IBX582A8B4EDEABB Cerpen Absurditas Malka "33 Tapak Sakti Paling Beracun di Undonesia" | Info Absurditas Kata Cerpen Absurditas Malka "33 Tapak Sakti Paling Beracun di Undonesia" - Info Absurditas Kata
Beranda · E-Mail Koran · Info Lomba · Kiat Menulis · Adsense · SEO Youtube · Jasa · Toko · Blog

Cerpen Absurditas Malka "33 Tapak Sakti Paling Beracun di Undonesia"

33 Tapak Sakti Paling Beracun di Undonesia
Absurditas Malka*


Selalu ada banyak golongan di dunia persilatan.
Batas di antara semua golongan seringkali berupa parit-parit darah yang tiada habis-habisnya. Selain darah, apa lagi kiranya yang membedakan golongan para pendekar di dunia persilatan?

Cerpen Absurditas Malka

Dunia persilatan, dunia yang di dalamnya darah tak pernah kering. Selamanya, selama-lamanya parit darah selalu bisa dideraskan, selalu mengalirkan merah, sampai dunia ini sempurna terpulas darah. Tragedi dan komedi tiada terbedakan, nalar dan mitologi berbaur dalam keseharian. Bergerak atau diam kadang tiada terpisahkan, keduanya sama-sama berujung pada kematian. Sampai-sampai, kematian adalah perkara paling indah untuk menggenapi kesempurnaan.
Ketika segala-galanya serba disempurnakan oleh hitamnya kematian, siapakah kiranya yang tidak pernah terkalahkan? Selalu ada langit di atas langit, begitu hukum dunia persilatan. Langit tertinggi yang tak pernah terkalahkan adalah kematian itu sendiri.
***
Kematian kali ini tidak hanya melanda dunia persilatan, wabah kematian telah mengacaukan keseluruhan dunia. Tiada lain tiada bukan, semua itu dikarenakan ulah Pangeran Danu Jancuk Agila dan Delapan Naga Sastra. Mereka telah mengacaukan dunia dengan menulis ilmu hitam dalam Kitab 33 Tapak Sakti Paling Beracun.
Kitab ilmu hitam itu dibungkus kulit rusa emas, ada pun ajaran-ajaran ilmu hitamnya ditulis di lembaran daun lontar. Siapa saja yang menyentuh kitab itu akan mati mengenaskan, bermandi darah. Jangankan menyentuhnya, menyesap baunya saja bisa mati dengan paru-paru terbakar oleh darah yang mendidih. Belum lagi huruf-hurufnya, berisi sajak beracun dan mantra pembunuh, ketika seseorang membacanya sama saja ia sedang memanggil kematian untuk datang merenggut hidupnya. Kitab yang sudah membuat banyak jiwa melayang, mengantarkan banyak orang pada kematian. Adakah kitab yang lebih hitam dari kitab semacam itu?
***
Pangeran Danu Jancuk Agila dan Delapan Naga Sastra seharusnya tidak pernah menulis Kitab 33 Tapak Sakti Paling Beracun, kitab yang menghancurkan segalanya. Wabah kematian yang disebarkan kitab ilmu hitam itu semakin menggila, semakin menggunungkan bangkai-bangkai, dan semakin memerahkan parit-parit. Berabad-abad kelak, tiada ada lagi yang bisa dikenang tentang dunia persilatan, indahnya pertarungan pendekar silat yang melayang, terbang, jempalitan, dan bergerak bagaikan lebih cepat dari sambar halilintar. Kelak, hanya kematian dan darah yang akan dikenang, hanya ingatan-ingatan hitam yang mungkin diceritakan.
“Kitab 33 Tapak Sakti Paling Beracun harus dimusnahkan!”
Baru kali ini Pendekar Seribu Nama terlihat geram. Selama masa hidupnya yang dihabiskan untuk membaca aneka kitab, ia tak pernah geram, bahkan dengan kitab ilmu hitam yang memang banyak beredar di dunia persilatan.
Telah banyak pendekar yang binasa sia-sia karena mencoba memusnahkannya. Sebut saja Si Buta dari Goa Hantu, Panji Tengkorak, Wiro Sableng, semuanya mati mengenaskan. Masih banyak lagi pendekar hebat lainnya, ilmu silat macam apa lagi kiranya yang bisa mengatasi kematian?” Ucap Arya Kamandanu, kemudian termenung-menung, masih tak percaya dengan wabah kematian yang sedang melanda dunia.
“Dikau, Pendekar Tanpa Nama, dengan ilmu silat Raja Pembantai dari Selatan, akankah sanggup mengatasi wabah kematian?” Ucap Pendekar Seribu Nama, sorot matanya merambatkan harap.
“Tak ada yang akan menandingi wabah kematian. Ilmu hitam Raja Pembantai dari Selatan sekali pun, tiada berarti pula kiranya.” Pendekar Tanpa Nama meskipun terdengar tenang, getar suaranya tetap saja menyiratkan kegelisahan.
Aheuheuheu… Celakalah dunia persilatan.” Gumam Si Rawing, tawanya yang selalu riang, kini terdengar tak keruan.
“Rawing, ini bukan sekadar tentang dunia persilatan. Wabah kematian itu telah memusnahkan pula orang-orang tak berdosa. Celakanya, kitab itu tidak akan membunuh hanya sampai hari ini atau  besok hari, melainkan akan terus membunuh sampai berabad-abad nanti.” Getar suara Pendekar Seribu Nama terdengar penuh keharuan.
Cilaka dua belas.” Si Rawing kini terdiam, dahinya berkerut penuh beban.
“Lakukanlah sesuatu, kita tidak bisa selamanya diam.” Ucap Jaka Wulung, ucap yang senyatanya menambah-nambah kebingungan. Adakah yang bisa dilakukan ketika berhadapan dengan kematian?
***
Parit-parit darah yang dulu hanya mengalir sebagai pembatas golongan pendekar, kini sudah memerahkan pula sungai-sungai rakyat tak berdosa di kampung-kampung dan pedalaman. Sungai tempat mereka menimba air untuk kebutuhan sehari-hari, kini telah tercemar darah. Tidak hanya sungai saja, telaga dan beberapa muara di tepi samudera telah memerah pula, dimerahkan oleh darah.
Dalam waktu yang sangat singkat, lebih cepat dari kelebat kilat, Kitab 33 Tapak Sakti Paling Beracun telah menggunungkan kematian. Tidak hanya si pembaca kitab yang mati mengenaskan, siapa pun bisa terbunuh kapan saja, di mana saja. Kitab kutukan itu menyebarkan wabah kematian melalui udara dan air, lebih kejam dari wabah kematian yang disebabkan penyakit menular.
Dalam sehari, tiada terhitung lagi seberapa banyak tubuh yang bersimbah darah. Orang-orang yang mati dengan tubuh merah, terlihat berbukit-bukit di banyak desa. Dari bukit-bukit orang mati itu, darah merah tak hentinya menderas, tergenang di permukaan tanah. Tiada terhitung lagi seberapa merah parit yang kian deras mengalirkan darah. Bayangkanlah.
***
Ribuan pendekar atas nama golongan mereka masing-masing telah berkumpul di Cipasung, di sarang Delapan Naga Sastra. Mereka akan mengadakan perhitungan untuk setiap tetes darah yang telah menyepuh dunia menjadi merah.
“Ribuan pendekar telah mengepung Cipasung, tamatlah riwayat kita, Kanda.” Ucap Naga Sastra Merah gentar.
“Tenanglah Dinda, mereka tiada ada artinya menghadapi Delapan Naga Sastra. Seribu atau sejuta pendekar mengepung Cipasung, tiada akan kita terkalahkan.” Timpal Naga Sastra Hitam, jemawa.
“Tapi Kanda, lihatlah. Kita sedang menghadapi ribuan pendekar maha sakti, lihat itu Pendekar Seribu Nama, Pendekar Tanpa Nama, Si Rawing, Jaka Wulung, Arya Kamandanu, Nenek Pelet juga ada. Celakalah kita.” Naga Sastra Merah satu-satunya naga perempuan terlihat gentar.
Ingat Dinda, Pangeran Danu Jancuk Agila telah membayar kita dengan separuh keping emas yang ada di dunia. Apa pun yang akan terjadi, kita harus membela apa yang telah kita tulis. Jangan pernah berkhianat pada siapa saja yang telah menyenangkan perutmu. Dalam dunia persilatan ilmu kanuragan tiada berarti apa-apa, keping emaslah yang mengendalikan segalanya.” Naga Sastra Kuning angkat bicara, tak kalah jemawa.
“Dalam dunia persilatan ini Dinda, para pendekar yang bersatu dengan golongan bangsawan dan kekuasaan tidak akan mudah dihancurkan.” Pungkas Naga Sastra Hitam, kemudian ia berkelebat menuju kerumunan ribuan pendekar, disusul ketujuh naga sastra yang lain.
“Delapan Naga Sastra, kiranya kalian telah mengetahui maksud kedatangan kami.” Ucap Pendekar Seribu Nama, tenang.
“Apa yang dirahasiakan dunia ini kami mengetahuinya, sebagaimana kami mengetahui hari ini Cipasung akan dimerahkan oleh darah kalian. Ha ha ha…” Naga Sastra Hitam terbahak semakin jemawa.
“Sungai darah telah semakin merah, gunung kematian semakin menjulang. Kami tidak datang untuk membunuh, kami datang untuk memusnahkan kitab ilmu hitam yang telah kalian tulis.” Timpal Arya Kamandanu.
“O, memusnahkan maha karya Delapan Naga Sastra, ha ha ha... Bila kalian pikir kaliang sanggup melakukannya, lakukanlah.” Naga Sastra Cokelat terbahak-bahak sombong.
“Kalian tak pantas menyandang gelar naga, kalian ini iblis-iblis pembantai penjilat kekuasaan!” Jaka Wulung maju selangkah ke depan, “Pendekar macam apa kiranya yang layak menyandang gelar naga kalau ilmu silat mereka digadaikan pada keping emas belaka. Kalian tak ubahnya pencoleng malang.”
“Ha ha ha… Waktu khotbah kalian telah selesai. Sekarang temuilah kematian.” Naga Sastra Hitam kemudian mengeluarkan Kitab 33 Tapak Sakti Paling Beracun dari balik jubahnya.
Swuuuuuuuuur… Aura kematian menyeruak dari kitab terkutuk itu, bersekutu dengan udara, merambat di kekosongan, menjalar di setiap sel yang menyesapnya. Satu demi satu, para pendekar berjatuhan, mati mengenaskan, darah merah menjebol setiap lubang pori mereka. Serangan dalam dunia persilatan tidak selamanya berupa gerakan. Serangan kadang terjadi dalam diam, sekadar melalui udara atau riak air atau bahkan suara seruling.
“Udara beracun.” Pendekar Tanpa Nama meskipun telah menghirup udara beracun, ia tak lantas roboh bermandi darah. Ilmu hitam warisan Raja Pembantai dari Selatan telah melumpuhkan racun-racun yang menyerangnya. Meskipun demikian, Pendekar Tanpa Nama mengatur napasnya sendiri seolah tiada bernapas. Terlalu banyak bernapas berarti memberi banyak ruang kepada kematian.
“Delapan Naga Sastra, lihatlah para pendekar yang binasa itu. Apakah kalian bergembira melihat parit-parit darah semakin merah?” Teriak Jaka Wulung, darah merah sebesar bulir kacang ijo terlihat bersembulan di pori-pori tubuhnya.
“Kalian tidak mungkin bisa memusnahkan kitab sakti ini. Tidak seorang pun!” Teriak Naga Sastra Hijau, matanya mengobarkan api.
            Pendekar-pendekar yang tumbang bermandi darah sudah tak terhitung lagi, hanya tinggal beberapa saja yang masih hidup, masih sekarat. Termasuk Pendekar Tanpa Nama, Pendekar Seribu Nama, dan Jaka Wulung.
            “Bagaimana kalian bisa memusnahkan kitab ini, lihatlah diri kalian sendiri. Begitu malang.” Umpat Naga Sastra Biru.
            “Delapan Naga Sastra, jika kami mau, kami tentu telah melakukan apa saja untuk memusnahkan kitab itu. Kami tidak pernah sudi menambah merah parit-parit darah. Kami datang ke Cipasung bukan untuk membunuh, kami ingin kalian memusnahkan kitab itu sebagaimana kalian telah menuliskannya.” Ucap Pendekar Seribu Nama, suaranya kini terdengar sesak, beradu dengan rasa nyeri yang menjalar-jalar di sekujur tubuhnya.
            “Pangeran Danu Jancuk Agila hanya meminta kami untuk menulis kitab itu. Apa pun yang akan terjadi, maha karya kami akan terus terjaga, tiada akan pernah musnah.” Pungkas Naga Sastra Hitam.
            Cipasung dipulas merah, seribu pendekar telah disempurnakan kematian. Delapan Naga Sastra berkelebat di atas telaga darah, melesat lompati bangkai-bangkai. Keping-keping emas tak hentinya bergemerincing dari balik baju mereka. Berdenting-denting, nyaring, bising.
***
            Betapa parit-parit darah telah semakin deras, memulas dunia dengan merah. Kitab 33 Tapak Sakti Paling Beracun menyebar ke segala arah, menyambit pembacanya dengan cara paling kejam. Sampai berabad-abad yang akan datang, kematian tiada akan terhindarkan.

Karawang, 3 Mei 2014

*) Absurditas Malka, bekerja di Panglima Ikan bakar – Bandung.



Artikel keren lainnya:

Belum ada tanggapan untuk "Cerpen Absurditas Malka "33 Tapak Sakti Paling Beracun di Undonesia" "

Post a Comment

Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar