Menemukanmu adalah harapan. Kamu
yang hilang, kamu yang tak dijelaskan. Kamu yang dirahasiakan. Kamu yang
belasan tahun disembunyikan.
**
Kiara, cintaku yang
hilang di Salemba.
Ada dua hal yang tidak bisa aku percayai di dunia ini,
kecepatan dan ketinggian. Surat ini kutulis ketika aku berada di keduanya, di
langit Pulau Jawa, di ketinggian 11.000 meter dari aroma rambutmu yang kekal
bersemilir.
Melalui kaca jendela pesawat udara seukuran buku tulis
yang berbahagia menampung sajak-sajakmu, aku mencari-cari dirimu. Berharap bisa
melihat satu titik di bawah sana adalah kamu. Harapan yang absurd, harapan
absurd yang sudah belasan tahun terus tumbuh. Tak padam, tak pudar, tak juga
menemukan jalan yang benar.
Hanya kenangan, hanya gunungan awan, hanya perasaan
rawan, hanya itu yang selalu kulihat di ketinggian. Ketiganya seakan melarikan
dirimu ke tempat paling rahasia di negara ini. Melarikanmu ke tempat nun entah
di mana.
Ada banyak petak dan titik di bawah sana, itu pun
hanya sekejap kulihat ketika awan terurai. Aku tahu, setiap titik hitam itu tak
satu pun yang mewakili dirimu, bukan pula tanda yang mengabarkan perihal dirimu.
Kamu tidak akan pernah menjadi titik, penanda akhir dari sebuah cerita. Tidak
akan pernah.
Sebagaimana awan yang terurai, dirimu akan selalu ada,
dilahirkan kembali, menemu bentuk lagi, menjadi kenangan-kenangan yang selalu
baharu. Meskipun hilang, bagaimana pun awan akan selalu ada di langit ini,
bahkan setelah jutaan kali disayat-sayat angin, hujan, dan petir. Awan akan kembali
tampak, kembali lagi.
Kiara tersayang yang tegar menghadapi barikade tiran.
Negara ini mungkin seperti apa yang ditatapi dari
ketinggian, selalu berkabut-kabut, melulu berselimut pertanyaan, kekal bertabur
kenyataan yang rawan. Sebagaimana
riwayatmu, sampai hari ini masih belum terusut. Belasan tahun tak menemu
riwayat yang runtut, belasan tahun selalu kemarut. Carut.
Mungkin karena itulah ada banyak orang sepertimu yang
sampai hari ini menjadi pertanyaan. Mungkin karena itu juga, beberapa orang di
barisan kekuasaan, begitu mudah menghapusi kehidupan, merenggut napas dari
bilik dada seseorang, mencerabut pikiran sampai ke sel akal paling akar,
membuang kehadiran menjadi ketiadaan. Menebas kesaksian sampai serabutnya yang
paling samar.
Kiara… Sesulit inikah mencari dirimu? Sesulit inikah menghadirkan
kenangan? Sesulit inikah menemukan seseorang yang hilang? Sesulit inikah mataku
menembus gunungan awan agar bisa lebih terang melihat peristiwa-peristiwa yang
datang bergantian? Semustahil inikah memilah satu saja peristiwa yang menjadi
tanda, peristiwa yang di dalamnya kamu ditiadakan. Sedemikian sulitkah?
Kadang, pada titik putus asa tertentu, aku berharap
ada jalan pintas. Jalan yang memotong kenyataan, jalan yang memenggal banalnya neraka
birokrasi dan kekuasaan. Jalan yang ujug-ujug
memberi kita sebentuk pertemuan, setidaknya sekadar jawaban. Tapi bagaimana
pun tidak ada jalan pintas untuk mengembalikan kenangan, sebagaimana tak ada
jalan pintas untuk menemukan dirimu yang hilang.
Menemukan sesiapa yang hilang, di negara ini menjadi
perkara yang tak pernah selesai. Mengusut jejak hitam di negara ini, seakan
menelisik ribuan titik buram dari ketinggian. Tak pernah terang, tak pernah.
Selamanya kelam. Sebagaimana malam, bahkan lebih kelam dari segala malam yang
paling kelam.
Kiara, cintaku yang tenang diterkam macan belang.
Aku masih mencarimu melalui kaca jendela, masih
berharap di bawah sana, kubayangkan kamu melambai-lambaikan tangan, ingin
ditemukan, ingin diajak terbang, ingin diantarkan pulang. Ingin kembali menulis
sajak, menulis sekadar kata lawan!.
Semakin kutelisik gunungan awan, semakin aku
kehilangan, semakin habis ditikam-tikam perasaan rawan. Semakin aku tersadar,
harapan adalah kesunyian yang terus menelaga di ruang ingatan. Harapan adalah
sajak yang baris-barisnya menggenapkan ketiadaan.
***
Kiara, cintaku yang kekal menjadi pertanyaan.
Negara yang di dalamnya
kamu ditiadakan, hilang tanpa kejelasan, kini seakan menjadi ladang-ladang di
awal musim hujan. Ada banyak benih ditanam, harapan ikut pula ditanamkan.
Harapan agar kamu dan sesiapa yang hilang, diusut sampai terang.
Entahlah, aku tak tahu, apa yang besok hari akan
dituai. Mungkin kehadiran, mungkin sekadar hampanya harapan. Sebagaimana
belasan tahun ini, sebagaimana negara ini selalu buntu dan bisu. Sebagaimana
setiap harapan, pada akhirnya layu, kering, dan mati terbuang.
Masih di ketinggian
11.000 meter dari aroma rambutmu yang kekal bersemilir, segalanya meletup-letup
di dalam ingatan. Akalku menjadi didihan air, dipadati gelembung-gelembung ingatan
yang pecah bergantian. Kian lama letup ingatan kian ritmis, berubah menjadi
suara-suara tembakan, menjadi desing pelor-pelor ketika belasan tahun silam
Jakarta terbakar, ketika kamu turun ke jalan membebaskan perubahan dari
cengkeraman tangan-tangan tiran.
Setiap desing pelor
yang kudengar, setiap rentet tembakan yang berhujan, seakan melabuhkan jangkar
di jantungku yang paling akar, menolak pudar, menolak hilang. Membuatku terhentak di
sunyinya malam, membuatku terhenyak di teriknya siang, membuatku tertikam di
setiap kali kusadari kamu telah hilang. Terbang menunggangi peluru yang
berkelesat membelah rembulan.
Sampai hari ini, Kiara…
Aku selalu mencarimu,
sebagaimana aku mencarimu saat ini melalui kaca jendela di langit Pulau Jawa.
Pencarian sia-sia, sebagaimana setiap tulisan yang pernah menjadi bedil di
berbagai meja dan media, hanya berakhir di mesin daur ulang. Menjadi
potongan-potongan kertas, terbuang, diacuhkan, diabaikan.
Suara-suaramu yang dulu
menggelegar di setiap perempatan, di depan barikade tiran, di gerbang istana
kekuasaan, kini telah tumbuh. Menjadi pohon-pohon demokrasi yang meraksasa.
Tumbuh di pekarangan-pekarangan rumah setiap orang, tumbuh di tepi jalan,
tumbuh di dalam pikiran bermiliar-miliar orang.
Demokrasi tumbuh menjadi pohon maha raksasa yang jika
kutatapi berlama-lama, aku melihat hantu-hantu bergelantungan, melihat sekian
banyak jiwa yang tak tenang ingin ditenteramkan.
Kiara, cintaku yang hilang dilenyapkan di tengah jalan.
Negara yang di dalamnya jejakmu disembunyikan adalah
benar telah menjadi hutan demokrasi. Hanya saja, sosok tiran yang dulu kamu
teriaki, tak pernah benar-benar mati, tak pernah benar-benar tumbang sampai
puluhan tahun akan datang.
Tiran hari ini menjadi
secerdas amoeba, membelah diri menjadi ganda, membelah diri menjadi lembaga,
membelah diri menjadi kuasa, membelah diri menjadi media, membelah diri menjadi
apa saja. Membelah diri untuk selamanya menutupi riwayatmu yang direnggut,
membelah diri untuk mengubur pertanyaan-pertanyaan ketika sekian banyak orang
tak lelah menyebut dan mengenangmu.
Bila saja kamu masih di
sini, di negara ini, di dunia ini, kubayangkan kamu akan menulis lebih banyak
sajak dan kata-kata di luar sana. Sekadar pelor untuk mengisi corong-corong
suara, ketika turun ke jalan, ketika kamu terbakar harapan, ketika kamu dengan
sadar menerima kemungkinan untuk menjadi hilang.
Ah, Kiara… Sayangku yang jidatnya pecah digebok gagang bedil.
Kamu memang rela menebus benih-benih demokrasi dengan
apa saja yang kamu miliki. Kamu menukar pena dan kertas dengan sakitnya
hantaman popor bedil dan tendangan sepatu boot. Kamu rela menukar sebait sajak
dengan cabikan pelor panas. Kamu rela menukar suara-suara di urat leher sendiri
dengan menjadi tiada, kehilangan nyawa.
***
Telah kucari kamu di banyak tempat, di segala tempat
yang mungkin dan yang tidak mungkin. Aku mencarimu di kota-kota di bawah sana,
di kota-kota yang di ketinggian ini menjadi sekadar titik-titik hitam.
Tangan-tanganku akhirnya remuk setelah ribuan kali mengetuk. Bila pun tanganku
tak remuk, palu-palu tiran itu akan membuatnya remuk.
Pesawat yang membawaku
sampai di ketinggian 11.000 meter dari semilir rambutmu yang kekal, tak lama
lagi akan melandai. Membawaku di petak tanah lain di negara ini, petak yang
sama saja, tidak akan pernah kutemukan dirimu di sana.
Sebelum langit ini
habis dan kembali menjadi rahasia di ketinggian. Aku masih berharap, tiba-tiba
saja kamu menghadirkan diri dalam segunung awan, atau aku melihat di bawah sana
sekadar tanda dari cahaya yang mengabarkan bahwa dirimu ada di sana. Ah…
“Pak, kapan kita landing?” tanya lelaki bertubuh gempal
yang duduk di sebelah kiriku, di bangku tengah.
“Sepertinya sebentar
lagi.” Jawabku, tanpa menoleh jam di tangan.
“Kita sudah terbang
delapan jam, Pak.” Lelaki itu menunjuk jam di tangannya sendiri.
“Waladalah, masa sih?” Aku pun melirik jam tangan.
Benar rupanya, aku dan
semua orang di dalam pesawat ini, telah berada di langit Pulau Jawa selama
delapan jam.
Kiara, cintaku yang suaranya selalu dihantam pentungan.
Seharusnya pesawat ini hanya terbang kurang dari dua jam,
hanya selama itu. Seharusnya begitu. Tapi sudah lebih dari 8 jam, pesawat ini
masih di langit saja.
Suara-suara percakapan semakin berisik seperti lebah
yang diganggu sarangnya. Setiap orang diterkam kecemasan, cemas karena
kelebihan jam terbang. Cemas di ketinggian, cemas diketam-ketam pertanyaan.
Kecemasan yang tidak berarti apa-apa bila kubandingkan
dengan dirimu yang belasan tahun tak pernah menemukan daratan tempat untuk pulang.
Tidak pula menemukan bilik langit untuk bersemayam.
“Coba aku cari
pramugari.” Ucap lelaki itu.
Aku pun celingukan mencari pramugari yang tak satu pun
terlihat berkeliaran. Lelaki itu membuka
sabuk pengaman, kemudian berjalan ke belakang. Aku diam saja, menikmati
kepanikan. Sesekali kutatapi jam di tangan. Seringkali aku melengok, menatapi
lautan awan.
Satu demi satu, para penumpang meninggalkan tempat
duduk mereka, ada yang berjalan ke belakang, ada yang berjalan ke depan. Aku
tak begitu peduli, aku tak ada waktu untuk memperhatikan, aku hanya ingin
kembali lebih dekat ke kaca jendela, mencarimu lagi.
Kiara, cintaku yang sajaknya ditukar tikaman pelor.
Semua orang di dalam pesawat terbang telah hilang. Tak
satu pun yang kembali, bermenit-menit, berjam-jam, mereka tidak kembali. Aku
mendongak, menelisik ke deretan bangku pesawat di depan dan belakang. Tak ada
siapa-siapa di dalam pesawat. Hanya ada aku sendirian, terbang di kesunyian
langit Pulau Jawa.
Rupanya, jam di tanganku sudah berminggu-minggu
berputar, berbulan-bulan, kemudian tak berfungsi lagi setelah belasan tahun lelah berputar-putar.
Langit Pulau Jawa, kutatapi dari kaca jendela. Tak
hentinya, aku menerka, bilakah kamu akan ditemukan. Bilakah?
Langit Pulau Jawa, 30
September 2014
Belum ada tanggapan untuk "Langit Pulau Jawa (Cerpen yang Ditulis di Langit Pulau Jawa, Inilah Koran - Minggu 8 Februari 2015)"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar