Realitas yang di dalamnya saya sadari menyimpan bahaya laten yang membunuh. Bukan, bukan ideologi komunis yang PKI itu, atau ideologi garis keras islami semacam FPI. Bahaya laten yang saya maksud tak lain, kurang piknik, kurang baca, kurang makanan sehat, kurang berkebun.
Keempat bahaya laten di atas, merupakan ancaman besar yang dapat menyebabkan serangan jantung, stroke, impotensi, gangguan kehamilan dan kegalauan ideologis.
Masyarakat Urban, Minotaur, dan Matahari di Dalam Kepala
Tepat atau tidak, kota yang saya tinggali ini tak ubahnya labirin. Untuk bisa berkunjung ke rumah seorang sahabat saya harus memasuki jalanan sempit berliku yang susah untuk dijelaskan rimbanya, orang-orang di dalamnya pun tak tahu siapa yang saya tuju padahal orang tersebut berada tepat di sebelah rumahnya. Ya kota adalah labirin yang di dalamnya tinggal banyak sekali Minotaur (kamu, saya, kita).
Kita hanya menunggu waktu yang tepat kapan Theseus datang untuk membunuh. Menunggu kematian sembari merasa hidup dalam simulakra ini, merasa utuh, tanpa bisa menyisihkan waktu untuk piknik, untuk membaca buku, untuk berkebun.
Perihal piknik, khusus di Kota Bandung ini sudah banyak sekali kemajuan, kini saya bisa piknik ke banyak sekali pilihan taman. Syukur deh, gratisan semua :D Piknik merupakan terapi kesehatan dan kejiwaan yang bisa menjadi penyeimbang agar pikiran tetap fokus, sehat, ceria dunia dan semoga akhirat. Kalau sudah merasa bosan, buntu, boring, makan pikniklah. Insya Allah, sepulangnya dari piknik bakal bosan, buntu, dan boring lagi. Iya, serius!
Kurang baca, ini bahaya laten juga. Karena tidak membaca masyarakat urban tidak tahu kalau selama ini matahari yang menyinari kotanya hanyalah matahari di dalam kepalanya sendiri, bukan matahari di langit sana, bukan matahari yang membuatnya menciptakan sayap untuk menggapainya sebagaimana Ikarus. Mati karena melarikan diri segala yang semu adalah jihad! Mati karena melarikan diri untuk menggapai realitas yang nyata adalah jihad! #Beuh.
Masyarakat urban terlalu nyaman, merasa telah lengkap dan utuh dengan realitasnya, alhasil ia menjadi eksistensi yang padat, tidak lagi memiliki waktu dan ruang untuk sejumlah pengetahuan baru dari sumber-sumber teks baru. Ia asyik dalam simulakranya, asyik dalam labirinnya menjadi Minotaur, meminta korban dan kelak akan menjadi korban.
Apa yang bisa diselesaikan dengan membaca? Cicilan motor tidak akan impas dengan membaca buku SGA, tagihan listrik tidak lantas jadi lunas dengan membaca novel Tere Liye. Apa manfaatnya coba? O, nalar yang sarkastik. Dengan membaca setidaknya Anda berpikir keras untuk bisa menambah penghasilan agar terbeli kaca mata baca. Nah loh.
Kurang makanan sehat, bahaya laten ini telah meningkatkan jumlah orang yang sakit. Waktu yang mekanis, telah mengabaikan kita untuk memilih apa yang kita makan. Segalanya telah serba instan, tak ada bedanya lagi antara makanan sehat dan makanan sampah. Apalah bedanya makanan organik dan non-organik? Sama saja pada akhirnya menjadi "Te 4 i" juga.
Berkebun Solusi Sehat Masyarakat Kota
Bahaya laten terakhir yang paling dianggap tidak penting padahal paling ampuh dalam menyembuhkan warga kota dari ilusi dan delusi ialah berkebun. Terserah, mau berkebun hidroponik, berkebun konvensional, yang penting berkebun.
Berkebun adalah terapi, dengan berkebun kita pikiran yang semula padat menjadi berjarak, menyediakan ruang, menjadi segar. Berkebun adalah menciptakan jendela yang membuat masyarakat kota bisa melihat dunia di luar simulakra, dunia di dalam batinnya, dunia yang seharusnya ia bentuk sendiri.
Ah, sudahlah. Semua ini sekadar racauan. Sudah siang, sekarang saya harus menyiram kebun saya. Sebroooooot!
Belum ada tanggapan untuk "Bahaya Laten Ini Mengintai Masyarakat Kota, Waspadalah!"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar