Oleh: Layla Badra Sundari
Kali
pertama aku mengenalmu, kau sedang asik bercerita kepada teman-temanmu. Di usia
yang masih belia kau berhasil menerbitkan penasaran teman-temanmu. Kau lihai
bercerita. Teman-temanmu semakin banyak yang mengerubungmu. Senyum mengembang
penuh di bibirmu. Merasa berhasil dengan ceritamu.
Kau
berseragam olahraga warna merah jambu waktu itu, bergambar Donal Bebek, dan
memakai topi yang lucu. Begitu pun
aku dan teman-teman kita semua. Rambutmu yang ikal, diikat rapi oleh ibumu.
Lalu dimasukkan ke dalam topi. Dari belakang, hanya terlihat anak rambut yang
bergoyang karena tertempa angin lembut. Aku selalu senang memakai pakaian olah raga.
Karena setelah berolah raga, pelajaran akan usai, dan esok hari akan libur.
Hari itu begitu menyenangkan bagiku. Begitupun denganmu aku rasa.
Hujan
rintik-rintik menembus sinar matahari. Memberikan kecemasan karena kebanyakan
teman-temanmu tidak membawa payung. Tetapi kau, sama sekali tidak khawatir. Kau
senang. Kau memandang langit dari balik jendela. Berseru. Ada pelangi! Seketika beberapa temanmu mendekat. Dan kau mulai
bercerita.
“Kata nenekku, kalau hujan tetapi panas begini, berarti ada pelangi di langit, lalu putri-putri dari langit turun untuk mandi di kolam-kolam yang ada di bumi.”
“Benarkah?
Mana pelanginya? Aku belum melihat.” Teman di sampingmu bertanya penasaran.
“Itu,
di sebelah barat. Kau lihat, ada warna merah, jingga, kuning, hijau, biru,
nila, dan ungu, melengkung menjadi satu?” kau berusaha menjelaskan.
“Iya,
aku lihat.”
“Indah
bukan?”
“Putrinya
di mana?” tanya temanmu yang lain.
“Putrinya di kolam sedang mandi.”
“Apakah
pelangi itu rumah putri?” tanya temanmu lagi.
“Hmm
bukan-bukan, pelangi itu taman bagi putri, tetapi di sana nggak ada kolam,
jadi putri turun ke bumi untuk mandi.”
“Aku
ingin lihat putri yang sedang mandi di kolam,” kata
teman lelakimu.
“Aku
juga,” kata
temanmu yang lain.
“Ayo
lihat!”
Kalian
beramai-ramai pergi ke kolam belakang sekolah saat
istirahat tiba. Aku pun mengikuti kalian. Tetapi tidak seantusias kalian. Aku
berjalan sendiri. Di sepanjang jalan sesekali kuhadapkan wajahku ke langit
melihat pelangi. Memang indah.
“Ssssst.
Jangan berisik kalau mau melihat putri. Kalau berisik, putrinya akan malu, dan nggak
jadi mandi.”
Kau
dan teman-temanmu mengendap-endap di pinggir kolam. Kau kian jeli melihat
kolam. Teman-temanmu melebarkan mata. Jangan sampai ada celah yang terlewat
dalam kolam.
“Bagaimana
tandanya kalau putri dari langit datang?”
“Dari
dalam kolam, akan keluar gelembung air yang kecil-kecil. Itu berarti putri ada
di situ.”
“Ssst,
aku melihatnya, di tengah-tengah kolam.”
Rasa
penasaranku terbit. Tetapi enggan untuk mendekat. Aku masih melihat pelangi di
atas sana. Lebih indah dari putri aku pikir.” Tetapi sebenarnya aku
membayangkan melihat putri terbang dari sana.
“Mana?”
“Gelembungnya
pindah lagi!”
“Di
ujung kolam.” Kau menunjuk ke ujung kolam. Semua mata beralih ke sana.
“Sebelah
sini juga ada gelembung,” temanmu
berseru.
“Sudah
ada tiga gelembung. Berarti ada tiga putri yang turun dari langit,” kau
berkata.
“Tapi
aku belum melihat putri-putri itu.”
“Iya,
aku juga”
“Kita
harus bersabar. Mari kita tunggu lagi.”
Satu
jam telah berlalu. Kau dan teman-temanmu mulai resah tidak dapat menyaksikan
putri. Kau pun lupa tak melihat pelangi lagi. Pelangi sudah pergi sejak lima
belas menit yang lalu. dan kalian masih menunggu.
Temanmu
mulai tak sabar. Satu persatu mulai meninggalkanmu sembari menggerutu, kau
pembohong. Kau berusaha mengembalikan kepercayaan mereka. Tetapi gagal.
Salah
satu temanmu berseru “pelanginya sudah tidak ada. Putri tak akan akan datang.”
“Kau
menengadah ke langit, memastikan.” memang benar, sudah tak ada pelangi. Wajahmu
bersedih.
***
Aku
menghampirimu. Kau menangis sendiri. Ku sodorkan tangan. Mengajakmu pulang.
Tetapi kau masih saja enggan untuk pulang.
“Kau
tidak bohong, aku melihat putri-putri itu.”
Seketika
tangismu berhenti. Tertarik dengan apa yang aku ucapkan. “Benarkah?
Di mana kau melihatnya?”
“Aku melihat putri yang kau ceritakan itu, ia
tidak turun ke kolam. Aku melihatnya di atas pelangi. Mereka sedang duduk di
sana.”
“Lalu
bagaimana? Kenapa mereka tidak turun ke bumi? Bagaimana wajah mereka?
Cantik-cantik? memakai baju apa mereka?”
“Pertanyaanmu
banyak sekali. Aku ceritakan
satu persatu.”
“Saat
kau sibuk melihat putri di kolam bersama teman-temanmu, aku duduk di kursi yang
tidak begitu jauh dari kolam. Aku melihat terus ke atas langit. Menikmati
keindahannya. Bukan karena tidak tertarik melihat putri mandi, tetapi aku ingin
melihat putri saat terbang dari langit. Saat itu, aku melihat seorang putri
tersenyum padaku. Aku pun
tersenyum kepadanya. Putri itu sangat cantik. Ia
memakai baju berwarna merah jambu,
sama dengan warna baju kita. Dan memakai selendang putih. Kulitnya
kuning langsat, sepertimu. Ia sangat cantik.”
“Siapa
nama putri itu?”
“Namanya
putri Wulan.”
“Apakah
ia juga menanyakan namamu?
“Iya.
Kami bersalaman. Ia memuji namaku. Aku bertanya kenapa tidak turun ke bumi?
Teman-temanku menunggumu di kolam.”
“Ia tersenyum
simpul. Lalu menjelaskan, bahwa ia dan yang lainnya tidak akan turun ke bumi
kalau kolamnya kotor dengan sampah. Mereka akan merasa gatal-gatal kalau mandi
di bumi.”
“Lalu mereka
mandi di mana?”
“Mereka mandi
dari air hujan sebelum datang pelangi. Ia menitipkan salam untukmu.”
“Wah, ia
mengenaliku?”
“Iya, ia tahu
namamu. Ia mengatakan akan menemuimu suatu hari nanti. Tetapi dengan syarat kau
tidak mengatakannya pada yang lain. Putri Wulan itu pemalu. Begitupun dengan
putri-putri yang lain.”
Kita pulang bersama beriringan. Air matamu sudah kering. Senyummu kembali.
***
Sekarang aku sedang duduk di bangku belakang sekolah. Dekat kolam. Semuanya
masih sama seperti dulu. Aku di sini mengenang teman-temanku juga mengenangmu.
Di manakah kau? Ingatkah dengan kisah pelangimu?
Yogya-Ciamis, Awal 2015
Layla Badra Sundari pemilik blog Layla Badra ini sekarang masih kuliah di salah satu kampus di Yogyakarta. Dia rajin menabung dan menulis cerpen. Profil penulis lebih lengkap bisa dilihat di G+ atau Facebook
Buat sobat Info Absurditas Kata yang lain, silakan kirim cerpenmu ke absurditasmalka@gmail.com untuk ikutan event Barter: Kirim Tulisan Dapat Buku (khusus Bandung) atau event Sharing Honor Cerpen.
Belum ada tanggapan untuk "Pelangi dan Kau - Cerpen Layla Badra Sundari (#BarterKirimTulisanDapatBuku)"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar