Eh, sebelumnya masih ingat kan perihal cerpen Kompas kemarin yang bikin heboh karena petuah-petuahnya cukup membuat gelisah. Dampak buruk dari petuahnya yaitu tadi, terbelahnya frame di kepala para pembaca, frame yang men-judge karya a sebagai "pemula" atau "maestro". Abaikan saja kisruh itu, toh tidak ada pengarang cerpen yang sudah jago nulis cerpen sejak hari pertama dilahirkan emaknya. Tidak pernah ada!
Simak aja kisah Badra di bawah ini, bagaimana perjalanannya menembus media. Mungkin bisa menginspirasi penulis cerpen lain yang masih berjuang untuk bisa tampil di media (koran atau majalah). Selamat membaca.
Sejak kapan Badra nulis dan ngirim cerpen ke media?
Sejak pertama kali menulis cerpen (2011), sebenarnya Badra jarang sekali mengirimkan karya ke media. Hanya beberapa kali saja. Tidak massif seperti teman-teman yang lain. Nasib cerpen-cerpen itu tentu sangat tragis. Ditolak semua dan mendapatkan balasan e-mail yang tidak menyenangkan dari redaktur.
Tuh Sob, butuh waktu lama untuk bisa nembus media, Badra sendiri menghabiskan waktu 4 tahunan untuk bisa tampil di koran :D kamu sudah berapa lama?
Bagaimana rasanya ketika karya ditolak redaksi mulu?
Sedih? Pasti ada rasa sedih mah. Namun, ketika cerpen saya ditolak, saya tidak lantas berhenti menulis. Saya hanya terus saja menulis. Tetapi tidak langsung mengirimkannya lagi ke media. Biasanya cerpen-cerpen yang sudah saya anggap jadi, saya kirimkan ke teman-teman penulis yang sudah mahir. Untuk dikoreksi dan dimintai masukan. Setelah itu dimasukkan ke dapur pengeditan saya. (Hihi gaya kan, punya dapur pengeditan segala)
Harus digaris-bawahi tuh, walau sering ditolak tidak lantas semangat. Nulis lagi lebih banyak, termasuk minta masukan dari teman penulis lain agar mereka bisa menunjukkan di mana letak kekurangan cerpenmu. Simpel kan?
Mekar sebelum waktunya layu sebelum senjanya
Nah, ketika tahun 2014, saya bertemu seorang teman yang sama-sama memiliki hobi menulis. Kami membuat sebuah gerakan yang kami namai underground. Sebuah gerakan yang kerjanya mengirimkan naskah ke media dan lomba menulis cerpen lokal maupun nasional. Nasib cerpen-cerpen saya masih tetap sama. Tragis dan menyedihkan. Ternyata saya dan cerpen saya belum mampu bekerja maksimal. Selain itu, kami juga sering saling bertukar karya. Saling mengoreksi dan diskusi.
Saya teringat perkataan seorang penyair muda bernama Muhammad Aswar “bunga kalau cepat mekar sebelum waktunya, bisa jadi warnanya tidak cerah, dinikmati saja, tidak usah terburu-buru.” Saya pegang erat-erat kalimat tersebut. Sembari terus meyakini cerpen saya akan mekar suatu saat nanti. Entah sebulan lagi. Setahun lagi. Sepuluh tahun lagi. Atau kapan pun itu. Saya akan setia menunggu. Hal ini masih berlaku sampai detik ini.
Pesan Muhammad Aswar ini sangat inspiratif, tidak hanya bagi Badra seorang tapi juga buat kita semua. Camkan pesan di atas, kasih higliht.
Senyum kecil untuk penanda perjalanan
Di awal tahun 2015 ini, tepatnya pada bulan kedua, setidaknya saya diperkenankan tersenyum sedikit atas kerja keras saya. Ingat yah hanya tersenyum sedikit saja. Tidak lebih. Karena ini adalah awal. Sementara perjalanan masih panjang. Masih ada 10 bulan lagi di tahun ini. 10 bulan yang penuh misteri. Apakah cerpen saya akan tersiar lagi di media atau tidak, saya belum tahu. Terus meningkatkan kerja keras, itu yang sedang saya lakukan.
Pada bulan Maret ini, menyusul kabar gembira yang lain. Lolos seleksi kampus fiksi Diva Press. Jangan salah. Ini bukan kali pertama saya mengikuti seleksi. Kalau saya tidak silap, dua tahun lalu sudah pernah saya coba, tetapi tidak berhasil. Termasuk seleksi kampus non fiksi Diva Press tahun lalu. Sama-sama tidak lolos. Tetapi dunia tidak kiamat gegara karya saya tidak lolos. Yah, lanjut nulis lagi. Baca lagi. Setor ke teman lagi. Ngirim ke media lagi.
Akhirnya, perjalanan Badra ini sampai juga ke media, cerpen pertamnya di muat di Minggu Pagi Yogyakarta. Yes! Tapi jangan lantas merasa puas, perjalanan masih panjang.
Suatu saat ingin mekar di media nasional
Itulah kiranya sedikit pengalaman saya dalam menulis cerpen yang akhirnya bisa menembus media lokal Yogyakarta. (hihihi masih media lokal bro). Tak apa. Semoga suatu saat ada bunga yang hendak mekar di media nasional. Bunga yang indah tentunya. Terakhir, saya ucapkan terima kasih kepada admin blog ini yang telah memperkenankan saya untuk berbagi pengalaman di sini. Juga yang telah berkenan membaca beberapa cerpen saya. Kang Malka adalah ‘korban’ bunga yang belum mekar. Hihihi. Terima kasih juga atas semangatnya agar saya semakin getol mengirimkan bunga ke media.
Sekian Sob sharing proses kreatif dari Badra ini, semoga menginspirasi kita semua. Buat pengarang lain yang ingin bernasib bagus seperti Badra, terus nulis dan minta masukan sebanyak-banyaknya dari teman penulis lain. Perihal penulis kita ini, bisa dilihat profil lengkapnya di
Profil Layla Badra Sundari.
Info Absurditas Kata Lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Tips Menulis Cerpen: Pengalaman Pertama Menembus Media (Badra Sundari)"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar