Maaf Belum Ada Nama - Iin Ainar Lawide
Parlow merupakan sebuah nama tempat atau kawasan dari sebuah pengamatan verbal David Woodward ketika melihat para warga yang ditemuinya di sepanjang pesisir teluk hingga ke pantai sisi bagian barat Sulawesi. Setelah bebas menjadi tawanan raja Palu, ia akhirnya melanjutkan perjalanannya. Di tahun 1796, ia berjumpa dengan seorang penulis yang juga pegawai veenperkapalan di London bernama William Vaughan dalam perjalanannya menuju Hamburg (Jerman) bersama kapal barunya. Kisah keberanian dan penderitaan David Woodward dituliskan Vaughan dalam bukunya yang berjudul The Narrative of Captain David Woodward pada tahun 1804 yang akhirnya menyebarluas di beberapa kawasan Eropa. Menariknya pada akhir buku ini memuat lampiran daftar kosa kata Melayu yang diberi judul A Brief Vocabulary of the Malay Language. Seluruh kosa kata ini ditulis sendiri oleh Woodward selama ia di tawan di Palu, bahkan dalam lampiran tersebut ia membubuhkan tanda tangan bermaterai dan juga pemetaan ruas wilayah dengan pemberian nama-nama tertentu yang ia cantumkan. Namun, sebenarnya hal ini tidaklah begitu mengherankan ketika seorang Woodward bisa menemukan begitu banyak kosa kata Melayu di wilayah Palu kala itu karena jauh pada abad sebelum kedatangan Woodward di Palu, terlebih dahulu telah datang seorang mubaligh Minangkabau yang kapalnya juga karam di teluk tersebut yang membawanya menyiarkan dan menyebarkan Islam di wilayah ini. Sayangnya, tak begitu banyak orang yang menuliskan tentang nama David Woodward dalam catatan sejarah yang berhubungan atau berkaitan dengan Palu.
Mengapa David Woodwar, Kosa Kata Melayu dan Plang Jalan? Karena ketiganya memiliki keterkaitan yang memiliki ikatan hingga saat ini. Walau Woodward bukan orang yang pertama dalam hal pengumpulan kosa kata-kosa kata baru di wilayah pesisir Palu, namun dia lah orang pertama yang mulai melakukan pemetaan atau pemisahan nama (1 kata) untuk nama satu wilayah. Hal ini ia lakukan agar bisa menghafal nama-nama ruas wilayah yang telah di lewati atau akan nantinya ia lewati. Hal ini ia tuliskan pada catatan pribadinya yang dituliskan kembali oleh Vaughan. Mengapa hal ini menjadi begitu penting karena Woodwar mencantumkan nama-nama raja atau penguasa wilayah setempat, beberapanya lagi ia beri nama gelar-gelar yang melekat pada beberapa tokoh penting di masa ia di tawan oleh Raja Palu dan sebagiannya melingkupi wlayah paling barat pesisir Palu, ia ber nama dari bahasa lokal masyarakat kala itu yaitu Kaili dan tak ada yang tersisi hingga kini, karena semuanya telah berganti. Nama-nama raja atau pemimpin belum kesemuanya menjadi nama jalan, nama gelar atau julukan dari para toko dan tetua masa lampau pun hilang berganti dengan nama jalan Pahlawan Revolusi dan beberapa nama binatang. Sementara nama jalan dengan bahasa Kaili pun berubah kembali di Indonesia-kan sehingga sempatmenjadi kebingungan bagi para orangtua asli yang akan berkunjung ke jalan tersebut. Disinilah kegelisahan koreografer muncul mempertanyakan kembali pada pemimpin dan calon pemimpin Kota Palu, apakah sebuah nama jalan hanya deretan papan biasa yang berdiri di jalan tanpa makna?
Usia yang sebenarnya terbilang sudah matang untuk Parlow atau yang sekarang disebut Kota Palu, namun entah alasan apa sehingga pemerintah kota ini tak pernah mau menyebar hisitografi kota yang terlupakan. Membahas kota kita akan membahas pula arus kebudayaan yang melintang di sekelilingnya. Masyarakat layak tahu dan mengenal kotanya sendiri. Secara administratif Palu belum mengalami perubahan signifikan menuju arah perkembangan kebudayaan selain paham kebudayaan yang terbangun oleh stigma kepentingan. Entah apa alasan orang-orang yang memimpin kota palu ini menjadikan palu sebagai salah satu kota yang menghilangkan identitasnya sendiri. Palu hanyalah sebagai tempat transit bagi para turis baik domestik maupun asing. Sejarah sosio culture seolah mulai terabaikan. Penghargaan tinggi kepada tetua-tetua yang pernah berjuang untuk kota seolah nyaris pupus di mata generasi mudanya. Anak muda Kota Palu lebih terjerumus kebudayaan asing, mereka tidak sepenuhnya disalahkan karena memang sejak awal mereka tak dibekali rasa mencintai dan memiliki Palu.
Palu dikenal bukan dari gebrakan kebudayaannya namun dari rentan konflik yang berlangsung dan berkepanjangan. Konflik antar kampungnya berlangsung secara intens setiap tahun berlanjut tanpa ada upaya penanganan khusus dari jalur komunikasi lintas etnik dan budaya. Rasa tidak memiliki dan mencintai daerah disebabkan krisis kebudayaan yang berlanjut ke anak cucu, generasi yang semestinya mendapatkan porsi informasi banyak namun itu tak terjadi, sehingga informasi serta berita-berita secara langsung diterima tanpa disaring lagi. Kota Palu sudah saatnya memikirkan sebuah bentuk kecil dari penghargaan kepada orang-orang yang setidaknya pernah berjasa menghantarkan Palu hingga menjadi kota sedang berkembang saat ini dan tentunya perkembangan di Sulawesi Tengah secara umum. Utamanya adalah dari hal kecil PAPAN NAMA JALAN yang tidak mencerminkan kebudayaan palu itu sendiri. Ketika nama-nama jalan diubah ke nama-nama binatang dan perda yang memberlakukan nama-nama jalan menggunakan Bahasa Daerah (Kaili) sekarang dilanggar sendiri oleh para pemangku kepentingan di kota ini. Menyebabkan masyarakat pun turut mengalami krisis bahasa daerah.
Sebuah Papan Nama Jalan sebenarnya bisa menjadi salah satu celah untuk meredakan konflik. Bahwa sebenarnya, sebuah plang jalan bukan hanya sekedar untuk dilewati, tapi bisa untuk dicermati ada sejarah didalamnya. Plang jalan bukan hanya sekedar benda mati yang berdiri di ruas-ruas jalan sebagai penanda, justru karena ia sebagai penanda penting maka kau akan tahu arti berdiri dan berpijak pada tanah mana kau melangkah. Bahwa arti sebuah nama jalan penting untuk keberlangsungan peristiwa sejarah yang sudah semestinya sedikit demi sedikit diurai untuk generasi muda kita.
Karya ini turut melibatkan pemangku kepentingan yang berhubungan dengan Tata Ruang Kota Palu dan akan melakukan sosialisi pertunjukan di beberapa papan nama jalan yang tidak singkron dan tidak mencerminkan kebudayaan Palu. Pengkarya dan tim produksi telah melakukan workshop pemetaan Papan Nama Jalan di beberapa ruas jalan penting wilayah Kota Palu. Hal ini telah dilaksanakan sebanyak tiga kali di empat Kecamatan dan beberapa plang jalan sudah mulai berdiri, namun tetap poin penting yang masih menjadi masalah dan PR besar bagi pengkarya dalam karya ini adalah belum kembalinya nama-nama jalan yang sebelumnya berbahasa Kaili (bahasa Daerah) kemudian di ubah ke bahasa Indonesia dan beberapa nama jalan yang sebelumnya merupakan tokoh-tokoh penting di masa Kota Palu dari masa ke masa.
Besar harapan pengkarya bahwa karya ini bisa menjadi sebuah kritik, protes, saran, masukan dan usulan agar pemerintah kota Palu untuk benar-benar memikirkan sebuah PAPAN NAMA JALAN yang sudah semestinya menjadi penanda awal sejarah kota Palu melalui sebuah plang jalan, kemudian plang jalan tersebut sebagai salah satu mediasi pencegahan konflik dan utamanya adalah sebagai nilai historis untuk generasi muda kota Palu secara khusus.
Tim Produksi
Mengapa David Woodwar, Kosa Kata Melayu dan Plang Jalan? Karena ketiganya memiliki keterkaitan yang memiliki ikatan hingga saat ini. Walau Woodward bukan orang yang pertama dalam hal pengumpulan kosa kata-kosa kata baru di wilayah pesisir Palu, namun dia lah orang pertama yang mulai melakukan pemetaan atau pemisahan nama (1 kata) untuk nama satu wilayah. Hal ini ia lakukan agar bisa menghafal nama-nama ruas wilayah yang telah di lewati atau akan nantinya ia lewati. Hal ini ia tuliskan pada catatan pribadinya yang dituliskan kembali oleh Vaughan. Mengapa hal ini menjadi begitu penting karena Woodwar mencantumkan nama-nama raja atau penguasa wilayah setempat, beberapanya lagi ia beri nama gelar-gelar yang melekat pada beberapa tokoh penting di masa ia di tawan oleh Raja Palu dan sebagiannya melingkupi wlayah paling barat pesisir Palu, ia ber nama dari bahasa lokal masyarakat kala itu yaitu Kaili dan tak ada yang tersisi hingga kini, karena semuanya telah berganti. Nama-nama raja atau pemimpin belum kesemuanya menjadi nama jalan, nama gelar atau julukan dari para toko dan tetua masa lampau pun hilang berganti dengan nama jalan Pahlawan Revolusi dan beberapa nama binatang. Sementara nama jalan dengan bahasa Kaili pun berubah kembali di Indonesia-kan sehingga sempatmenjadi kebingungan bagi para orangtua asli yang akan berkunjung ke jalan tersebut. Disinilah kegelisahan koreografer muncul mempertanyakan kembali pada pemimpin dan calon pemimpin Kota Palu, apakah sebuah nama jalan hanya deretan papan biasa yang berdiri di jalan tanpa makna?
Usia yang sebenarnya terbilang sudah matang untuk Parlow atau yang sekarang disebut Kota Palu, namun entah alasan apa sehingga pemerintah kota ini tak pernah mau menyebar hisitografi kota yang terlupakan. Membahas kota kita akan membahas pula arus kebudayaan yang melintang di sekelilingnya. Masyarakat layak tahu dan mengenal kotanya sendiri. Secara administratif Palu belum mengalami perubahan signifikan menuju arah perkembangan kebudayaan selain paham kebudayaan yang terbangun oleh stigma kepentingan. Entah apa alasan orang-orang yang memimpin kota palu ini menjadikan palu sebagai salah satu kota yang menghilangkan identitasnya sendiri. Palu hanyalah sebagai tempat transit bagi para turis baik domestik maupun asing. Sejarah sosio culture seolah mulai terabaikan. Penghargaan tinggi kepada tetua-tetua yang pernah berjuang untuk kota seolah nyaris pupus di mata generasi mudanya. Anak muda Kota Palu lebih terjerumus kebudayaan asing, mereka tidak sepenuhnya disalahkan karena memang sejak awal mereka tak dibekali rasa mencintai dan memiliki Palu.
Palu dikenal bukan dari gebrakan kebudayaannya namun dari rentan konflik yang berlangsung dan berkepanjangan. Konflik antar kampungnya berlangsung secara intens setiap tahun berlanjut tanpa ada upaya penanganan khusus dari jalur komunikasi lintas etnik dan budaya. Rasa tidak memiliki dan mencintai daerah disebabkan krisis kebudayaan yang berlanjut ke anak cucu, generasi yang semestinya mendapatkan porsi informasi banyak namun itu tak terjadi, sehingga informasi serta berita-berita secara langsung diterima tanpa disaring lagi. Kota Palu sudah saatnya memikirkan sebuah bentuk kecil dari penghargaan kepada orang-orang yang setidaknya pernah berjasa menghantarkan Palu hingga menjadi kota sedang berkembang saat ini dan tentunya perkembangan di Sulawesi Tengah secara umum. Utamanya adalah dari hal kecil PAPAN NAMA JALAN yang tidak mencerminkan kebudayaan palu itu sendiri. Ketika nama-nama jalan diubah ke nama-nama binatang dan perda yang memberlakukan nama-nama jalan menggunakan Bahasa Daerah (Kaili) sekarang dilanggar sendiri oleh para pemangku kepentingan di kota ini. Menyebabkan masyarakat pun turut mengalami krisis bahasa daerah.
Sebuah Papan Nama Jalan sebenarnya bisa menjadi salah satu celah untuk meredakan konflik. Bahwa sebenarnya, sebuah plang jalan bukan hanya sekedar untuk dilewati, tapi bisa untuk dicermati ada sejarah didalamnya. Plang jalan bukan hanya sekedar benda mati yang berdiri di ruas-ruas jalan sebagai penanda, justru karena ia sebagai penanda penting maka kau akan tahu arti berdiri dan berpijak pada tanah mana kau melangkah. Bahwa arti sebuah nama jalan penting untuk keberlangsungan peristiwa sejarah yang sudah semestinya sedikit demi sedikit diurai untuk generasi muda kita.
Karya ini turut melibatkan pemangku kepentingan yang berhubungan dengan Tata Ruang Kota Palu dan akan melakukan sosialisi pertunjukan di beberapa papan nama jalan yang tidak singkron dan tidak mencerminkan kebudayaan Palu. Pengkarya dan tim produksi telah melakukan workshop pemetaan Papan Nama Jalan di beberapa ruas jalan penting wilayah Kota Palu. Hal ini telah dilaksanakan sebanyak tiga kali di empat Kecamatan dan beberapa plang jalan sudah mulai berdiri, namun tetap poin penting yang masih menjadi masalah dan PR besar bagi pengkarya dalam karya ini adalah belum kembalinya nama-nama jalan yang sebelumnya berbahasa Kaili (bahasa Daerah) kemudian di ubah ke bahasa Indonesia dan beberapa nama jalan yang sebelumnya merupakan tokoh-tokoh penting di masa Kota Palu dari masa ke masa.
Besar harapan pengkarya bahwa karya ini bisa menjadi sebuah kritik, protes, saran, masukan dan usulan agar pemerintah kota Palu untuk benar-benar memikirkan sebuah PAPAN NAMA JALAN yang sudah semestinya menjadi penanda awal sejarah kota Palu melalui sebuah plang jalan, kemudian plang jalan tersebut sebagai salah satu mediasi pencegahan konflik dan utamanya adalah sebagai nilai historis untuk generasi muda kota Palu secara khusus.
Tim Produksi
- Koroegrafer : Iin Ainar Lawide
- Penari : Isra Masita, Rifka Anissa, Isra Masita
- Penata Musik : Nashir Umar
- Penata Artistik : Yadhi Saja
- Penata Cahaya : Ipin Cevin
- Penata Kostum : Farida
- Tim Manajemen : Adesiani, Nezhar
- Stage Manager : Yudha Prawira
- Pimpinan Produksi : Arifin Baderan
Belum ada tanggapan untuk "Maaf Belum Ada Nama - Iin Ainar Lawide (Undangan Terbuka dan Gratis)"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar