Geliat
sastra Sunda menunjukan antusiasme yang meningkat. Setidaknya berdasarkan "penglihatan" melalui berbagai jejaring sosial.
Urang Sunda kini bisa turun langsung ke dunia sastra Sunda tanpa dibatasi privelse sastrawan, inelektual,
somah, atau
cacah. Siapa saja bisa ikut berperan, ikut bersastra. Misalnya dengan bergabung di Komunitas Fiksi Mini Sunda atau komunitas lainya yang kini menjamur di dunia maya.
Antusiasme tersebut juga tidak bertepuk sebelah tangan, proses kreatif dalam sastra Sunda memiliki wadah media (tidak bisa dikatakan banyak sih) tapi cukup memungkinkan untuk dijadikan ajang makalangan bagi urang Sunda. Dalam artian makalangan untuk nanjeurkeun ajen-inajen sastra Sunda itu sendiri.
Sebut saja misalnya, koran Tribun Jabar yang konsisten memuat carpon (carita pondok) di halaman ke-17 setiap hari Selasa-Kamis dengan honor ratusan ribu rupiah bagi penulisnya. Bahkan koran yang bukan milik urang Sunda ini, membuat gebrakan besar dengan menerbitkan antologi petingan dari cerpen yang pernah dimuat di koran tersebut.
Tidak berhenti sampai di sana, Tribun Jabar juga mengirimkan buku tersebut untuk diikutsertakan dalam ajang pameran buku terbesar di muka bumi, Frankfurt Book Fair. Kinerja yang luar biasa! Sekaligus strategi pasar yang cerdik. Semacam dagang ikan di depan rumah yang keluarganya hobi banget makan ikan. Laris! :D
Kemudian Galamedia memberikan juga ruang satu halaman penuh untuk fiksi mini. Saya kurang menyimak apakah diterbitkan setiap minggu atau sebulan sekali. Saya berharap Galamedia terus memberikan ruang untuk sastra Sunda, tidak berhenti di tengah jalan sebagaimana banyak media Sunda lain yang kemudian tumbang berjatuhan di tengah perjalanan.
Satu lagi, Majalah Mangle, secara pribadi saya berharap majalah ini tidak akan pernah mati sampai nanti, sampai kiamat melanda. Mangle sudah merupakan ruh dari sastra Sunda, tak terbayangkan bila di kemudian hari majalah ini tinggal kenangan. Eksistensi majalah Mangle tidak harus dijaga oleh pihak Mangle saja melainkan oleh semua kalangan masyarakat di Jawa Barat dan pemerintah (kudu disubsidi yeuh Mangle teh, watir, geus kolot jaba batuk wae :D) Kalau sudah disubsidi, tambahin lagi susidinya! Hihihi.
Dan kini kita mulai dengna media yang dulu sempat merajai Jawa Barat, media yang menyebut-nyebut ikon Jawa Barat dan paling tahu tentang Jawa Barat. Sudah tentu, media itu adalah koran Pikiran Rakyat Bandung.
Secara pribadi, saya tidak melihat perhatian yang besar dari Pikiran Rakyat kepada sastra Sunda. Kolom sastranya tidak ada yang dikhususkan untuk mewadahi sastra Sunda. Selama ini hanya sebatas nebeng di rubrik Pertemuan Kecil, itu pun jarang carpon atau sajak Sunda yang ditebengkan ke sana, bisa dihitung oleh jari. Tragis! Media yang katanya paling tahu tentang Jawa Barat tapi tidak mau tahu dengan ruh budaya Jawa Barat. Tragis pangkat dua.
Alangkah lebih pantas rasanya bila ikon Jawa Barat yang juga hardolin di Jawa Barat, mulai menyediakan halaman khusus, cukup setengah halaman yang memuat sastra Sunda saja. Baik itu carpon, puisi, atau pun fiksi mini. Jangan mengaku ikon Jawa Barat deh kalau belum mampu menyediakan ruang bagi sastra Sunda.
Intinya, bagi media-media di Jawa Barat, kecintaan terhadap lemah cai butuh diperlihatkan dalam wadah-wadah yang cukup dan konsisten. Jangan sekadar ada. Ya sudah se-kitu saja heula, bade ninyuh kopi heula. Eh, apa kabar Mang Ohle?
Belum ada tanggapan untuk "Koran Pikiran Rakyat, Sastra Sunda, dan Kecintaan terhadap Lemah Cai"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar