IBX582A8B4EDEABB Hikayat Dua Ekor Anjing (Inilah Koran, Sabtu - 11 Oktober 2014) | Info Absurditas Kata Hikayat Dua Ekor Anjing (Inilah Koran, Sabtu - 11 Oktober 2014) - Info Absurditas Kata
Beranda · E-Mail Koran · Info Lomba · Kiat Menulis · Adsense · SEO Youtube · Jasa · Toko · Blog

Hikayat Dua Ekor Anjing (Inilah Koran, Sabtu - 11 Oktober 2014)

Hikayat Dua Ekor Anjing
Absurditas Malka*


            Tidak ada yang tahu berapa jumlah populasi anjing di dunia ini. Aku sendiri sebagai bangsa anjing tidak pernah tahu. Abang tidak pernah menceritakan seberapa banyak populasi anjing di muka bumi. Abang selalu saja menceritakan hikayat dua ekor anjing. Apakah tidak ada anjing lain di muka bumi ini?
             Setelah pulang dari kota, Abang selalu saja menceritakan hikayat dua ekor anjing. Seakan dunia ini bisa tenggelam bila ia tidak menceritakannya semalam saja. Sebenarnya aku sudah bosan mendengarkan tapi aku pura-pura tak pernah bosan, pura-pura selalu penasaran.
            “Hikayat dua ekor anjing itu, Dik… ” Itulah kalimat pertama yang diucapkan Abang, kemudian ia akan berhenti bercerita sejenak, matanya mendelik ke langit, membayangkan sosok dua ekor anjing yang tak pernah aku lihat. Aku yakin Abangku sendiri tak pernah melihatnya.
            “Mereka adalah sepasang kekasih.” Lanjutnya.
***
            Berbulan-bulan Tuhan marah-marah, selama itu pula tidak diturunkannya hujan ke atas tanah, walau setetes, walau sekadar rinai. Jangankan hujan, mendung pun tak pernah sudi datang.
Ketika matahari bertengger tepat di atas ubun-ubun, ketika isi kepala mendidih, ketika urat leher nyaris putus karena dicekik dahaga tiada tara, ketika itulah perempuan pelacur ditemukan Sang Anjing. Tepat di tengah padang rumput yang kering, di tengah lautan abu.
“Air…” Suara perempuan pelacur seakan tercekik, hanya kata itu saja yang diucapkan, kemudian ia jatuh tersungkur.
            “Perempuan pelacur yang malang, aku tak punya air.” Sang Anjing mendekati perempuan pelacur yang roboh di atas tanah tandus.
            “Kamu masih hidup.” Ucap  Sang Anjing, hidungnya mengendus tubuh perempuan pelacur, matanya berkaca menatapi betapa urat leher perempuan pelacur itu berdenyut-denyut sangat lamban, teramat sangat lamban, bagaikan energi hidupnya hanya tinggal menyisakan tenaga penghabisan.
“Aku akan menolongmu, bertahanlah.” Sang Anjing menggigit sepatu perempuan pelacur, melepaskannya. Digigitnya sepatu itu, dibawa berlari, lebih cepat dari angin yang menerbangkan abu di musim kemaru.
Mencari air di tengah lautan tanah tandus, sama saja dengan berjudi atau mungkin bunuh diri. Mencari sesuatu yang tak ada, jika pun ada, tentu saja Sang Anjing tak ubahnya mencari sehelai jerami di dalam gunungan jarum.
            Sang Anjing terus belari, hidungnya mengendus udara, mengendus sumber air yang mungkin masih tersisa. Percuma, ia tak merasakan desir air, sejauh ia berlari hanya debu dan debu yang tercium olehnya.
            “Tuan apakah Anda memiliki seciduk air?” tanya anjing itu kepada seekor tikus yang berpapasan di tengah jalan.
            “Aku sudah berjalan selama tiga hari tiga malam, aku tidak pernah menemukan air,” Jawab si tikus dengan raut penuh derita, “Cobalah cari ke arah sana.” Lanjutnya.
            “Celaka! Aku berlari ke arah yang salah.” Gumam Sang Anjing, kemudian ia berbelok, berlari ke arah lain sebagaimana yang ditunjukkan tikus.
***
Kaing! Kaing! Kaiiiiing!
            Sang Anjing tak hentinya melolong, ia melihat malaikat. Dikejarnya malaikat itu, tak dihiraukannya lelah yang membuat tubuhnya terasa recah.
            “Tuan Malaikat, tolonglah aku!” Teriak Sang Anjing, getar suaranya penuh harapan.
            “O anjing malang, aku tidak punya waktu. Aku harus mencabut nyawa seseorang.” Jawab malaikat seraya berlalu.
            “Tuan Malaikat, tunggu. Aku benar-benar butuh pertolonganmu.” Sang Anjing tak putus asa, ia masih berharap malaikat itu memberinya pertolongan.
            “Aku harus mencabut nyawa seorang perempuan pelacur. Tidak boleh terlambat, carilah pertolongan di tempat lain.” Malaikat tak acuh.
            “Tuan Malaikat, aku harus menyelamatkan perempuan pelacur, ia akan mati bila aku tak menolongnya. Maukah Tuan menolongku?” Sang Anjing memasang raut penuh permohonan.
            “Aku diutus Tuhan untuk mencabut nyawa perempuan pelacur. Perempuan yang ingin kamu tolong sekarang. Sudahlah, kamu tidak perlu menolongnya, percuma saja.”
            “Kalau aku bisa memberinya air, bisakah Tuan Malaikat membatalkan kematiannya?” Sang Anjing mencoba bernegoisasi.
            “Ha ha ha… Tidak ada yang bisa menahan kematian barang satu detik pun tidak ada yang akan bisa. Begitulah ketentuan semua yang hidup, anjing atau manusia, sama saja.”
            “Tuan Malaikat, kalau begitu apa susahnya memberiku seciduk air. Kalau pun perempuan pelacur itu harus mati aku rapopo, aku telah berupaya menolongnya.”
            “Keras kepala! Baiklah, aku akan menolongmu tapi aku tidak bisa menolong perempuan pelacur itu.”
            Tiba-tiba sepatu yang digigit Sang Anjing telah berisi air. Dingin dan sejuknya terasa merambat di lidah Sang Anjing. “Terima kasih, Tuan Malaikat.” Sang Anjing berlari lagi, membawa seciduk air untuk perempuan pelacur.
            “Perempuan pelacur, minumlah air ini. Aku tidak mau malaikat itu membawamu karena kehausan. Ayo, minumlah. Cepat!” Sang Anjing meneteskan air di dalam sepatu ke mulut perempuan pelacur. Ia selalu berharap, setelah perempuan pelacur minum air, mautnya bisa terhindarkan.
            Tetes demi tetes, air merambati kerongkongan perempuan pelacur. Tetes demi tetes, air meresap sampai ke dalam jiwa perempuan pelacur, sampai ia kemudian tersadar.
            “O Tuhan, anjing ini telah menyelamatkan hidupku.” Perempuan pelacur tersadar, ia menerima sepatu berisi air yang disodorkan mulut Sang Anjing. Ia mereguk sisa airnya, sampai kering, sampai habis dahaga yang berhari mencekik kerongkongan.
            “Terima kasih Tuhan, melalui anjing baik ini pertolongan telah datang.” Pelacur perempuan itu bergumam, ditatapnya anjing yang mendengus-dengus kepanasan, tangannya bergetar mengelus kepala Sang Anjing.
            Kaing! Kaing! Kaing!
            Sang Anjing mendengking, menyalak, menghardik malaikat yang sudah berdiri di belakang perempuan pelacur. Perempuan pelacur menoleh ke belakang, ia tidak melihat apa-apa, tidak melihat siapa-siapa. Ia memutar tatap ke sekeliling, hanya pasir terbakar yang menghampar.
            “Tuan Malaikat, apakah sekarang waktunya?” Sang Anjing memelas.
            “Ya sekarang waktunya.” Malaikat memeluk tubuh perempuan pelacur.
            “Perempuan pelacur itu telah meminum air, ia tidak kehausan lagi,ia sembuh, ia baik-baik saja, sehat. Kenapa harus mati sekarang?” Sang Anjing semakin memelas.
            “Aku tidak tahu aku hanya mengemban tugas. Tidak ada yang bisa menghalangi kematian.” Tangan-tangan dingin malaikat begitu lembut merenggut jiwa perempuan pelacur.
            “Ijinkan aku menatapnya sedetik lagi.”
            Sang Anjing menatap perempuan pelacur, matanya pecah, dipenuhi kaca-kaca. Langit telah berbulan-bulan tak menurunkan hujan kecuali di kedua mata Sang Anjing, hujan deras berderai.
            Perempuan pelacur tersenyum, matanya teduh berterima kasih pada Sang Anjing. Tangan perempuan itu bergetar, ingin mengelus lagi kepala Sang Anjing. Pluk… tangan perempuan itu jatuh di atas lautan pasir, begitupun tubuhnya, tersungkur di atas tandus debu-debu. Tak bernyawa lagi.
            Kaing! Kaing! Kaiiiiiiiiiiiing! Sang Anjing melolong-lolong. Melolong sejadinya. Sejadi-jadinya.
***
            Sepatu kulit bertengger di atas gundukan tanah, menjadi nisan. Perempuan pelacur telah dikuburkan. Darah yang terbungkus debu membasah di celah kuku Sang Anjing. kuku yang berjam-jam menggali pasir untuk menguburkan perempuan pelacur.
            “Aku tidak bisa menolongmu perempuan pelacur. Beristirahatlah.” Gumam Sang Anjing, ditatapnya gundukan tanah merah. Setelah hening sejenak, anjing itu berdiri, perlahan berjalan meninggalkan kuburan.
            Ada rasa sepi, tiba-tiba saja menggigit. Ada rasa nyeri, tiba-tiba mengimpit. Perempuan pelacur seakan pergi membawa seisi dunia. Kosong, itulah yang bersarang di dada Sang Anjing sekarang.
            “Kenapa aku harus merasa kehilanganmu, perempuan pelacur? Aku ini hanya seekor anjing. Kenapa aku harus merasa kehilangan?” Sang Anjing bergumam, kemudian melolong, kaiiiiiiiiiiiiiiing!
            Kaing kaing kaing…
            Lolong dari arah belakang Sang Anjing terdengar kian mendekat. Suara Anjing Betina, suaranya merdu. Kian lama lolongnya kian tak berjarak.
            “Tuan, tunggu aku!” teriak seekor Anjing Betina.
            Sang Anjing berhenti berjalan, ekornya mengibas udara, ritmis ke kiri dan kanan, ke atas dan bawah.
            “Akhirnya aku menemukan seekor anjing di lautan pasir tandus ini.” Ucap Anjing Betina setelah berhadapan dengan Sang Anjing, lidahnya menjulur-julur kehausan. “Apakah Tuan sudi berjalan bersamaku?” tanya Anjing Betina.
            “Baiklah.” Sang Anjing mengangguk dingin. Kehilangan telah membuatnya menjadi sangat dingin di tengah dunia yang tengah mendidih dihantam kemarau panjang.
            “Aku kehausan, leherku terasa putus, andai saja ada manusia yang memberi kita minum. Akan kudoakan ia agar masuk sorga.” Gumam Anjing Betina, diseretnya keempat kaki menempuh debu dan rasa panas terbakar.
            Hari demi hari, minggu demi minggu, berbulan kemudian, kehadiran Anjing Betina mengubah segalanya. Segala yang sepi kembali bernada, segala yang kosong kembali berisi. Sang Anjing perlahan menemukan segala apa yang sempat hilang. Mereka jatuh cinta, kasmaran. Keduanya menjadi sepasang anjing yang berbahagia menempuh tandus kehidupan.
***
            “Begitulah hikayat dua ekor anjing. Mereka berbahagia selamanya.” Demikian pungkas Abang, selalu demikian. Hanya itu, selalu begitu. Setiap malam seperti itu, dasar anjing. Ceritanya tak utuh. Abang tak pernah tahu, cerita yang sebenarnya.
 Sebenarnya, di kemudian hari Sang Anjing mati kehausan. Anjing Betina pun nyaris mati tapi seorang perempuan pelacur menemukannya, menyelamatkannya, memberinya seciduk air minum.
Anjing Betina berterima kasih kepada perempuan pelacur yang telah menyelamatkan dirinya. Didoakannya perempuan pelacur itu agar masuk sorga. Begitulah cerita sebenarnya tentang hikayat dua ekor anjing.
            Kaiiiiiiiiing!

Ciromed – Sumedang, 2014

* Absurditas Malka lahir di Karawang, kini bekerja dan tinggal di Bandung. Menulis cerpen dan carpon di beberapa media massa.

#Bali #Ubud #Pariwisata #Bangkok #Paris #Turki

Artikel keren lainnya:

Belum ada tanggapan untuk "Hikayat Dua Ekor Anjing (Inilah Koran, Sabtu - 11 Oktober 2014)"

Post a Comment

Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar