Sepuluh jam yang akan datang, aku seharusnya sudah berada di Jakarta, menggagalkan musyawarah Iblis. Celakanya, aku tidak hapal jalan menuju Jakarta, hanya pernah sekali. Itupun 25 tahun silam, ketika aku masih berumur 4 tahun. Tentu sudah banyak yang berubah dan aku sudah melupakan Jakarta di usia seperti itu.
Dua puluh lima tahun silam, aku diasuh seorang lelaki separuh manusia, separuh Iblis. Ibuku sendiri, bukan siapa-siapa, hanya cerita dari mulut ke mulut, hanya foto pudar, hanya andai-andai karena bagaimanapun tidak ada anak manusia yang terlahir dari belahan batu, anggap saja aku pernah dilahirkan seorang ibu, entah siapa? Ayahku yang setengah-tengah, katanya berumur kekal, setidaknya sampai bumi kelak dihancurkan. Aku juga lupa wajahnya, kecuali dua tanduk di kepala dan ekor bermata panah di pantatnya. Itu saja.
“Ayah, aku berangkat sekarang.”
“Pergilah, nak. Gagalkan musyawarah Iblis-iblis itu dan katakan kepada mereka aku masih hidup dan akan menuntut balas.” Suara giginya terdengar gemeretak, urat-urat melintang di kepal lengan kiri dan kanan.
Aku pun berangkat, berbekal tanya yang kerap terlontar di setiap persimpangan. Bandung – Jakarta, katanya tidak memakan waktu lama, hanya tiga atau empat jam saja. Sudah nyaris tiga jam, aku masih berada di atas bus, jurusan Bandung – Lebak Bulus. Aroma Iblis semakin pekat, masuk melalui jendela, menyesak di dada, mengentalkan hasrat untuk menunaikan dendam. “Tidak lama lagi ayah, tidak lama lagi Iblis itu akan aku buat berantakan.” Gumamku semoga angin tak mendengar, karena Iblis pandai membaca kabar, bahkan kabar angin sekali pun.
“Hoaaaammm…” Benturan kepala ke kaca jendela, membuatku terjaga, melerai kantuk, menguap.
Aku coba mengingat, di mana saat ini aku berada, menerka-nerka, mencari-cari tanda. “Ayah, aku berangkat sekarang.” Kata-kata itu, sudah kuucapkan 25 tahun silam dan aku sudah berada di dalam bus ini selama 25 tahun. Aku terlambat? Aku tidak pernah terlambat, karena selalu ada 10 jam tersisa untuk menghancurkan musyawarah Iblis di Jakarta. Aku harus bergegas.
“Ayah, aku berangkat sekarang.”
Kataku, dua puluh lima tahun silam.
Dan 10 jam yang akan datang, aku seharusnya sudah berada di kota Jakarta
Belum ada tanggapan untuk "25 Tahun Silam, 10 Jam yang Akan Datang"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar