IBX582A8B4EDEABB Satu Detik Setelah Berhenti Jadi Presiden, Ia (Seharusnya) Dibui (Tribun Jabar - 22 Juni 2014) | Info Absurditas Kata Satu Detik Setelah Berhenti Jadi Presiden, Ia (Seharusnya) Dibui (Tribun Jabar - 22 Juni 2014) - Info Absurditas Kata
Beranda · E-Mail Koran · Info Lomba · Kiat Menulis · Adsense · SEO Youtube · Jasa · Toko · Blog

Satu Detik Setelah Berhenti Jadi Presiden, Ia (Seharusnya) Dibui (Tribun Jabar - 22 Juni 2014)

Satu Detik Setelah Berhenti Jadi Presiden, Ia (Seharusnya) Dibui
Absurditas Malka*

Satu detik setelah dicopot dari kursi horor kekuasaan, ia digelandang. Diseret menuju ruangan temaram, dijebloskan kedalam bui. Ia diadili di dalam batinnya sendiri.
**
            Satu detik yang baru saja liwat, aku masih orang nomor satu di republik. Masih pemilik kursi horor kekuasaan, kursi yang selalu berdarah-darah diperebutkan. Satu detik yang lalu aku baru tahu, rupanya waktu berkuasa tanpa batas, melampaui kekuasanku. Aku tidak kuasa menahan sedetik pun agar waktu tak bergulir, meskipun hanya menahannya satu detik lebih lama aku tak kuasa.
Waktu bukan nyawa, waktu bukan uang, waktu bukan konspirasi, tak bisa disihir agar manut mengikuti kehendakku, agar ndawuh takluk pada kekuasaanku. Daya-upayaku sia-sia belaka untuk membuat waktu tunduk.
Aku bisa menghapus sejarah, sangat mudah. Menghapuskan upaya-upaya untuk mengusut hilangnya sejarah, mudah juga. Aku bisa menyihir anggaran pribadi agar terlihat sebagai anggaran negara, enteng saja. Pokoknya, apa pun yang bukan waktu, aku bisa mudah saja menguasainya. Hanya waktu, hanya waktu saja di republik ini yang tidak bisa dikuasai, tiada akan pernah bisa. 
***
            Satu detik setelah aku berhenti jadi presiden, beberapa orang membawaku ke sebuah ruangan. Mereka sebenarnya menggelandangku, hanya di depan kamera saja orang-orang itu bersikap sopan ketika membawaku, setelah berada di ruangan lain yang terbebas dari mata lensa, aku digelandang, diseret, ditendang-tendang juga.  
Dinding-dinding ruangan itu sangat suram, teramat temaram, aku tidak ingin menyebutnya bui tapi tidak ada kata yang lebih pantas untuk menyebut tempatku kini meringkuk, memang bui. Kemarin hari ketika aku masih berkuasa, akulah yang membui lawan-lawan politikku, kambing-kambing hitamku, siapa saja yang berbahaya bagi kekuasaanku. Kini, satu detik setelah aku berhenti jadi presiden, aku yang menghuni bui.
Bukti-bukti, saksi-saksi, laporan-laporan, hasil investigasi, sebenarnya itu sudah cukup untuk membuatku menjadi penghuni bui sejak lama, ketika aku masih jadi presiden. Hanya saja, aku selalu berhasil meraibkan semua itu, membuatnya sebagaimana air mendidih, perlahan menguap. Hilang tanpa jejak.
Setelah berhenti jadi presiden pun, sebenarnya mereka tak berhak untuk mengirimku ke dalam bui. Apa buktinya aku pantas dibui? Tak ada, semuanya telah kulenyapkan, telah kurebus sampai hilang. Aku yakin, tak lama saja aku menghuni bui, besok lusa, aku akan dibebaskan, harus dibebaskan. Aku ini mantan presiden, tidak mungkin hidupku berakhir di dalam bui.
***
            “Apakah aku berdosa?”
            Pertanyaan-pertanyaan itulah yang kini menggedor-gedor batinku. Aku mungkin diputuskan bersalah oleh hukum negara. Tapi aku masih ragu kalau perbuatan-perbuatanku juga sebuah dosa di mata Tuhan. Aku selalu percaya Tuhan pengasih dan penyayang, jika pun benar aku berdosa, tentu Tuhan akan mengampuniku.
            Ketika masih jadi presiden, aku sudah menghabiskan kepemimpinanku untuk memakmurkan rakyat, membangun negara, menyejahterakan bangsa, segalanya telah kulakukan sesuai konstitusi. Setidaknya dibuat seolah-olah sesuai dengan konstitusi. Siang malam aku turun ke media sosial, membangun republik ini. Siang malam pula aku berbagi cuitan dan status untuk mensejahterakan negara ini. Aku telah melakukan segalanya untuk negara, pantaskah aku dijebloskan ke dalam bui.
“Apakah aku berdosa?”
Pertanyaan itu seperti detik jarum jam saja, berdetak kian ritmis di dalam dadaku. Setiap saat, bahkan lebih sering dari detik waktu itu sendiri. Aku hanya bersalah, aku belum tentu berdosa, kukira begitu. Aku hanya mengalirkan dana kepunyaan negara untuk sedikit saja dicicipi keluarga dan orang-orang terdekatku. Aku hanya menyematkan anggaran pribadi di dalam anggaran negara dan berhasil mengelabui mata semua orang, seakan mereka melihatku berjuang untuk negara. Aku tidak bersalah bukan? Mereka saja yang tertipu.
Aku tidak berdosa, meksipun sebagian besar infrstruktur jalan di republik ini hancur berat dan mengenaskan, meskipun penjahat HAM 1998 dan pembunuh Munir selalu kuabaikan, meskipun banyak proyek partai dan keluargaku yang merongrong anggaran negara, meskipun hutan dibirkan dibakar sampai asapnya menyepuh republik dengan udara pengap, meskipun begini dan begitu.
“Apakah aku berdosa?”
Pertanyaan itu tidak hanya berdetak lebih cepat dari jarum jam, namun juga kini terasa lebih berdebum-debum. Membuat jantungku bergetar dan rusuk-rusukku berderak-derak. Bahkan pertanyaan itu seperti menggema di dalam bui.
Aku hanya bersalah, belum tentu berdosa, uang negara yang kularikan itu dinikmati bersama-sama, dimakan bersama-sama. Aku ini tidak layak disebut koruptor. Aku ini Robin Hood, pahlawan baik hati yang membagi-bagikan hasil curiannya. Aku pun membagikan hasil curianku, untuk rakyat di republik.
Ah, jangan tanya-tanya lagi siapa rakyatku, tentu orang-orang itu, mereka yang satu bendera denganku. Tentu pula, mereka tidak miskin, tidak pula papa, mereka berkecukupan dan tidak akan mati kelaparan meskipun tak menerima aliran dana dari negara untuk kepentingan pribadinya.
***
“Apakah aku berdosa?”
Kini pertanyaan itu terasa seperti hantaman palu, menggebuk-gebuk rongga dadaku dengan suara bergedebuk dan menyebabkan rasa sesak. Sudah kubilang, satu detik yang lalu, aku ini masih orang nomor satu di republik, masih presiden. Sekarang, aku sudah berada di ruangan suram, duduk di kursi kayu murahan, lampu dengan corong besar melelehkan lingkaran cahaya di atas meja.
Setelah beberapa menit sendirian di dalam bui, aku mendengar seseorang duduk di depanku. Aku tidak bisa melihat rupanya, wajahnya tidak terkena cahaya, diselimuti keremangan. Sepertinya ia pun tidak bisa melihat wajahku, karena aku pun tidak tersorot cahaya. Lampu itu hanya melelehkan cahaya di atas meja, menerangi tanganku saja yang menelungkup di atasnya.
            “Apakah kamu berdosa?”
            Lelaki di depanku mengucapkan pertanyaan yang sama seperti pertanyaan-pertanyaan yang berdebum-debum di dadaku. Apakah ia mendengar-dengarkan suara-suara batinku? Mustahil.
            “Apakah kamu berdosa, sampai-sampai kamu berada di ruangan ini, ruangan orang-orang berdosa yang harus diadili?” lelaki di depanku kini terdengar marah. Aku masih belum bisa melihat rupanya, kalau saja aku bisa melihatnya, aku tentu bisa diam-diam membisikkan siapa dia kepada anak buahku di luar sel sana, kemudian diam-diam membungkamnya dengan segala cara. Meskipun aku ini sudah bukan presiden, aku masih tahu, masih hapal, bagaimana membungkam dan melenyapkan sekadar sebuah kehidupan. Kesal aku!
            “Tentu kamu berdosa. Ruangan ini tidak pernah salah, hanya akan dimasuki orang-orang berdosa. Kiranya dosa apa yang telah kamu perbuat?”
            Kali ini nada suaranya tidak lagi mendengking seperti anjing, mungkin ia sudah tidak marah lagi. Lagian, apa haknya untuk marah kepadaku? Seorang tahanan, terlebih tahanan yang mantan presiden sepertiku, seharusnya diperlakukan dengan penuh santun.
Aku merasa kesal, bagaimana bisa lelaki itu begitu ndableg menuduhku berdosa. Punya bukti apa dia? Hanya Tuhan saja yang bisa menghukumi seseorang berdosa atau tidak berdosa, bukan manusia. Aku sangat yakin, selama menjadi presiden, dosa-dosaku bila itu ada, telah kulenyapkan dengan segala cara, telah kukorbankan banyak kambing hitam agar aku tampak tak berdosa. Telah kutayangkan berbagai iklan agar dosa-dosaku terlupakan dari ingatan massal, terhapuskan dari sejarah.
            “O, aku tahu. Kamu ini seorang presiden, selama berkuasa berbuat banyak dosa. Aku memiliki catatan panjang dosa-dosamu bila diperlukan.”
            Sakit sekali hatiku dikata-katai begitu, bagaimana mungkin aku hanya menghabis-habiskan jatah kekuasaanku untuk berbuat dosa? Aku ini sudah bekerja keras siang dan malam di banyak media sosial untuk memperjuangkan nasib rakyatku agar lebih sejahtera, aku sudah berbuat adil, aku sudah membangun banyak kemajuan. Setidaknya keluargaku sendiri menjadi jauh lebih maju.
            “Kamu tahu apa dosa-dosamu? Kalau kamu tidak tahu, aku punya banyak waktu untuk membacakannya satu persatu.”
            Lelaki itu tiba-tiba melemparkan sebuah buku di atas meja, di tengah lingkaran cahaya yang meleleh dari lampu di atasnya. Bukunya cuma tipis saja, isinya mungkin hanya selembar atau dua lembar. Ha ha ha… sedikit sekali dosaku. Eh, tapi benarkah aku berdosa?
            “Buku ini isinya catatan dosa-dosamu. Mari kita baca satu persatu. Dengarkanlah.”
            Namaku tertulis di sampul buku itu, aku lupa apakah ditulis dengan gelarnya secara lengkap atau hanya nama saja. Kupikir hanya satu dua halaman saja isi buku itu. Ketika ia membukanya, halaman-halaman di dalamnya tak pernah habis. Aku bisa menghabiskan semua hidupku hanya untuk membaca buku itu.
            “Itulah dosa-dosamu, baru sedikit yang kubacakan. Kurasa kamu sudah jelas berdosa, kini saatnya kamu menerima hukuman. Hukuman macam apa yang kamu inginkan?”
            Aku naik pitam, ingin rasanya aku menonjok muka lelaki itu, tepat di batang hidungnya. Tapi kakiku diikat ke kaki kursi, tubuhku juga, hanya tangan saja yang bebas menelungkup di atas meja. Aku hanya bisa menggebrak meja.
Dia pikir, siapa dirinya, seenaknya menjatuhkan hukuman kepadaku, seenaknya menyebutku berdosa. Aku ini mantan presiden, aku ini harus diadili dengan jalan terhormat bukan seperti ini, tak adil. Lagian, semua dosaku yang telah dibacakannya dari buku itu, sepertinya asal-asalan. Tidak berdasar, tanpa bukti, ngaco, karena aku telah membakar buku catatan dosaku sebelum berhenti jadi presiden.
            “Baiklah, aku tahu, tidak mudah memilih hukuman terberat untuk dosa-dosamu. Pikirkanlah apa hukuman yang pantas untukmu atau kami yang akan memvonismu.”
            Kemudian aku tidak mendengar siapa-siapa lagi di dalam ruangan. Satu-satunya suara yang masih terdengar hanyalah suara di dalam batinku sendiri. Buku catatan dosa tertangkup di atas meja, aku ingin membacanya, tanganku tak sampai.
***
            Aku masih belum bisa, tidak akan pernah bisa, menemukan hukuman apa yang cocok untukku, jangankan memvonis diri sendiri, merasa berdosa saja aku ragu. Aku sendiri tidak pernah yakin kalau diriku benar-benar berdosa. 
            “Apakah aku berdosa?”
            Pertanyaan itu kembali kudengar, semakin sering, semakin menggelegar. Tak kutemukan jawaban, sunyi, dadaku sunyi. Sepi, akalku sepi. Kalau pun harus memilih hukumanku sendiri, aku memilih untuk mengorbankan kambing hitam, lagi.

Karawang, 20 Maret 2014


*) Absurditas Malka, aktif menulis cerpen dan carpon di beberapa media massa, bekerja di PKL Panglima Ikan Bakar – Bandung

Artikel keren lainnya:

Belum ada tanggapan untuk "Satu Detik Setelah Berhenti Jadi Presiden, Ia (Seharusnya) Dibui (Tribun Jabar - 22 Juni 2014)"

Post a Comment

Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar