Saraswati, Dewi Pencuri Makan Pagi
Cerpen Absurditas Malka*
Karma itu ada!
Siapa saja akan menerima balas untuk semua
perbuatannya, sekaligus atau perlahan-lahan. Sadar atau tidak disadari.
**
“Siapa pun yang mencuri sarapanku,
aku doakan dia mati kelaparan.” Umpat Made Sadun, amuk-amukan.
Sudah tujuh hari ia pindah rumah ke
Ubud, selama itu pula ia selalu kehilangan sarapan di meja makannya. Selama ia tinggal
di Denpasar, peristiwa seperti itu tidak sekali pun terjadi.
“Aku
sudah mengunci semua pintu rumah dan jendela. Maling sialan itu selalu bisa
mencuri makan pagiku!” Roman Made Sadun terbakar-bakar, gusar.
“Mungkin
dimakan anakmu atau istrimu?” timpal Ida Bagus, tetangganya sewaktu di Denpasar
yang datang berkunjung menengok rumah barunya.
“Aku
ini kan sebatang kara.” Made Sadun mendelik.
“Mungkin
kamu makan sendiri tapi lupa.”
“Aku
belum pikun, jelas-jelas makananku dicuri.” Made Sadun semakin mendelik.
“Hoalah, kok aneh ya. Coba pasang CCTV,
pasti pelakunya ketahuan.”
“Sahabatku
Ida Bagus ini memang jempolan, selalu punya ide bagus.” Semringah, akhirnya
Made Sadun mendapat pencerahan.
Sebelum
matahari meninggalkan angka 10 di jam dinding, Made Sadun sudah melesat mencari
toko yang menjual CCTV. Tidak berselang 3 jam, ia sudah kembali bersama tim
ahli yang akan memasang alat pengintai tersebut di rumahnya.
“Sudah
selesai Pak, sekarang Bapak bisa melihat apa pun yang terjadi di rumah ini,
khususnya di ruang makan.” Ucap tim ahli yang sudah selesai memasang perangkat
CCTV di ruang makan Made Sadun.
“Besok
aku akan menangkapmu maling sialan!”
Made
Sadun benar-benar semringah, ia tak sabar menunggu waktu yang telak untuk
menangkap basah pencuri makan pagi di rumahnya.
***
Susu panas mengepul di dalam gelas, asapnya
disesap angin sampai tandas. Roti panggang dengan lelehan mentega dan keju
tertangkup di atas piring datar, aromanya menguar ke sekujur ruangan. Hanya
itu, selalu itu makan pagi Made Sadun, tidak pernah berubah sejak masih tinggal
di Denpasar, sejak puluhan tahun silam.
Made Sadun sudah mempersiapkan
jebakannya dengan sempurna, tak lupa ia juga mengunci pintu dan jendela,
semuanya terkunci rapat.
“Ayolah maling, datanglah kau.” Made
Sadun tak sejenak pun melepaskan tatapannya dari layar televisi, mengintai meja
makan. Setelah beberapa menit berlalu, ia melihat seorang perempuan masuk ke
ruang makan, menghampiri meja makan.
“Dia malingnya?” Made Sadun
menggosok-gosok mata, tak percaya dengan apa yang dilihatnya, “Perempuan itu,
malingnya?” Ia menengok ke arah patung Dewi Saraswati di sudut kamar.
Maling
itu berdandan persis, mirip, sama, serupa dengan dewi ilmu pengetahuan dan
kebijaksanaan, Saraswati. Perempuan itu,
melangkah tenang menuju meja makan. Cahaya keperakan semburat dari wajahnya,
terang tenang sebagaimana rembulan purnama di ujung malam. Kain sari terbesit
di setiap ia melangkah, sampai-sampai betisnya yang padi bunting seakan
menggenangkan air susu yang bergumpal-gumpal.
“Dewi Saraswati malingnya?” Made
Sadun memperbesar tampilan di dalam layar, ingin lebih jelas menelisik wajah
perempuan itu.
Perempuan itu menarik kursi dari
kolong meja makan, ia duduk di sana, seperti menunggu Made Sadun untuk
menemuinya.
“Kena kau.” Bisik Made Sadun sembari
melonjak ke arah pintu ketika perempuan itu terlihat hendak mengambil roti
panggang. “Maling sialan! Jangan lari kau!” bentaknya, geram.
Perempuan yang dibentaknya tersenyum
saja, senyumnya seakan mengalirkan madu dari semua sarang lebah di muka bumi,
teramat sangat manis. Made Sadun tak pernah melihat senyuman seperti itu, tidak
ada gadis Bali yang memiliki senyuman seindah itu. Keenam tangan perempuan itu
memberi sembah salam kepada Made Sadun. Semerbak bunga asing tercium kental di
dalam ruangan, aroma bunga yang tak pernah ditemuinya di pulau dewata, mungkin
tak pernah juga ditemuinya di di belahan bumi yang lain.
“Kenapa Pak Made diam saja, bukannya
mau menangkapku? Aku Dewi Saraswati, aku jugalah yang setiap pagi mencuri makan
pagi Pak Made.” Ucap perempuan maling, tenang.
“Diam kamu, maling! Jangan ngaku-ngaku jadi Dewi Saraswati, tak sudi aku,
dewi agungku dikotori kelakuanmu. Bagaimana kamu bisa masuk ke rumah saya?” bentak
Made Sadun.
“Pintu dan jendela mungkin tertutup
dan terkunci tapi pengetahuan akan selalu terbuka, bisa dimasuki dari mana
saja, bisa didatangi siapa saja, kapan saja, di mana saja.” Jawab perempuan
maling yang mengaku Dewi Saraswati.
“Ngomong
apa kamu ini, berisik!” Made Sadun geram.
“Tangkaplah
aku, kebijaksanaan akan menjadi milik siapa saja yang mencarinya.” Dewi Saraswati
tersenyum, madu super madis berhujan lagi dari sudut-sudut bibirnya.
“Berisik!
Kutangkap kau dan kulaporkan kepada yang berwajib karena telah mencemarkan nama
baik Dewi Saraswati.” Ancam Made Sadun, kemudian melejit, bermaksud menangkap Saraswati.
Tangannya yang kekar melesat merobek udara.
Srolooot, gabros! Made Sadun
tersungkur di lantai. Dewi Saraswati tanpa bergerak sudah berpindah tempat,
duduk di kursi lain yang tertarik sendiri dari kolong meja.
***
“O, rupanya kamu pandai bermain
sulap, gerakanmu cepat sekali. Kampret!” Made Sadun murka.
“Ilmu tidak singgah dalam keraguan,
ilmu akan lebih terang dalam penerimaan. Jika hati telah diluapi pengetahuan,
maka kebijaksanaan akan membuatnya benderang.”
“Apa pun yang kamu katakan, aku
tidak percaya kamu Dewi Saraswati. Berhentilah bicara dan menyerahlah!” Made
Sadun menopang tubuhnya dengan kedua lengan, ingin bangkit setelah terjatuh karena
gagal menubruk Dewi Saraswati.
“Ilmu adalah buruan, kebijaksanaan
adalah apa yang akan didapatkan. Tangkaplah aku Pak Made.” Ucap Dewi Saraswati,
tangannya yang berjumlah enam dengan tenang mengambil apa-apa yang berada di
meja makan. Satu menggenggam roti panggang, satu menggenggam gelas susu, satu
menggenggam sendok, satu menggenggam garpu, satu menggenggam selai kacang, satu
lagi melambai-lambai ke arah Made Sadun yang murka tanpa bisa berbuat apa-apa.
“Sekarang aku harus pergi, Pak Made.
Besok, setelah sarapannya siap, aku akan kembali. Aku akan mencuri makan pagi
lagi.”
Made Sadun masih menganga dengan
mulut melorot sampai ke dada ketika Dewi Saraswati lenyap entah ke mana.
“Eladalah…”
Made Sadun bergumam heran, ia coba mengingat apa yang baru saja terjadi,
ingatannya berantakan, tak mampu bekerja. Keajaiban telah membuat otaknya
sejenak tidak mau bekerja.
“Benarkah dia Dewi Saraswati. Bagaimana
bisa?”
Made Sadun tertegun, jidatnya berkerut-kerut,
penuh keheranan, “Mustahil!” gumamnya.
***
“Huhuhu hahahah huhuh.” Ida Bagus
terpingkal mendengar cerita Made Sadun yang tersungut-sungut meneleponnya.
“Kamu percaya itu Dewi Saraswati? Hu hu hu ha ha ha…” ia semakin terpingkal.
“Mustahil itu Dewi Saraswati, aku
tak percaya. Tapi…”
“Tapi apa?”
“Tapi aku melihat perempuan itu
bertangan enam, gerakannya lebih cepat dari cepat, tubuhnya semerbak
bunga-bunga surgawi, senyumnya seakan hujan madu, wajahnya laksana menyimpan
berjuta bintang. Aku tidak pernah melihat perempuan sebegitu cantik, sepertinya
maling itu benar-benar Dewi Saraswati.”
“Tidak mungkin, masa iya Dewi
Saraswati nyuri?”
“Iya, tidak mungkin. Aku juga
sebenarnya tidak percaya.”
“Katamu, besok dia mau datang lagi
ke rumahmu?”
“Iya, katanya begitu.”
“Kalau begitu, besok pastikan kamu
menangkapnya.”
“Tentu, tentu. Aku akan menangkapnya
tapi bagaimana bila maling itu benar-benar Dewi Saraswati?”
“Dewi Saraswati atau bukan, tangkap
saja.”
Made Sadun gelisah, penasaran dengan
apa yang akan terjadi besok pagi. Benarkah Dewi Saraswati akan kembali mencuri makan
paginya? Benarkah maling itu Dewi Saraswati yang asli?
***
Sama seperti pagi kemarin, seperti
juga pagi yang lain selama ia tinggal di Bali, baik di Denpasar maupun di Ubud
sekarang. Sarapan pagi Made Sadun tak pernah berubah, susu panas dan setangkup
roti panggang dengan lelehan mentega dan keju.
“Datanglah.” Gumam Made Sadun
setelah semua sarapan paginya terhidang di meja makan.
Tepat ketika ia bermaksud melipir ke
dalam kamar, bermaksud mengintai datangnya si pencuri sarapan pagi, ia
mendengar seseorang mengetuk pintu belakang.
“Eladalah,
siapa sih pagi-pagi begini sudah bertamu?” Made Sadun ngedumel, kakinya tergesa
memburu pintu belakang.
“Tunggu sebentar!” Teriaknya ketika
pintu terdengar diketuk untuk ketiga kali.
Sebelum ketukan berikutnya, Made
Sadun telah membuka pintu lebar-lebar. Tidak disangka, di mulut pintu belakang rumahnya
Dewi Saraswati menampakkan diri, datang bersama seekor kucing berbulu cokelat.
“Kamu? Kok ketuk pintu?” Made Sadun
terbengong-bengong.
“Pak Made ingat kucing ini?” Dewi
Saraswati tidak ikut pusing dengan keheranan yang mengental di benak Made
Sadun.
“Aku tidak ingat.”
“Sama sekali tidak ingat?”
“Sama sekali aku tidak ingat.”
“Hari
terakhir Pak Made tinggal di Denpasar, setelah memujaku, kucing yang kelaparan
ini datang ke rumah Bapak. Akulah yang mengijinkannya untuk memakan roti dan
meminum susu di meja makan Bapak. Tapi Bapak sudah lebih dahulu memukulnya
sampai susu itu tumpah terbanting, kucing terpelanting sampai kakinya retak dan
pincang. Sekarang, Pak Made ingat?”
“Sekarang, aku tetap saja tidak
ingat.”
“Sekarang, kalau Pak Made rela,
bolehkah kucing ini menyantap makan pagi Bapak?” Dewi Saraswati mengelus kucing
di pelukannya.
“Tidak boleh! Itu sarapan pagiku!
Aku tidak mau berbagi dengan kucing.” Made Sadun menghardik.
Meooong…
Kucing cokelat di pelukan Dewi Saraswati melompat ke lantai, berlari pincang
menuju meja makan. Tanpa takut kena pukul Made Sadun yang terbelalak, kucing
itu tenang menghabiskan makan pagi di atas meja makan.
“Kucing sialan!” Made Sadun merah
padam. Tubuhnya melayang, bermaksud menubruk kucing cokelat di meja makan. Sroloooot gabros!
“Ilmu hanya akan menyerahkan diri
kepada siapa yang hatinya ingin menjadi benderang, kepada siapa saja yang akalnya
ingin berpengetahuan.” Dewi Saraswati seketika menghilang, kucing cokelat
berlari pincang meninggalkan meja makan.
“Somprel!”
Made Sadun nggurutu sejadinya, Dewi
Saraswati gagal ditangkap padahal tidak
melawan.
Beberapa
hari kemudian, setelah Dewi Saraswati tak datang lagi untuk mencuri makan paginya,
Made Sadun mengunggah video penampakan Dewi Saraswati ke dunia maya.
Ubud, Oktober 2014
Belum ada tanggapan untuk "Saraswati, Dewi Pencuri Makan Pagi "
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar