Kiara sayang…
Penghujan sebentar lagi reda, ketika hatiku terasa masih kering. Aku mengenangmu di sini, di baris-baris gerimis yang jatuh ritmis. Tidak ada perkara lain yang saat ini ingin kupikirkan, kecuali dirimu bertahun silam dan kearifan yang hari ini datang dalam genang.
Kiaraku, cintaku…
Hujan selalu saja menjadi cinta di hatiku, menjadi telaga yang di genang dinginnya kau menjadi lukisan akal, kekal dalam memoar. Telah kubaca segala macam bahasa, di lembar kertas-kertas, di parit-parit sehabis hujan, di ciprat air yang semburat di jalanan, di tatap kelabu bola mata penjaja payung yang kuyup kedinginan. Semua itu Kiara, tidak berarti apa pun, aku masih dangkal, masih menyimpan riak.
“Tidak ada keburukan yang akan menimpa seseorang, selama orang itu berbuat baik kepada sesamanya.” kata-kata itu Kiara, terlontar dari mulut seseorang, pekerja pasar, kelas rendahan, manusia pinggiran, lelaki yang tidak pernah selembar pun membaca buku-buku filsafat atau novel tebal penuh hikayat. Tidak sekadar kata-kata kosong, baginya sudah menjadi bahasa tubuh, utuh menjadi laku, benar dalam tingkah.
Kata-kata yang bersarang dalam, membelukar, membentur urat sadar, ketika aku terjerat penghujan ini siang. Dan aku kuyup celup dalam kemurungan yang tiba-tiba merenggut. Betapa dunia orang-orang bawah itu, tidak sesederhana yang selalu kukira. Ada sisi lain yang bagiku untuk memahaminya, belum tentu mampu, bahkan setelah habis berpuluh buku.
“Mang, kok lacinya ga dikunci?”Tanyaku kepada lelaki itu. Hanya senyum tenang, sangat tenang menjadi jawab dari bibirnya. Aku tertegun, tatapi laci tanpa kunci dan sejumlah uang hasil dagangan yang semata dijagai hukum moral.
Belum ada tanggapan untuk "Laci Tanpa Kunci"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar