IBX582A8B4EDEABB Saraswati, Dewi Pencuri Makan Pagi | Info Absurditas Kata Saraswati, Dewi Pencuri Makan Pagi - Info Absurditas Kata
Beranda · E-Mail Koran · Info Lomba · Kiat Menulis · Adsense · SEO Youtube · Jasa · Toko · Blog

Saraswati, Dewi Pencuri Makan Pagi

Saraswati, Dewi Pencuri Makan Pagi
Cerpen Absurditas Malka*


Karma itu ada!
Siapa saja akan menerima balas untuk semua perbuatannya, sekaligus atau perlahan-lahan. Sadar atau tidak disadari.
**

            “Siapa pun yang mencuri sarapanku, aku doakan dia mati kelaparan.” Umpat Made Sadun, amuk-amukan.
            Sudah tujuh hari ia pindah rumah ke Ubud, selama itu pula ia selalu kehilangan sarapan di meja makannya. Selama ia tinggal di Denpasar, peristiwa seperti itu tidak sekali pun terjadi.
“Aku sudah mengunci semua pintu rumah dan jendela. Maling sialan itu selalu bisa mencuri makan pagiku!” Roman Made Sadun terbakar-bakar, gusar.
“Mungkin dimakan anakmu atau istrimu?” timpal Ida Bagus, tetangganya sewaktu di Denpasar yang datang berkunjung menengok rumah barunya.
“Aku ini kan sebatang kara.” Made Sadun mendelik.
“Mungkin kamu makan sendiri tapi lupa.”
“Aku belum pikun, jelas-jelas makananku dicuri.” Made Sadun semakin mendelik.
Hoalah, kok aneh ya. Coba pasang CCTV, pasti pelakunya ketahuan.”
“Sahabatku Ida Bagus ini memang jempolan, selalu punya ide bagus.” Semringah, akhirnya Made Sadun mendapat pencerahan.
Sebelum matahari meninggalkan angka 10 di jam dinding, Made Sadun sudah melesat mencari toko yang menjual CCTV. Tidak berselang 3 jam, ia sudah kembali bersama tim ahli yang akan memasang alat pengintai tersebut di rumahnya.
“Sudah selesai Pak, sekarang Bapak bisa melihat apa pun yang terjadi di rumah ini, khususnya di ruang makan.” Ucap tim ahli yang sudah selesai memasang perangkat CCTV di ruang makan Made Sadun.
“Besok aku akan menangkapmu maling sialan!”
Made Sadun benar-benar semringah, ia tak sabar menunggu waktu yang telak untuk menangkap basah pencuri makan pagi di rumahnya.
***


            Susu panas mengepul di dalam gelas, asapnya disesap angin sampai tandas. Roti panggang dengan lelehan mentega dan keju tertangkup di atas piring datar, aromanya menguar ke sekujur ruangan. Hanya itu, selalu itu makan pagi Made Sadun, tidak pernah berubah sejak masih tinggal di Denpasar, sejak puluhan tahun silam.
            Made Sadun sudah mempersiapkan jebakannya dengan sempurna, tak lupa ia juga mengunci pintu dan jendela, semuanya terkunci rapat.
            “Ayolah maling, datanglah kau.” Made Sadun tak sejenak pun melepaskan tatapannya dari layar televisi, mengintai meja makan. Setelah beberapa menit berlalu, ia melihat seorang perempuan masuk ke ruang makan, menghampiri meja makan.
            “Dia malingnya?” Made Sadun menggosok-gosok mata, tak percaya dengan apa yang dilihatnya, “Perempuan itu, malingnya?” Ia menengok ke arah patung Dewi Saraswati di sudut kamar.
Maling itu berdandan persis, mirip, sama, serupa dengan dewi ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan, Saraswati.       Perempuan itu, melangkah tenang menuju meja makan. Cahaya keperakan semburat dari wajahnya, terang tenang sebagaimana rembulan purnama di ujung malam. Kain sari terbesit di setiap ia melangkah, sampai-sampai betisnya yang padi bunting seakan menggenangkan air susu yang bergumpal-gumpal.
            “Dewi Saraswati malingnya?” Made Sadun memperbesar tampilan di dalam layar, ingin lebih jelas menelisik wajah perempuan itu.
            Perempuan itu menarik kursi dari kolong meja makan, ia duduk di sana, seperti menunggu Made Sadun untuk menemuinya.
            “Kena kau.” Bisik Made Sadun sembari melonjak ke arah pintu ketika perempuan itu terlihat hendak mengambil roti panggang. “Maling sialan! Jangan lari kau!” bentaknya, geram.
            Perempuan yang dibentaknya tersenyum saja, senyumnya seakan mengalirkan madu dari semua sarang lebah di muka bumi, teramat sangat manis. Made Sadun tak pernah melihat senyuman seperti itu, tidak ada gadis Bali yang memiliki senyuman seindah itu. Keenam tangan perempuan itu memberi sembah salam kepada Made Sadun. Semerbak bunga asing tercium kental di dalam ruangan, aroma bunga yang tak pernah ditemuinya di pulau dewata, mungkin tak pernah juga ditemuinya di di belahan bumi yang lain.
            “Kenapa Pak Made diam saja, bukannya mau menangkapku? Aku Dewi Saraswati, aku jugalah yang setiap pagi mencuri makan pagi Pak Made.” Ucap perempuan maling, tenang.
            “Diam kamu, maling! Jangan  ngaku-ngaku jadi Dewi Saraswati, tak sudi aku, dewi agungku dikotori kelakuanmu. Bagaimana kamu bisa masuk ke rumah saya?” bentak Made Sadun.
            “Pintu dan jendela mungkin tertutup dan terkunci tapi pengetahuan akan selalu terbuka, bisa dimasuki dari mana saja, bisa didatangi siapa saja, kapan saja, di mana saja.” Jawab perempuan maling yang mengaku Dewi Saraswati.
“Ngomong apa kamu ini, berisik!”  Made Sadun geram.
“Tangkaplah aku, kebijaksanaan akan menjadi milik siapa saja yang mencarinya.” Dewi Saraswati tersenyum, madu super madis berhujan lagi dari sudut-sudut bibirnya.
“Berisik! Kutangkap kau dan kulaporkan kepada yang berwajib karena telah mencemarkan nama baik Dewi Saraswati.” Ancam Made Sadun, kemudian  melejit, bermaksud menangkap Saraswati. Tangannya yang kekar melesat merobek udara.
Srolooot, gabros! Made Sadun tersungkur di lantai. Dewi Saraswati tanpa bergerak sudah berpindah tempat, duduk di kursi lain yang tertarik sendiri dari kolong meja.
***
            “O, rupanya kamu pandai bermain sulap, gerakanmu cepat sekali. Kampret!” Made Sadun murka.
            “Ilmu tidak singgah dalam keraguan, ilmu akan lebih terang dalam penerimaan. Jika hati telah diluapi pengetahuan, maka kebijaksanaan akan membuatnya benderang.”
            “Apa pun yang kamu katakan, aku tidak percaya kamu Dewi Saraswati. Berhentilah bicara dan menyerahlah!” Made Sadun menopang tubuhnya dengan kedua lengan, ingin bangkit setelah terjatuh karena gagal menubruk Dewi Saraswati.
            “Ilmu adalah buruan, kebijaksanaan adalah apa yang akan didapatkan. Tangkaplah aku Pak Made.” Ucap Dewi Saraswati, tangannya yang berjumlah enam dengan tenang mengambil apa-apa yang berada di meja makan. Satu menggenggam roti panggang, satu menggenggam gelas susu, satu menggenggam sendok, satu menggenggam garpu, satu menggenggam selai kacang, satu lagi melambai-lambai ke arah Made Sadun yang murka tanpa bisa berbuat apa-apa.
            “Sekarang aku harus pergi, Pak Made. Besok, setelah sarapannya siap, aku akan kembali. Aku akan mencuri makan pagi lagi.”
            Made Sadun masih menganga dengan mulut melorot sampai ke dada ketika Dewi Saraswati lenyap entah ke mana.
            “Eladalah…” Made Sadun bergumam heran, ia coba mengingat apa yang baru saja terjadi, ingatannya berantakan, tak mampu bekerja. Keajaiban telah membuat otaknya sejenak tidak mau bekerja.
            “Benarkah dia Dewi Saraswati. Bagaimana bisa?”
            Made Sadun tertegun, jidatnya berkerut-kerut, penuh keheranan, “Mustahil!” gumamnya.
***
            “Huhuhu hahahah huhuh.” Ida Bagus terpingkal mendengar cerita Made Sadun yang tersungut-sungut meneleponnya. “Kamu percaya itu Dewi Saraswati? Hu hu hu ha ha ha…” ia semakin terpingkal.
            “Mustahil itu Dewi Saraswati, aku tak percaya. Tapi…”
            “Tapi apa?”
            “Tapi aku melihat perempuan itu bertangan enam, gerakannya lebih cepat dari cepat, tubuhnya semerbak bunga-bunga surgawi, senyumnya seakan hujan madu, wajahnya laksana menyimpan berjuta bintang. Aku tidak pernah melihat perempuan sebegitu cantik, sepertinya maling itu benar-benar Dewi Saraswati.”
            “Tidak mungkin, masa iya Dewi Saraswati nyuri?”
            “Iya, tidak mungkin. Aku juga sebenarnya tidak percaya.”
            “Katamu, besok dia mau datang lagi ke rumahmu?”
            “Iya, katanya begitu.”
            “Kalau begitu, besok pastikan kamu menangkapnya.”
            “Tentu, tentu. Aku akan menangkapnya tapi bagaimana bila maling itu benar-benar Dewi Saraswati?”
            “Dewi Saraswati atau bukan, tangkap saja.”
            Made Sadun gelisah, penasaran dengan apa yang akan terjadi besok pagi. Benarkah Dewi Saraswati akan kembali mencuri makan paginya? Benarkah maling itu Dewi Saraswati yang asli?
***
            Sama seperti pagi kemarin, seperti juga pagi yang lain selama ia tinggal di Bali, baik di Denpasar maupun di Ubud sekarang. Sarapan pagi Made Sadun tak pernah berubah, susu panas dan setangkup roti panggang dengan lelehan mentega dan keju.
            “Datanglah.” Gumam Made Sadun setelah semua sarapan paginya terhidang di meja makan.
            Tepat ketika ia bermaksud melipir ke dalam kamar, bermaksud mengintai datangnya si pencuri sarapan pagi, ia mendengar seseorang mengetuk pintu belakang.
            “Eladalah, siapa sih pagi-pagi begini sudah bertamu?” Made Sadun ngedumel, kakinya tergesa memburu pintu belakang.
            “Tunggu sebentar!” Teriaknya ketika pintu terdengar diketuk untuk ketiga kali.
            Sebelum ketukan berikutnya, Made Sadun telah membuka pintu lebar-lebar. Tidak disangka, di mulut pintu belakang rumahnya Dewi Saraswati menampakkan diri, datang bersama seekor kucing berbulu cokelat.
            “Kamu? Kok ketuk pintu?” Made Sadun terbengong-bengong.
            “Pak Made ingat kucing ini?” Dewi Saraswati tidak ikut pusing dengan keheranan yang mengental di benak Made Sadun.
            “Aku tidak ingat.”
            “Sama sekali tidak ingat?”
            “Sama sekali aku tidak ingat.”
“Hari terakhir Pak Made tinggal di Denpasar, setelah memujaku, kucing yang kelaparan ini datang ke rumah Bapak. Akulah yang mengijinkannya untuk memakan roti dan meminum susu di meja makan Bapak. Tapi Bapak sudah lebih dahulu memukulnya sampai susu itu tumpah terbanting, kucing terpelanting sampai kakinya retak dan pincang. Sekarang, Pak Made ingat?”
            “Sekarang, aku tetap saja tidak ingat.”
            “Sekarang, kalau Pak Made rela, bolehkah kucing ini menyantap makan pagi Bapak?” Dewi Saraswati mengelus kucing di pelukannya.
            “Tidak boleh! Itu sarapan pagiku! Aku tidak mau berbagi dengan kucing.” Made Sadun menghardik.
            Meooong… Kucing cokelat di pelukan Dewi Saraswati melompat ke lantai, berlari pincang menuju meja makan. Tanpa takut kena pukul Made Sadun yang terbelalak, kucing itu tenang menghabiskan makan pagi di atas meja makan.
            “Kucing sialan!” Made Sadun merah padam. Tubuhnya melayang, bermaksud menubruk kucing cokelat di meja makan. Sroloooot gabros!
            “Ilmu hanya akan menyerahkan diri kepada siapa yang hatinya ingin menjadi benderang, kepada siapa saja yang akalnya ingin berpengetahuan.” Dewi Saraswati seketika menghilang, kucing cokelat berlari pincang meninggalkan meja makan.
            “Somprel!” Made Sadun nggurutu sejadinya, Dewi Saraswati gagal ditangkap  padahal tidak melawan.
Beberapa hari kemudian, setelah Dewi Saraswati tak datang lagi untuk mencuri makan paginya, Made Sadun mengunggah video penampakan Dewi Saraswati ke dunia maya.

 Ubud, Oktober 2014

Artikel keren lainnya:

Belum ada tanggapan untuk "Saraswati, Dewi Pencuri Makan Pagi "

Post a Comment

Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar