IBX582A8B4EDEABB Dagelan Penipu Rakyat 2014 (Cerpen Tribun Jabar, Minggu - 23 November 2014) | Info Absurditas Kata Dagelan Penipu Rakyat 2014 (Cerpen Tribun Jabar, Minggu - 23 November 2014) - Info Absurditas Kata
Beranda · E-Mail Koran · Info Lomba · Kiat Menulis · Adsense · SEO Youtube · Jasa · Toko · Blog

Dagelan Penipu Rakyat 2014 (Cerpen Tribun Jabar, Minggu - 23 November 2014)

Dagelan Penipu Rakyat 2014
Cerpen karya Absurditas Malka*

Monyet-monyet menjerit-jerit. Monyet-monyet bergelantungan. Monyet-monyet berjempalitan. Monyet-monyet saling mencakar. Monyet-monyet saling menggigit. Dasar monyet!
*

Kopiku belum tandas ketika Ningsih menyeruak dari dalam rumah, menagih janji. Aku sebenarnya tidak ingat apa yang pernah kujanjikan kepadanya? Karierku di dunia politik telah membuatku sering lupa. Terutama lupa janji. Tepatnya ingkar janji.
“Ayah pasti lupa.” Ningsih mengerut, cemberut. Tangan mungilnya menggerayangi lembaran koran yang sedang kubaca, “Ayah sudah janji kita akan pergi ke kebun binatang. Masa lupa?” Ningsih merajuk, menagih janji.
“O, Ayah tidak lupa. Ayah selesaikan dulu baca berita ini, nanti satu jam lagi kita berangkat. Oke?” Aku mengulurkan lima jemariku, Ningsih membalasnya, telapak tangan kita bertepuk di udara. Senyum riang rekah di bibir Ningsih.
Aku benar-benar lupa, aku juga lupa kenapa harus berjanji mengajak Ningsih tamasya ke kebun binatang. Duniaku, dunia politik sudah serupa dunia binatang, sudah bosan aku dengan aksi-aksi binatang-binatangan. Tapi sudahlah, sekali saja politisi ini bolehlah terpaksa menepati janji.
***
            “Maaf Pak, hari ini kebun binatangnya sedang libur.” Jawab petugas kebun binatang ketika aku celingukan di tempat penjualan tiket yang tertutup.
            “Biasanya kan buka, kok libur sih?” Aku garuk-garuk kepala. Mataku melihat sudut-sudut bibir Ningsih digelayuti cemberut.
            “Iya Pak, kebun binatangnya sedang dipakai musyawarah.”
            “Musyawarah apaan, masa musyawarah di kebun binatang?”
“Musyawarah monyet, Pak.”
Aku ingin terbahak mendengar penjelasannya tapi wajah penjaga keamanan itu tidak terlihat sedang bercanda. Lagi, aku garuk-garuk kepala. Ningsih meremas lenganku, aku bisa merasakan kekecewaan mengalir di nadinya. Aku sudah banyak gagal mengurus janji kepada rakyat, setidaknya aku tak gagal mengurus janjiku kepada Ningsih.
Setelah berbisik-bisik kepada petugas keamanan dan menyelipkan beberapa lembar uang seratus ribuan, aku dan Ningsih bisa melenggang. Berdua menonton musyawarah monyet di kebun binatang. Ingat, aku ini politisi, bisa mengatasi apa saja dengan mudah. Tinggal lobi sedikit, jalan pun lancar, rintangan bisa disingkirkan.
“Lihat Ayah, lihat! Monyet-monyet itu lucu sekali, seperti pejabat!” Teriak Ningsih, telunjuknya menuduh-nuduh ke arah monyet-monyet yang duduk manis di dalam gedung aula, tepat di tengah kebun binatang.
Ya, monyet-monyet itu semuanya berkostum keren, memakai jas, dasi, sepatu, lengkap dengan peci hitam. Ah, sialan, kenapa harus berpakaian seperti itu, seperti anggota MPR atau DPR yang di tayangan televise, perlente. Aku merasa menjadi bagian dari mereka, aku merasa serupa dengan monyet-monyet. Semoga itu sekadar perasaan belaka. Semoga.
“Pakaian monyetnya mirip Ayah.” Pekik Ningsih, bibirnya mengulum senyum geli. Tatap matanya tak diragukan lagi, sedang membandingkan penampilanku dengan penampilan monyet-monyet itu. Sial!
Aku diam saja, toh Ningsih berkata benar. Aku hanya bisa tersenyum hambar kemudian mengikuti Ningsih yang menuntunku mendekati gedung aula.
Tidak ada pengunjung lain di kebun binatang, hanya ada aku, Ningsih, dan beberapa petugas kebun binatang.
“Kita lihat jerapah yuk.” Aku membujuk Ningsih agar meninggalkan gedung aula tempat monyet-monyet bermusyawarah. Entahlah, aku merasa tak nyaman menonton monyet-monyet itu, aku merasa sedang menonton diri sendiri, menonton kawanan-kawanku yang satu profesi.
“Nggak mau, kita di sini saja, menonton monyet-monyet itu. Mereka lucu sekali.” Ningsih terkekeh menonton monyet-monyet di dalam gedung. Wajahnya dilekatkan ke kaca jendela agar lebih jelas menonton monyet-monyet. Menonton musyawarah monyet.
***
            Monyet-monyet duduk rapi di kursi yang juga berderet rapi, ruangan itu disetel seperti ruang sidang di gedung DPR. Semakin kecut saja perasaanku, semakin berdarah-darah.
Monyet berdasi merah sibuk menggaruk lehernya, monyet itu dapat kutu, dimakannya kutu itu. Monyet yang memakai peci, sibuk membaca sederet tulisan di layar tablet. Monyet dengan bibir bergincu merah tak hentinya menicipi makanan di dalam kotak kertas. Kepalaku terasa pusing melihat kelakuan monyet-monyet di dalam gedung.
Aku sebenarnya tak mau tahu dengan apa yang sedang mereka musyawarahkan. Aku sendiri ketika sedang bermusyawarah tidak begitu tahu apa yang sebenarnya harus kumusyawarahkan. Aku hanya datang saja, tanda tangan absen, tidur, kemudian pulang bersama amplop tebal.
            “Ayah, mereka ribut. Hihihi…” Ningsih menengok sejenak ke arahku, kemudian cepat-cepat mengintip lagi ke dalam gedung.
            Aku tidak berminat menonton musyawarah monyet, aku sudah hapal semua keributan atau kemupakatan sudah disetel sejak jauh-jauh hari. Musyawarah hanyalah dagelan, hanya omong kosong.
            “Hihihihi…” Ningsih cekikikan, pundaknya berguncang-guncang menahan tawanya yang terus berderai. Suara monyet-monyet di dalam ruangan semakin nyaring terdengar, menyapu aneka macam suara binatang di kebun binatang.
            “Interupsi! Interupsi! Interupsi!”
            “Cabut! Cabut! Cabut!”
“Ha ha ha ha… Ha ha ha…”
“Pimpinan! Pimpinan!”
“Lanjut!”
“Interupsi!”
“Interupsi!”
“Solatullah… ”
“Suap!”
“Undang-undang!”
“Voting!”
“Lanjut!”
“Voting!”
“Voting! Voting! Voting!”      
“Ha ha ha ha…”
“Hi hi hi hi…”
“Interupsi!”
Cih! Dasar monyet, berisik sekali musyawarah mereka. Aku penasaran, aku ikut mengintip, bersebelahan dengan Ningsih yang tak hentinya cekikikkan. Ya Tuhan, monyet-monyet itu sungguh sasar, ada yang berjengkolet di atas meja, gelantungan di langit-langit, menggedor-gedor meja, memukul dinding ruangan. Ada juga yang cengengesan sambil berbisik-bisik dengan sesamanya. Monyet!
***
            “Ayah, kalau lagi musyawarah suka begitu?” celetuk Ningsih.
            “O tidak, Ayah tidak pernah ribut seperti monyet.” Aku menelan ludah. “Sekarang kita naik unta yuk.” Aku membujuk lagi Ningsih agar meninggalkan gedung aula.
            “O Ayah, aku mohon. Aku tidak tertarik dengan binatang lain, aku ingin menonton musyawarah monyet saja.” Ningsih memelas.
            Aku tidak bisa melobi Ningsih, biasanya aku selalu bisa diandalkan dalam masalah lobi-lobi. Tapi aku tak bisa membuat Ningsih mengalah. Aku terpaksa menyerah.
            “Ayah, kenapa monyet-monyet itu meninggalkan ruangan?”
            “Mereka wolk out.
            “Apa itu wok ot?”
            “W O L K O U T.”
            “Iya apa itu wolk out?”
            “Wolk out itu ya seperti monyet-monyet itu, meninggalkan ruangan.”
            “Begitu? Aku jadi ingat, kata Bunda dulu Ayah pernah wolk out, Ayah seperti monyet saja. Hi hi hi…”
            Ningsih Ningsih Ningsih, seandainya perasaanku adalah sekotak air di dalam aquarium dan dia adalah ikan. Aku akan memasukkannya ke dalam diriku, agar tahu betapa keruhnya perasaanku.
            “Ayah, pintunya terbuka. Ayo kita masuk.” Ningsih melompat, meninggalkan jendela, berlari ke arah pintu gedung yang terbuka setelah beberapa ekor monyet meninggalkan ruangan.
            “Ningsih jangan masuk!” aku terlambat, aku tak bisa mencegah Ningsih masuk ke dalam gedung berisi monyet-monyet itu. Celaka, bagaimana  bila monyet-monyet itu menggigit anakku. Gawat!
***
            Jantungku menderu-deru, monyet-monyet di dalam sana pasti mengancam Ningsih. Monyet itu, bisa saja menggigitnya. Aku tahu betapa dunia binatang adalah dunia yang kejam, aku pernah berada di dunia semacam itu. Aku sedang berada di dunia itu.
 “Ayah duduk sini!”
            Setibanya di dalam ruangan aku bernapas lega, Ningsih baik-baik saja. Ningsih duduk bersebelahan dengan monyet berbulu keemasan, di sisi lainnya kursi kosong sudah dipersiapkannya untukku. Ningsih melambaikan tangan, memintaku untuk segera duduk.
            “Berisik!” umpatku, membatin.
Suara monyet-monyet berteriak saling berbenturan satu sama lain. Semua monyet menjerit ingin didengar, ingin bersuara. Semua monyet berbuat kegaduhan. Kepalaku berasa sejengkal lagi dari pecah berantakan, sepertinya hanya butuh satu lagi jeritan monyet agar kepalaku benar-benar berantakan.
            “Hi hi hi… Lihat monyet berpalu itu.” Ningsih menunjuk ke arah depan, ke arah seekor monyet yang mengayun-ayun palu kayu.
            “Ningsih, Ayah pusing.”
            “sebentar lagi Ayah, aku mohon. Kuatkanlah dirimu.”
            “Baiklah.”
            Aku mengalah, aku tak kuasa menolak permintaan Ningsih. Sedikit pun tak berkuasa membantahnya. Aku terpaksa bertahan di dalam ruangan, bertahan dengan kejamnya suara jeritnya monyet-monyet. Jerit monyet-monyet semakin bergemuruh, semakin menggelegar. Aku semakin membatin.
            “Interupsi!”
            “Voting!”
            “Inturpsi!”
            “Pimpinan!”
            “Ha ha ha…”
            “Interupsi!”
            Bosan rasanya aku mendengar apa yang monyet-monyet itu jeritkan, begitu-begitu saja. Aku menutup telinga, tak ingin mendengar suara monyet-monyet. Sekuat tenaga kusumpalkan telapak tangan ke daun telinga.
Percuma, suara monyet-monyet itu tetap terdengar. Semakin tajam, semakin jalang. Kepalaku berdenyut-denyut menahan sakit dari ribuan jarum suara yang semakin terasa menusuk. Kepalaku berkeletak, sepertinya mulai retak. Aku berteriak. 
            Ak ak uk uk! Ak ak uk uk! Ak ak aaak!
           Aku menjerit-jerit.


Bandung, 15 September  2014

Absurditas Malka menulis cerpen, carpon, dan sajak di beberapa media massa. Kini tinggal di Bandung bekerja sebagai admin Absurditas Kata 

Artikel keren lainnya:

Belum ada tanggapan untuk "Dagelan Penipu Rakyat 2014 (Cerpen Tribun Jabar, Minggu - 23 November 2014)"

Post a Comment

Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar