IBX582A8B4EDEABB 17.000 Pulau Komunis (Cerpen Absurditas Malka - Tribun Jabar, 9 Agustus 2015) | Info Absurditas Kata 17.000 Pulau Komunis (Cerpen Absurditas Malka - Tribun Jabar, 9 Agustus 2015) - Info Absurditas Kata
Beranda · E-Mail Koran · Info Lomba · Kiat Menulis · Adsense · SEO Youtube · Jasa · Toko · Blog

17.000 Pulau Komunis (Cerpen Absurditas Malka - Tribun Jabar, 9 Agustus 2015)

Akhirnya, ada cerpen yang diterima koran lagi. Lumayan honornya buat nambah-nambah bayar listrik. Udah 7 bulan listrik dibayarin sama Abang tercinta terus. Hahaha. Mari kita baca 17.000 Pulau Komunis rame-rame. (Ketidak-samaan nama, tempat, dan waktu dalam cerpen ini, adalah kesengajaan.)

17.000 Pulau Komunis


            Gan Muhidin, ia mungkin reinkarnasi Narcissus. Bisa seharian ia mematut-matut diri di depan cermin, menelisik wajah sendiri, bertatapan dengan bayangan sendiri, mengobrol dengan dirinya sendiri. Seoalah keindahan 17.000 Pulau Komunis tiada berarti disandingkan dengan wajahnya yang sejujurnya tak tampan-tampan amat.
            “Apakah tidak ada yang lebih tampan dari aku?” Demikian guman Gan Muhidin, gumam yang sudah ribuan kali digumamkannya.
Jenggot di pipinya bak semut berebut gula, acak-acakan, warnanya kian hari kian banyak yang memutih, “kenapa kamu nakal sendiri, jenggot! Malas aku melihatnya!” Gerutunya, satu lembar bulu jenggot tumbuh 3 kali lebih panjang dari jenggot lainnya.
            Tekun, Gan Muhidin menikmati pemandangan terindah di dalam cermin, wajahnya sendiri. Jenggotnya yang semrawut, rambutnya yang acak bergelimpang, lipatan-lipatan kulit mukanya yang memaritkan usia, sorot matanya yang tak sebinar beberapa puluh tahun silam.
            Semua orang di Pulau Komunis sudah tak aneh lagi dengan kelakuan Gan Muhidin, mau apa dikata? Nasi sudah menjadi bubur, tak bisa disembuhkan. Siapa yang bisa menghalangi Narcissus dari cintanya kepada bayangan sendiri? Tak ada kecuali kematian.
***
            Bintang laut berwarna biru terdampar di pasir putih, angin yang diberati aroma garam lumer menyerbu gubuk di tepi pantai. Gubuk Paman Doblang dan keponakannya, Sadun.
Biduk kecil terseok-seok mencari jalan pulang, di atasnya Sadun sibuk membenahi udang tangkapannya dengan tangan kanan, tangan kirinya sibuk menguras air di dalam biduk. Bocor-bocor kecil biduk itu kian hari kian menggila, bila tak dikuras dengan tangkas tentu akan segera tenggelam.
            “Paman, hari ini aku menangkap udang yang sangat banyak.” Teriak Sadun dari kejauhan, pamannya tak acuh, sikapnya dingin-dingin saja, “kenapa Paman tidak berbahagia, tangkapanku hari ini teramat-sangat banyak!”
            “Kenapa harus berbahagia?”
            “Kenapa Paman tidak bisa berbahagia?”
            “Seratus atau seribu udang yang kau tangkap, nelayan tetaplah nelayan.”
            “Apakah itu penting, bukankah jauh lebih penting untuk bisa menjual udang dan menghasilkan banyak uang?” dahi Sadun berkerut.
            “Itu penting!”
            “Kenapa penting, adakah yang lebih penting dari menghasilkan uang?”
            “Tanyakan saja pada Gan Muhidin, aku lelah.” Paman Doblang ngeloyor raut mukanya tampak kusut, direbahkannya sekujur tubuh di bawah pohon kelapa. Jemari kakinya melesak ke dalam pasir.
            “Nanti akan kutanyakan tapi Paman janganlah kau berteduh di sana nanti kepalamu ketiban kelapa seperti kemarin. Hahaha…” Teriak Sadun, dipungkas cekakak yang segar.
            “Aku akan mendapatkan uang banyak.” Gumam Sadun, dihitung dan dipilah-pilahnya udang sesuai ukuran. Bibirnya tak henti tersenyum, riang sangat riang.
            “Paman! Aku akan mendapatkan uang banyak bila semua udang ini terjual di pasar.”
            “Cepatlah kau pergi ke pasar!”
            Sadun mengangguk, dibopongnya udang-udang dalam kantung, dibawanya ke pasar ikan. Sepanjang perjalanan menuju pasar, senyum riang tak hentinya menderas, membasahi keringatnya yang berhujan.
***
Tepat ketika matahari memerah, meleleh di atas batu karang, Sadun sudah pulang.
“Kau jual ke siapa udang-udangmu?”
“Ke siapa lagi, tentu ke Mbok Dori. Aku sedang malas menjualnya ke Mbok Lasmi, jauh.”
“Mana uangnya?” Paman menyodorkan tangan, meminta setoran.
“Paman mau minta uangnya? O, tentu tidak. Seharusnya Paman jangan begitu, pergilah ke laut dan tangkaplah udang yang banyak bila ingin memiliki uang sebanyak ini.” Sadun mengipas-ngipaskan sejumlah uang kertas ke wajahnya.
“Cepatlah, berikan kepadaku. Kita harus memperbaiki biduk, aku tidak mau kau mati di tengah lautan karena biduknya tenggelam.”
Akhirnya, Sadun menyerah, semua uang itu diserahkan dengan wajah pasrah. Tidak sepeser pun yang ditahan, “cepatlah perbaiki biduknya, Paman. Aku ingin mencari udang lagi. Aku ingin mendapat uang lebih banyak lagi.”
“Kau pikir begitu ya? Tidak bisa! Bantulah aku memperbaiki biduk jelek itu. Ayo!”
“Ya Tuhan, degil sekali Pamanku ini.” Sadun menggurutu, terpaksa ia menurut, menguntit pamannya, membantunya memperbaiki biduk.
“Paman, tadi aku mendengar kabar. Akan ada sayembara untuk nelayan.” Ucap Sadun, tangannya erat memegangi papan yang sedang dipaku pamannya.
“Sayembara untuk nelayan?”
“Iya, pemerintah sedang mencari nelayan hebat, nantinya nelayan yang paling hebat akan diberikan hadiah.”
“Namanya juga sayembara, pasti akan dapat hadiah.”
“Pemenangnya akan dibiayai negara untuk berlayar ke Jerman.”
“Jerman, di mana itu?”
“Aku tidak tahu di mana Jerman itu, sepertinya sangat jauh. Katanya, di sana selalu diadakan pertemuan rutin bagi semua nelayan hebat dari berbagai penjuru dunia.”
“Terus?”
“Terus, cepat-cepatlah perbaiki biduk ini. Aku ingin mengikuti sayembara itu. Aku ingin berlayar ke Jerman. Aku ingin bertemu dengan nelayan-nelayan hebat itu.”
“Bruakakaka… Ndasmu!” Paman Doblang terpingkal-pingkal mendengar semangat keponakannya.
“Kenapa Paman menertawakanku?” Sadun kesal.
“Kau pikir kau akan menang? Coba kau lihat biduk itu, coba kau lihat tubuh kuntetmu itu. Kau pikir kau ini nelayan hebat?”
“Ah Paman, janganlah kau berkecil hati. Apapun yang Paman katakan, aku tetap saja akan mengikuti sayembara itu.”
“Terserah!” jawab paman, dingin.
“Paman tidak mendukungku?” rasa kesal Sadun memuncak.
“Untuk apa mendukungmu? Jika semua nelayan di sini ikut sayembara, aku sudah tahu siapa pemenangnya. Bogel, Caruk, Surandil, Dasman, Sukab. Merekalah nelayan terbaik.”
“Ya, ya, ya, aku tahu. Memang merekalah nelayan hebat. Mereka selalu berhasil menangkap ikan banyak, perahu mereka juga bagus bukan biduk mengenaskan seperti yang kita punya.”
“Kau pikir mereka menjadi hebat karena mereka berhasil menangkap ikan banyak? Karena mereka memakai perahu bagus?”
“Mereka memang begitu.”
“Bukan begitu, mereka menjadi hebat karena sejarah.”
“Aku tidak mengerti.” Sadun melongo.
“Tahun Sembilan belas enam puluhan, ketika mereka masih seusiamu, mereka sudah kenyang minum air garam.”
“Aku juga sudah pernah meminum air lautan, apa bedanya?”
“Mereka tidak hanya nelayan, mereka adalah sejarah.”
“Rumit sekali omongan Paman ini, aku semakin tidak mengerti.”
“Singkat cerita, pada tahun Sembilan belas enam puluhan, ketika tujuh belas ribu Pulau Komunis dikepung bajak laut. Merekalah yang dengan gagah berani berlayar di lautan, mengendap di gunungan gelombang, melewati benteng-benteng batu karang. Mengakali bajak laut yang buas menyerang.”
“Bajak laut benar-benar ada? Kukira itu hanya dongeng saja.”
“Sudahlah, terserah kau saja, mau ikut sayembara atau tidak, terserah. Bidukmu kini sudah bagus, bocor-bocornya sudah selesai diperbaiki.”
Rembulan melingkar di awang-awang. Cahanya runtuh menimpa gelombang, “aku ngantuk. Aku ingin tidur.” Gumam Sadun meracau, tubuhnya ambruk di dalam biduk. Tak lama berselang terdengar ia mendengkur.
***
            Beberapa bulan kemudian, tepat pada hari pengumuman pemenang sayembara nelayan hebat yang diselenggarakan oleh pemerintah, “Paman! Paman! Paman!” Sadun terbirit-birit menuju gubuk Paman Doblang. 
            “Kenapa kau bocah, kenapa kau berteriak-teriak?”
“Mereka Paman, mereka tidak memenangkan sayembara.” Napas Sadun tersengal-sengal, matanya mendelik menahan sesak.
“Mereka siapa?”
“Bogel, Caruk, Surandil, Dasman, Sukab, nelayan-nelayan hebat itu tidak ada yang terpilih.”
“Tidak satu pun? Lalu siapa pemenangnya, kamu?”
“Ayolah Paman, bila mereka saja tidak menang, bagaimana aku bisa menang?”
“Lalu siapa pemenangnya?”
“Mbok Dori dan Mbok Lasmi, mereka berdua pemenangnya.”
Ciyus, kata siapa?”
“Demi gelombang lautan dan biduk kita yang mengenaskan, aku tidak berbohong Paman. Tidak.”
“Demi udang-udang besar yang selalu kau bawa pulang. Demi uang-uangmu yang selalu kau serahkan kepada Paman. Inilah kabar terbusuk yang pernah Paman dengar.”
“Aku tidak mengerti Paman, mereka bukan nelayan, mereka hanya tengkulak pasar. Setiap hari mereka ada di pasar, bukan di lautan tidak pula bekerja sebagai nelayan.”
“Kabar apalagi yang kau dengar di pasar?”
“Hanya itu.”
“Hanya itu saja?”
“Ya hanya itu. Apa lagi yang harus kudengar?”
Lumba-lumba kesepian meloncati gelombang, berkecipak di permukaan. Meliuk-liuk menghindari batuan karang. Mata yang penuh pertanyaan menatapi biduk, sorotnya temaram.
            Kabar tentang Mbok Dori dan Mbok Lasmi yang dinobatkan sebagai nelayan terhebat, kian hari kian terdengar menjengkelkan. Betapa tidak mereka bukan nelayan, bukan nelayan terhebat seperti yang ramai diberitakan. Mereka hanya orang-orang pasar yang sesekali saja berjalan-jalan di sisi lautan. Sesekali saja terciprat muncratan gelombang di tepian. Mereka bahkan belum pernah merasakannya bagaimana segunung gelombang datang menghantam, sampai terlempar ngajedak ke runcingnya batu karang, sampai berdarah, sampai lebam. Sampai kematian hanya berjarak satu jengkal.
***
Kenapa kau menjadi muram?”
“Aku tidak mengerti Paman, bagaimana caranya tengkulak pasar itu bisa mengalahkan nelayan-nelayan hebat? Sayembara itu hanya memenangkan dusta.”
“Sudahlah, tidak perlu kau heran. Gan Muhidin telah mengatur segalanya.”
“Gan Muhidin, apa urusannya dengan orang tua genit itu?”
“Ahahaha… Genit? Selain genit kamu harus tahu juga, Gan Muhidin itu orang licik yang ulung. Dia bisa melakukan apa saja untuk apa saja.”
“Ya Tuhan, selain genit rupanya tua bangka itu gemar menipu, mengarang kebohongan, dan menghabis-habiskan anggaran negara. Degil!”
Kabar tinggal kabar, muslihat tinggal muslihat. Besok, orang-orang pasar itu akan berlayar ke negeri Jerman, bertemu dengan ribuan nelayan dari penjuru dunia. Tentu, mereka akan bicara tentang pasar, tentang bagaimana mencari uang, tentang bagaimana menipu di keramaian, bukan tentang jaring dan ikan, bukan tentang derasnya adrenalin ketika hidup dan mati hanya terpisah selapis buih di lidah gelombang.
            “Hoi! Bajak laut di tujuh samudra, bangkitlah kalian!” jerit Sadun.
            “Kenapa kau berteriak begitu?”
“Supaya Gan Muhidin dibajak di tengah lautan.”
“Hussss! Mana mungkin, Gan Muhidin itu bajak laut!”
“Hoh?” Sadun terjengkang, nyemplung ke lautan.
Blubuk!

Karawang, 5 Juli 2015

Cerpen Absurditas Malka


* Absurditas Malka lahir di Karawang pada tahun 1982, menulis fiksi di beberapa media. Bekerja sebagai blogger di Bandung.

KETERANGAN
Judul sangat terinspirasi oleh 17.000 Islands of Imagination, Frankfurt Book Fair 2015. Sekali lagi, kemiripan nama adalah kesengajaan.

Artikel keren lainnya:

2 Tanggapan untuk "17.000 Pulau Komunis (Cerpen Absurditas Malka - Tribun Jabar, 9 Agustus 2015)"

  1. Replies
    1. Terima kasih kunjungannya... Saya juga barusan sudah mampir ke sang biru, blogmu dan sudah meninggalkan jejak di sana :)

      Delete

Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar