IBX582A8B4EDEABB Langit Pulau Jawa (Cerpen yang Ditulis di Langit Pulau Jawa, Inilah Koran - Minggu 8 Februari 2015) | Info Absurditas Kata Langit Pulau Jawa (Cerpen yang Ditulis di Langit Pulau Jawa, Inilah Koran - Minggu 8 Februari 2015) - Info Absurditas Kata
Beranda · E-Mail Koran · Info Lomba · Kiat Menulis · Adsense · SEO Youtube · Jasa · Toko · Blog

Langit Pulau Jawa (Cerpen yang Ditulis di Langit Pulau Jawa, Inilah Koran - Minggu 8 Februari 2015)

Menemukanmu adalah harapan. Kamu yang hilang, kamu yang tak dijelaskan. Kamu yang dirahasiakan. Kamu yang belasan tahun disembunyikan.
**
           
            Kiara, cintaku yang hilang di Salemba.
Ada dua hal yang tidak bisa aku percayai di dunia ini, kecepatan dan ketinggian. Surat ini kutulis ketika aku berada di keduanya, di langit Pulau Jawa, di ketinggian 11.000 meter dari aroma rambutmu yang kekal bersemilir.
Melalui kaca jendela pesawat udara seukuran buku tulis yang berbahagia menampung sajak-sajakmu, aku mencari-cari dirimu. Berharap bisa melihat satu titik di bawah sana adalah kamu. Harapan yang absurd, harapan absurd yang sudah belasan tahun terus tumbuh. Tak padam, tak pudar, tak juga menemukan jalan yang benar.
Hanya kenangan, hanya gunungan awan, hanya perasaan rawan, hanya itu yang selalu kulihat di ketinggian. Ketiganya seakan melarikan dirimu ke tempat paling rahasia di negara ini. Melarikanmu ke tempat nun entah di mana.
Ada banyak petak dan titik di bawah sana, itu pun hanya sekejap kulihat ketika awan terurai. Aku tahu, setiap titik hitam itu tak satu pun yang mewakili dirimu, bukan pula tanda yang mengabarkan perihal dirimu. Kamu tidak akan pernah menjadi titik, penanda akhir dari sebuah cerita. Tidak akan pernah.
Sebagaimana awan yang terurai, dirimu akan selalu ada, dilahirkan kembali, menemu bentuk lagi, menjadi kenangan-kenangan yang selalu baharu. Meskipun hilang, bagaimana pun awan akan selalu ada di langit ini, bahkan setelah jutaan kali disayat-sayat angin, hujan, dan petir. Awan akan kembali tampak, kembali lagi.

Kiara tersayang yang tegar menghadapi barikade tiran.

Negara ini mungkin seperti apa yang ditatapi dari ketinggian, selalu berkabut-kabut, melulu berselimut pertanyaan, kekal bertabur kenyataan yang  rawan. Sebagaimana riwayatmu, sampai hari ini masih belum terusut. Belasan tahun tak menemu riwayat yang runtut, belasan tahun selalu kemarut. Carut.
Mungkin karena itulah ada banyak orang sepertimu yang sampai hari ini menjadi pertanyaan. Mungkin karena itu juga, beberapa orang di barisan kekuasaan, begitu mudah menghapusi kehidupan, merenggut napas dari bilik dada seseorang, mencerabut pikiran sampai ke sel akal paling akar, membuang kehadiran menjadi ketiadaan. Menebas kesaksian sampai serabutnya yang paling samar.
Kiara… Sesulit inikah mencari dirimu? Sesulit inikah menghadirkan kenangan? Sesulit inikah menemukan seseorang yang hilang? Sesulit inikah mataku menembus gunungan awan agar bisa lebih terang melihat peristiwa-peristiwa yang datang bergantian? Semustahil inikah memilah satu saja peristiwa yang menjadi tanda, peristiwa yang di dalamnya kamu ditiadakan. Sedemikian sulitkah?
Kadang, pada titik putus asa tertentu, aku berharap ada jalan pintas. Jalan yang memotong kenyataan, jalan yang memenggal banalnya neraka birokrasi dan kekuasaan. Jalan yang ujug-ujug memberi kita sebentuk pertemuan, setidaknya sekadar jawaban. Tapi bagaimana pun tidak ada jalan pintas untuk mengembalikan kenangan, sebagaimana tak ada jalan pintas untuk menemukan dirimu yang hilang.
Menemukan sesiapa yang hilang, di negara ini menjadi perkara yang tak pernah selesai. Mengusut jejak hitam di negara ini, seakan menelisik ribuan titik buram dari ketinggian. Tak pernah terang, tak pernah. Selamanya kelam. Sebagaimana malam, bahkan lebih kelam dari segala malam yang paling kelam.
           

Kiara, cintaku yang tenang diterkam macan belang.

Aku masih mencarimu melalui kaca jendela, masih berharap di bawah sana, kubayangkan kamu melambai-lambaikan tangan, ingin ditemukan, ingin diajak terbang, ingin diantarkan pulang. Ingin kembali menulis sajak, menulis sekadar kata lawan!.
Semakin kutelisik gunungan awan, semakin aku kehilangan, semakin habis ditikam-tikam perasaan rawan. Semakin aku tersadar, harapan adalah kesunyian yang terus menelaga di ruang ingatan. Harapan adalah sajak yang baris-barisnya menggenapkan ketiadaan.
***

            Kiara, cintaku yang kekal menjadi pertanyaan.

            Negara yang di dalamnya kamu ditiadakan, hilang tanpa kejelasan, kini seakan menjadi ladang-ladang di awal musim hujan. Ada banyak benih ditanam, harapan ikut pula ditanamkan. Harapan agar kamu dan sesiapa yang hilang, diusut sampai terang.
Entahlah, aku tak tahu, apa yang besok hari akan dituai. Mungkin kehadiran, mungkin sekadar hampanya harapan. Sebagaimana belasan tahun ini, sebagaimana negara ini selalu buntu dan bisu. Sebagaimana setiap harapan, pada akhirnya layu, kering, dan mati terbuang.
            Masih di ketinggian 11.000 meter dari aroma rambutmu yang kekal bersemilir, segalanya meletup-letup di dalam ingatan. Akalku menjadi didihan air, dipadati gelembung-gelembung ingatan yang pecah bergantian. Kian lama letup ingatan kian ritmis, berubah menjadi suara-suara tembakan, menjadi desing pelor-pelor ketika belasan tahun silam Jakarta terbakar, ketika kamu turun ke jalan membebaskan perubahan dari cengkeraman tangan-tangan tiran.
            Setiap desing pelor yang kudengar, setiap rentet tembakan yang berhujan, seakan melabuhkan jangkar di jantungku yang paling akar, menolak pudar, menolak hilang. Membuatku terhentak di sunyinya malam, membuatku terhenyak di teriknya siang, membuatku tertikam di setiap kali kusadari kamu telah hilang. Terbang menunggangi peluru yang berkelesat membelah rembulan.
            Sampai hari ini, Kiara…
            Aku selalu mencarimu, sebagaimana aku mencarimu saat ini melalui kaca jendela di langit Pulau Jawa. Pencarian sia-sia, sebagaimana setiap tulisan yang pernah menjadi bedil di berbagai meja dan media, hanya berakhir di mesin daur ulang. Menjadi potongan-potongan kertas, terbuang, diacuhkan, diabaikan.
            Suara-suaramu yang dulu menggelegar di setiap perempatan, di depan barikade tiran, di gerbang istana kekuasaan, kini telah tumbuh. Menjadi pohon-pohon demokrasi yang meraksasa. Tumbuh di pekarangan-pekarangan rumah setiap orang, tumbuh di tepi jalan, tumbuh di dalam pikiran bermiliar-miliar orang.
Demokrasi tumbuh menjadi pohon maha raksasa yang jika kutatapi berlama-lama, aku melihat hantu-hantu bergelantungan, melihat sekian banyak jiwa yang tak tenang ingin ditenteramkan.

            Kiara, cintaku yang hilang dilenyapkan di tengah jalan.

Negara yang di dalamnya jejakmu disembunyikan adalah benar telah menjadi hutan demokrasi. Hanya saja, sosok tiran yang dulu kamu teriaki, tak pernah benar-benar mati, tak pernah benar-benar tumbang sampai puluhan tahun akan datang.
            Tiran hari ini menjadi secerdas amoeba, membelah diri menjadi ganda, membelah diri menjadi lembaga, membelah diri menjadi kuasa, membelah diri menjadi media, membelah diri menjadi apa saja. Membelah diri untuk selamanya menutupi riwayatmu yang direnggut, membelah diri untuk mengubur pertanyaan-pertanyaan ketika sekian banyak orang tak lelah menyebut dan mengenangmu.
            Bila saja kamu masih di sini, di negara ini, di dunia ini, kubayangkan kamu akan menulis lebih banyak sajak dan kata-kata di luar sana. Sekadar pelor untuk mengisi corong-corong suara, ketika turun ke jalan, ketika kamu terbakar harapan, ketika kamu dengan sadar menerima kemungkinan untuk menjadi hilang.

            Ah, Kiara… Sayangku yang jidatnya pecah digebok gagang bedil.

Kamu memang rela menebus benih-benih demokrasi dengan apa saja yang kamu miliki. Kamu menukar pena dan kertas dengan sakitnya hantaman popor bedil dan tendangan sepatu boot. Kamu rela menukar sebait sajak dengan cabikan pelor panas. Kamu rela menukar suara-suara di urat leher sendiri dengan menjadi tiada, kehilangan nyawa.
***
Telah kucari kamu di banyak tempat, di segala tempat yang mungkin dan yang tidak mungkin. Aku mencarimu di kota-kota di bawah sana, di kota-kota yang di ketinggian ini menjadi sekadar titik-titik hitam. Tangan-tanganku akhirnya remuk setelah ribuan kali mengetuk. Bila pun tanganku tak remuk, palu-palu tiran itu akan membuatnya remuk.
            Pesawat yang membawaku sampai di ketinggian 11.000 meter dari semilir rambutmu yang kekal, tak lama lagi akan melandai. Membawaku di petak tanah lain di negara ini, petak yang sama saja, tidak akan pernah kutemukan dirimu di sana.
            Sebelum langit ini habis dan kembali menjadi rahasia di ketinggian. Aku masih berharap, tiba-tiba saja kamu menghadirkan diri dalam segunung awan, atau aku melihat di bawah sana sekadar tanda dari cahaya yang mengabarkan bahwa dirimu ada di sana. Ah…
            “Pak, kapan kita landing?” tanya lelaki bertubuh gempal yang duduk di sebelah kiriku, di bangku tengah.
            “Sepertinya sebentar lagi.” Jawabku, tanpa menoleh jam di tangan.
            “Kita sudah terbang delapan jam, Pak.” Lelaki itu menunjuk jam di tangannya sendiri.
            “Waladalah, masa sih?” Aku pun melirik jam tangan.
            Benar rupanya, aku dan semua orang di dalam pesawat ini, telah berada di langit Pulau Jawa selama delapan jam.

Kiara, cintaku yang suaranya selalu dihantam pentungan.

Seharusnya pesawat ini hanya terbang kurang dari dua jam, hanya selama itu. Seharusnya begitu. Tapi sudah lebih dari 8 jam, pesawat ini masih di langit saja.
Suara-suara percakapan semakin berisik seperti lebah yang diganggu sarangnya. Setiap orang diterkam kecemasan, cemas karena kelebihan jam terbang. Cemas di ketinggian, cemas diketam-ketam pertanyaan.
Kecemasan yang tidak berarti apa-apa bila kubandingkan dengan dirimu yang belasan tahun tak pernah menemukan daratan tempat untuk pulang. Tidak pula menemukan bilik langit untuk bersemayam.

Cerpen Absurditas Malka


            “Coba aku cari pramugari.” Ucap lelaki itu.
Aku pun celingukan mencari pramugari yang tak satu pun terlihat berkeliaran. Lelaki itu  membuka sabuk pengaman, kemudian berjalan ke belakang. Aku diam saja, menikmati kepanikan. Sesekali kutatapi jam di tangan. Seringkali aku melengok, menatapi lautan awan.
Satu demi satu, para penumpang meninggalkan tempat duduk mereka, ada yang berjalan ke belakang, ada yang berjalan ke depan. Aku tak begitu peduli, aku tak ada waktu untuk memperhatikan, aku hanya ingin kembali lebih dekat ke kaca jendela, mencarimu lagi.

Kiara, cintaku yang sajaknya ditukar tikaman pelor.

Semua orang di dalam pesawat terbang telah hilang. Tak satu pun yang kembali, bermenit-menit, berjam-jam, mereka tidak kembali. Aku mendongak, menelisik ke deretan bangku pesawat di depan dan belakang. Tak ada siapa-siapa di dalam pesawat. Hanya ada aku sendirian, terbang di kesunyian langit Pulau Jawa.
Rupanya, jam di tanganku sudah berminggu-minggu berputar, berbulan-bulan, kemudian tak berfungsi lagi  setelah belasan tahun lelah berputar-putar.
Langit Pulau Jawa, kutatapi dari kaca jendela. Tak hentinya, aku menerka, bilakah kamu akan ditemukan. Bilakah?


Langit Pulau Jawa, 30 September 2014

Artikel keren lainnya:

Belum ada tanggapan untuk "Langit Pulau Jawa (Cerpen yang Ditulis di Langit Pulau Jawa, Inilah Koran - Minggu 8 Februari 2015)"

Post a Comment

Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar