IBX582A8B4EDEABB Pasal 33 (Inilah Koran, Minggu - 2 Januari 2014) | Info Absurditas Kata Pasal 33 (Inilah Koran, Minggu - 2 Januari 2014) - Info Absurditas Kata
Beranda · E-Mail Koran · Info Lomba · Kiat Menulis · Adsense · SEO Youtube · Jasa · Toko · Blog

Pasal 33 (Inilah Koran, Minggu - 2 Januari 2014)

PASAL 33

“Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran siapa?” 

            Sali dan Sadun, keduanya memiliki daya ingat di atas rata-rata. Mereka seakan-akan dilahirkan dengan mesin pemindai yang tertanam di dalam otaknya. Keduanya, mampu menghapal apa pun, cukup dengan membacanya sekali atau melihatnya sepintas saja. Apa yang mereka baca dan lihat sudah berpindah kedalam ingatan, bisa ditampilkan ulang dengan sempurna kapan saja, di mana saja.
            Mereka selalu berhasil merebut gelar juara dalam berbagai perlombaan cerdas-cermat yang digelar berbagai lembaga, baik pemerintah maupun swasta.  Bapak Janim sebagai wali kelasnya, menyayangi mereka melebihi siapa pun. Keduanya seolah mestika yang membuat nama sekolah menjadi harum tercium ke berbagai pelosok negeri. Sali dan Sadun kerap bergantian menjadi berita di layar televisi, termasuk beberapa acara yang sengaja menjadikan keduanya sebagai bintang tamu.
            Hari ini bangku Sadun terlihat kosong, teman-temannya tidak ada yang tahu kemana gerangan Sadun, termasuk Sali.
            “Bu Tri coba hubungi orangtuanya Sadun?” Bapak Janim terlihat gelisah.
            “Sudah sejak lama tidak aktif, Pak. Nanti saya akan mampir ke rumahnya sepulang sekolah.”
“Kalau sudah dapat informasi segera hubungi saya, Bu. Semoga Sadun baik-baik saja, lusa dia harus ikutan cerdas cermat tingkat kabupaten.” Kehilangan Sali dan Sadun walau sekadar satu hari, bagi Bapak Janim terasa kehilangan banyak hal.
***
            Sore belum sempurna, Bapak Janim semakin tak sabar menunggu kabar dari Ibu Tri. Segeralah dihubunginya Ibu Tri, agar segera mendapatkan kejelasan perihal Sadun. “Bu Tri, sudah dapat informasi mengenai Sadun?” tanya Bapak Janim, tanpa basa-basi.
            “Maaf Pak, saya lupa memberi kabar. Saya belum mendapatkan informasi apa pun, ini saya masih di rumah Sadun, tidak ada siapa-siapa.” Ibu Tri terdengar frustasi.
            “Sudah tanya tetangganya?” Getar suara Bapak Janim terdengar cemas.
            “Sudah Pak, semua tetangganya sudah saya datangi, tidak seorang pun yang tahu.”
            “Aneh sekali, kemana Sadun ya?”
            “Saya masih bisa menunggunya sampai jam enam sore Pak, mudah-mudahan ada informasi yang berguna atau mungkin Sadun sudah pulang.” Jawab Ibu Tri memberi harapan.
            “Kalau tidak keberatan menunggunya lebih lama, tunggulah sebentar lagi. Semoga Sadun lekas pulang.”
            “Sama sekali tidak keberatan Pak, tenang saja.”
            “Jangan lupa ya, hubungi saya kalau sudah dapat informasi.” Ucap Bapak Janim, penuh harapan.
            “Iya Pak.”
            Bapak Janim memutuskan sambungan pembicaraan. Ibu Tri kembali duduk di bangku kayu yang berderak-derak ketika menopang bobot badannya. Bandul gambok dari tembaga bergelayut di gagang pintu, di dalam rumah tidak ada siapa-siapa.
***
 “Mak, biar aku saja yang membawa kayu bakarnya. Emak membawa tabung gas saja.” Ucap Sadun, setelah menimang bobot kayu bakar dan tabung gas, rupanya lebih berat yang pertama.
            “Kayu bakar seuprit, Emak juga kuat bawanya.” Ucap Emak, tenang.
            Sadun tidak menggubris, diangkatnya gundukan kayu bakar yang sudah diikat. Sekuat tenaga ia memikulnya, alhasil ia terbungkuk-bungkuk menahan bobot kayu bakar itu, lumayan berat.
            “Kalau berat, bilang. Nanti gantian Emak yang bawa kayu bakarnya.”
Sadun dan emak berjalan beriringan. Emak mengikutinya dari belakang, di tangannya bergelayut tabung gas hijau, kosong. Sudah banyak warung yang ditujunya, gas 3 kilo gram yang dicarinya melompong, raib.
            “Mak, kayu bakarnya cukup untuk satu minggu?” tanya Sadun sembari tetap berjalan, suaranya terdengar sesak, nafasnya seperti tercekik, megap-megap.
            “Cuma cukup untuk satu hari, Dun.”
            Tabung gas 3 kilo gram banyak di warung, hanya saja kosong semua tidak ada yang berisi. Perjalanan Sadun mencari isi ulang gas itu membawanya ke tempat jauh sampai hari nyaris petang. Perjalanan menempuh harapan yang berbuah kekosongan.
***
            Kecemasan Bapak Janim sudah memudar pagi ini, dia berkali-kali menengok gerbang sekolah yang terbuat dari dua tiang bambu dengan hiasan ala kadarnya. Ditunggunya Sadun yang seharian kemarin, hilang tanpa kabar berita.  Menurut kabar dari Ibu Tri, Sadun tidak sakit, hari ini ia akan kembali sekolah.
            “Sali!” Teriak Bapak Janim, memanggil anak didik jeniusnya. Tidak hanya pagi ini, setiap pagi Sali memang selalu datang lebih awal dari pada Sadun.
            “Kamu sudah hapal UUD dan pasal-pasalnya?”
            “Sudah Pak, gampang.”
            “Coba kamu bacakan sekarang, Bapak ingin mendengar.”
            “Baik Pak.”
            Sali langsung saja melafalkan naskah UUD 1945 dari awal sampai akhir, tidak ada redaksi kata yang meleset apalagi keliru. Begitupun semua pasal-pasal dihapalnya dengan benar, sempurna. “Bagus, kamu hebat.” Puji Bapak Janim.
            Tulilit Tulililit Tulililit…
            Hape Bapak Janim berdering nyaring, setelah menekan tombol berbentuk gagang telepon berwarna hijau, ia langsung menyapa seseorang di seberang sana.
            Setelah usai, Bapak Janim terlihat layu, hapenya kembali bersarang di dalam saku celana. “Sali…” Ucap Bapak Janim, “Perlombaannya ditunda, dua minggu lagi.” Lanjutnya, penuh kecewa.
            “Tidak jadi besok, Pak?”
            “Barusan Bapak menerima telepon dari pusat, lombanya diundur.”
            “Tenang saja Pak, dua minggu atau sebulan lagi, saya tetap hapal kok. Kita pasti juara lagi.” Ucap Sali yakin.
            “Bagus! Bapak yakin kamu pasti meraih juara lagi.”
            Sali dan Bapak Janim keduanya saling tersenyum, di ujung jalan sana, terlihat Sadun menuju gerbang sekolah.
            “Itu Sadun, Pak!” pekik Sali, tangannya menuduh-nuduh ke arah gerbang.
            “Sadun!” Teriak Bapak Janim dan wajahnya kini rekah meriah.
            Sadun tidak menyahut, ia segera berlari menuju keduanya. Setelah berhadapan, Sadun menekuk wajahnya, meminta maaf kepada Bapak Janim karena kemarin telah bolos sekolah. Ia menjelaskan perihal petualangannya mencari isi ulang tabung gas 3 kilo gram. Semua warung di desanya tidak ada yang sedia gas yang dicarinya. Gas itu raib, hilang, atau apalah itu namanya, yang jelas tidak tersedia di warung-warung. Kadang dalam beberapa minggu menjadi perkara yang mustahil untuk ditemukan.
            “Ya sudahlah, tidak apa-apa tapi karena kamu tidak membawa surat, Bapak akan menulis alfa di absenmu, ya?”
            “Iya Pak, tidak apa-apa alpa juga.”
            “O iya, lomba cerdas-cermatnya ditunda, tidak jadi besok.”
            “Kenapa ditunda Pak?”
            “Bapak juga tidak tahu kenapa. Kamu sudah siap, kan?”
            “Sudah Pak, perlu dites?”
            “Perlu dong, siapa tahu kamu lupa.” Sali tiba-tiba menyambar.
            “Benar, sebaiknya kita mendengarkamu.” Bapak Janim menantang.
            Sadun langsung melafalkan UUD dan pasal-pasalnya, sempurna. “Kalian berdua memang luar biasa.” Bapak Janim merasa kagum dengan mereka.
***
            Sudah dua minggu, tabung gas warna hijau di dapur Sadun hanya menjadi pajangan, kehilangan manfaatnya sebagai sumber api. Selama itu pula Sadun bergerilya mencari kayu bakar.
            “Mak, hari ini Sadun nggak bisa ikut nyari kayu bakar, ada lomba di kabupaten. Doakan Sadun semoga juara.” Sadun berangkat pagi-pagi sekali, tanpa pernah luput menciumi tangan dan memohon doa emaknya sebelum pergi.
            Setibanya di sekolah, Bapak Janim langsung memboyong tim cerdas-cermatnya menuju kabupaten, semuanya berjumlah 5 orang, tiga anak didik, satu orang guru, dan ia sebagai wali kelas Sadun, Sali, dan Siti.
            Perjalanan dari sekolah menuju kabupaten sangat jauh, memakan waktu 2 jam. Sekolah Sadun berada di pinggiran, di suatu tempat nun jauh. Di sepanjang perjalan menuju pusat kota, Sadun tak hentinya menatapi etalase toko-toko dan warung, menatapi tabung-tabung gas bercat hijau, dan ada beberapa yang menjajakkan tabung berwarna biru.
Rupanya di kota juga sama saja, gas 3 kilo gram banyak yang kosong kecuali beberapa biji, sudah tentu dalam hitungan menit akan segera raib berpindah ke dapur seseorang.
Sadun teringat dapur emaknya, teringat tabung gas di dapurnya, sudah dua minggu hanya menjadi pajangan yang tak berguna. Tersungkur di bawah balai bambu, mulai digerumuti jaring laba-laba dan debu.
            Lamunan Sadun pecah berserak ketika suara Bapak Janim terdengar memberitahukan bahwa mereka telah sampai di tujuan. “Anak-anak, semangat!” ucap Bapak Janim, menggelegar.
            Tim cerdas-cermat asuhan Bapak Janim langsung menyerbu gedung tempat perlombaan. Tanpa menunggu lama, perlombaan cerdas-cermat tingkat kabupaten pun digelar.
            “Alamak! Lawan kita Sadun, Sali, dan Siti lagi. Pasti kalah lagi kita.” Bisik peserta dari sekolah lain, kalah sebelum bertanding. Nama Sadun, Sali, dan Siti sudah sangat terkenal, nama mereka seperti derap ribuan pasukan berkuda yang siap menghancurkan benteng-benteng musuhnya.
            Seperti yang telah dipersiapkan, juri akhirnya meminta peserta cerdas-cermat untuk membacakan UUD 1945 lengkap dengan pasal-pasalnya.
            “Ayo Sadun, tunjukkan kejeniusanmu.” Gumam Bapak Janim dari deretan kursi penonton, rautnya penuh harapan, luap oleh keyakinan.
            Tanpa rintangan, Sadun terdengar lantang membacakan UUD 1945 dengan sempurna. Setelah selesai, ia melanjutkannya dengan membacakan pasal-pasal.
            “Pasal 33…” tiba-tiba Sadun berhenti bicara. Bibirnya menganga, dagunya melorot, mulutnya hanya menguarkan senyap. Sadun masih menganga ketika Sali dan Siti berbarengan menyikut-nyikut pinggangnya agar meneruskan hapalannya.
            “Sadun, lanjutkan…” bisik Sali, gemas.
            “Sadun, jangan melamun…” bisik Siti.
            Sadun tetap saja menganga tanpa suara, dagunya semakin melorot di udara. Ia teringat emaknya, teringat tabung gas hijau di dapurnya. Teringat apa yang tidak dimilikinya selama dua minggu ke belakang.
            Sadun tidak lupa, ia ingat, hapal benar Pasal 33, hanya saja ia merasakan kekosongan. Kosong sebagaimana Pasal 33 yang buktinya kerap melompong.
“Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran siapa?” Bisik Sadun, megap-megap.
Sepasang foto presiden dan wakil presiden, bertengger di dinding ruangan. Sekilas tampak tersenyum, kadang terlihat menyeringai.

Bandung, 9 Januari 2014



Artikel keren lainnya:

Belum ada tanggapan untuk "Pasal 33 (Inilah Koran, Minggu - 2 Januari 2014)"

Post a Comment

Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar