Lanjut lagi Sob, gimana, sharing proses kreatifnya Abang T Agus Khaidir ini? Renyah-renyah asyik kan. Sekarang kita tuntaskan
Menulis Asyik dan Ngopi Sore Bersama T Agus Khaidir ini. Yuk lanjuuut.
Menulis berita kadang butuh referensi dari sumber lain non-lapangan (referensi literatur), gimana mengutip referensi berita dari dunia maya secara bertanggung jawab?
Kalau ngutip itu, sumber kutipannya harus dicantumkan di badan berita atau dibuat catatan kaki saja ya? (biar saingan sama puisi esai)
Pengutipan dari sumber referensi sudah ada etika bakunya. Yakni dengan mencantumkan sumber tersebut pada tulisan. Biasanya, dituliskan pada badan tulisan, atau bisa juga pada akhir tulisan. Namun kadang-kadang (atau malah sering?), ada penulis yang “nakal”. Tidak mencantumkan sumber seolah-olah itu merupakan hasil wawancara atau risetnya sendiri.
Kecenderungan seperti ini paling banyak ditemukan pada berita atau artikel-artikel olahraga. Padahal mainnya di Inggris atau Italia atau Spanyol, tapi penulisnya dengan enteng menuliskan komentar Cristiano Ronaldo, misalnya, tanpa menyertakan sumber darimana ia mendapatkan hasil wawancara itu.
Pelanggaran terhadap etika ini sebenarnya bisa dilaporkan sebagai tindak kriminal. Tapi biasanya memang tidak dilakukan. Kalau antar sesama media lokal, paling-paling saling mengingatkan saja. Jika sudah parah benar, dilaporkan ke Dewan Pers dan lembaga ini yang melayangkan surat teguran resmi.
Semoga pers luar negeri yang benar-benar pemilik berita olah raganya tidak sidak ke Indonesia. Watir jurnalis dan media di Indonesia bisa panen kartu merah.
Perkembangan jurnalistik di Indonesia pada Era Dua Jari, gimana nih Bang? (Haruskah media terbelah menjadi pro dua jari dan kontra dua jari/menjadi kepanjangan tangan pemerintah dan anti-pemerintah?)
Sejak pemilu 2014 dimulai media massa menjadi terkutub, imbasnya masyarakat kehilangan kesempatan untuk mendapatkan informasi yang benar. Keberpihakan media pada akhirnya akan menghasilkan fakta-fakta yang berat sebelah.
Kalau menurut saya bukan berkembang, tapi malah bergerak mundur. Bebas namun cenderung bablas. Etika dilabrak sedemikian rupa. Termasuk soal keberpihakan.
Pada dasarnya keberpihakan media untuk hal-hal tertentu sah-sah saja. Sepanjang dilakukan dengan cara elegan, dan tidak melenceng dari kaidah jurnalistik. Di Amerika, New York Times lebih condong ke Republik, sedangkan Washington Post ke Democrat. Di Spanyol, Marca adalah “suara” Real Madrid, sedangkan As “berdiri di belakang” Barcelona. Pers di era modern bukan lagi semata-mata media perjuangan, namun telah berorientasi bisnis.
Tapi apa yang terjadi di Indonesia belakangan ini tidak lagi bisa dikatakan elegan. Keberpihakan yang tunjukkan, terutama media-media visual (televisi), sudah sangat terang-terangan dan hampir sampai pada level menjijikkan. Syukurlah, belakangan, sudah banyak media yang “kembali ke jalan yang benar”. Tinggal segelintir saja yang betah menghina diri sendiri. Tetap membela dan menghujat dengan membabi buta.
Semoga besok lusa kita semua bisa membaca lagi berita yang bermata, untuk saat ini mari kita baca berita
Ngopi Sore saja. Terima kasih yang sebesarnya buat Abang T Agus Khadiri yang telah meluangkan waktunya untuk sharing
proses kreatif kepenulisan di tengah padatnya kesibukan.
Karawang, 30 Januari 2015
T Agus Khaidir jurnalis sekaligus fotografer Tribun Medan ini bisa juga ditemui di blog pribadinya
Agus Khaidir, @aguskhaidir dan
Facebook. Dijamin nggak akan nyesal, di manapun selalu ada tulisan keren beliau yang bisa disruput sambil ngopi sore. Siapa tahu, suatu saat kita semua bisa ngopi sore bareng beliau (ngarep ketularan nulis keren). Semoga.
Info Absurditas Kata Lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Menulis Asyik dan Ngopi Sore Bersama T Agus Khaidir - Jurnalis dan Fotografer Tribun Medan (Bagian 2)"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar