Sali termenung-menung. “Kambing tidak bisa terbang karena mereka tidak pernah sekali pun mencoba untuk terbang!” pekiknya seolah ia menemukan inovasi jitu yang akan mengubah dunia. Berlarilah ia ke tepi jurang.
“Aku bisa terbang!” di tepi jurang paling tinggi di Gunung Sastra, Sali berteriak kencang. Suaranya berlarian ke lereng dan lembah, bolak-balik di udara kemudian hilang setelah beberapa jeda. Plung… Sali menjatuhkan tubuhnya ke dalam jurang, nekat membuktikan bahwa kambing tak bisa terbang.
Wussssh… Ajaib! Sali melayang, menembus udara, terbang membelah tebalnya kabut Gunung Sastra. Tak ada sayap di punggungnya, tak pernah ada sayap. Tak ada kambing yang punya sayap, bukan?
            “Bapak! Aku bisa terbang!” Teriak Sali dari ketinggian ketika tepat berada di atas sarang serigala yang dulu menyelamatkannya.
Serigala penyelamat gelagapan, mulutnya menganga, sampai-sampai dagunya seperti hendak copot, tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Belasan meter di atas jidatnya, kambing itu benar-benar terbang!
“Bapak, aku pulang!” teriak Sali, lantang di ketinggian.
            “Pulanglah. Jangan terbang kalau sedang hujan, nanti disambar halilintar.” Teriak serigala, tak kalah lantang.
           Cekiiiiiiit… Tiba-tiba Sali berhenti di udara, ia kembali menuju sarang serigala. Ada sesuatu yang dilupakannya.
“Siapakah nama Bapak?”
            “Bocah, apalah artinya sebuah nama? Tapi kau bisa memanggilku Mira Sato, kadang Saini KM, atau Saut Situmorang mungkin pula Wiji Tukul. Pergilah bocah, pulanglah.” Teriaknya.
            Sali pun melesat, berkelisut di awang-awang. Meninggalkan Gunung Sastra yang tak hentinya berkabut-kabut. Selama-lamanya berkabut.
Terbang, terbang, terbang, menembus langit dan kebohongan.

Bandung, 19 Januari 2014


NOTE:
  • Paragraf yang dicetak tebal di bagian ending, boleh dihilangkan.
  • Bila judul di atas berasa terlalu “jahat” boleh diganti menjadi “33 Binatang Terbang” atau cukup “Kambing Terbang”
----------------------------------------------------------------------------------------------------
Info: 
- Mira Sato = Seno Gumira Ajidarma
- Judul awal cerpen ini "8 BABI TERBANG"
- Itu NOTE yang dicetak tebal pake warna merah, saya sertakan di naskah cerpen aslinya :D 

Artikel keren lainnya:

Belum ada tanggapan untuk "Cerpen 33 Binatang Terbang (Tribun Jabar, Minggu - 16 Februari 2014) "

Post a Comment

Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar