IBX582A8B4EDEABB 8.7 Skala Richter | Info Absurditas Kata 8.7 Skala Richter - Info Absurditas Kata
Beranda · E-Mail Koran · Info Lomba · Kiat Menulis · Adsense · SEO Youtube · Jasa · Toko · Blog

8.7 Skala Richter


Usia kakek sudah sangat senja ketika tembok-tembok di rumanya berderak, kemudian belah dan runtuh. Sudah 10 tahun, kakek tidak pernah bisa bangun dari tidurnya karena sakit. Hari itu, pertama kali Nadia melihat kakek berjalan, bahkan berlari, membopongnya ke luar dari rumah, menuju tanah lapang.

“Nadia, di mana Ibumu?” Teriak kakek, kakinya melesat-lesat, menghindari runtuhan.
“Ibu masih di atas. Kakek, tolong Ibu.”
“Lari ke lapang, cepat! Kakek akan membawa Ibumu.”
Setibanya di beranda, kakek menurunkan Nadia dari pundaknya. Tubuhnya yang ringkih yang 10 tahun terkulai, hari itu terlihat sangat gesit. Suara-suara kaca pecah terdengar berdentingan, kayu yang patah dan batu-batuan dinding yang roboh berderak-derak menyulut cekam. Kakek kembali melesat, masuk ke dalam rumah.
“Allahu akbar, astagfirullah, Kakek... Ibu... Astagfirullah...”
Nadia berhenti berlari, bersama segala getar dan perasaan paling nanar, tubuhnya runtuh di tengah jalan, menatap puing rumah yang ambruk. Kakek, ibu dan kakak lelakinya, masih berada di dalam rumah. Tidak hanya rumahnya yang ambruk, nyaris semua rumah di pemukiman berderak-derak dan roboh. Tanah yang dipijaknya terlihat bergerak-gerak.
“Ibu… Ibu…”
Siti coba berdiri, memanggil-manggil ibu, ingin kembali ke dalam rumah, ingin mengais dinding beton yang tumpang-tindih. Sepasang tangan menyabetnya, membawanya berlari ke tanah lapang.
“Tsunami!”
“Allahu Akbar... Allahu Akbar...” Orang-orang tunggang langgang, berlari sekencang-kencangnya menuju tempat yang lebih tinggi.
Nadia mendengar suara bergemuruh, seperti gelombang air besar menyapu apa saja yang dilewatinya. Orang-orang berteriak getir, takbir dan tahlil terus berterbangan ke awang-awang. Tangan yang menyabetnya mendekap sangat erat, samar Nadia melihat dari kejauhan gelombang pasang berwarna hitam, menyeret atap rumah dan mobil besar. Hatinya bergetar, lebih menyaksikan kota yang berubah menjadi lautan. Nadia lelah, teramat sangat lelah, seluruh energinya terhisap rasa cekam lalu hilang kesadaran.
Beberapa pasang mata menatapnya dengan sorot pudar, ketika Nadia membuka mata setelah nyaris 2 hari tak sadarkan diri. Wajah-wajah mereka begitu asing, tidak satu pun yang dikenali, semuanya asing. Kecuali kesedihan yang teramat sangat pedih, tergores tegas di wajah-wajah mereka. Beberapa pasang mata yang menatapnya semuanya bertelaga, digenangi duka, selebihnya kekosongan yang bercerita tentang kehilangan.
“Beri dia minum…”
Bisik seorang perempuan, tangannya berbalut perban dari kain sarung yang disobek, darah masih terlihat membasah di lukanya. Perempuan itu menyodorkan air mineral kemasan gelas. Nadia menatapi langit-langit, bukan rumahnya.
“Aku di mana?” Nadia bergumam.
“Kita di mesjid Nak...” Perempuan dengan wajah bersedih mengusap punggungnya. Nadia mengawasi ke sekeliling, orang-orang berhamparan, di atas lantai tanpa alas tanpa selembar pun tikar, semua wajah terlihat muram, mendung, digelayuti awan-awan. Suara-suara tangis terdengar riuh, bersahutan menyeduh cekam. Ada ratap, ada erang, ada jerit, ada histeria, segala yang bersuara saat itu hanyalah duka paling nestapa.
“Nazma.... Nazma...” Lelaki tua meratap-ratap, memanggil seseorang. Tangannya meremas-remas rambut, sesekali memukul-memukul dinding.
“Sabar Pak, sabar... Istigfar...” Perempuan di sisinya mengusap-ngusap lelaki itu.
“Allahu akbar, ampuni kami ya Allah...” lelaki lain di tepi tenda, tidak hentinya berdoa.
“Ibu…”
Nadia teringat ibunya yang tidak terlihat di antara wajah-wajah suram itu. Sedotan air mineral sudah menempel di bibirnya, diasongkan seorang perempuan yang terlihat bersedih. Matanya menatap lebam, seketika belati menurih kelopak-kelopak tatapnya, mengalirlah air mata. Jatuh di tangan Nadia, hangat terasa. Nadia mencoba untuk duduk, perempuan itu mengais punggungnya. Nadia menajam tatap, tetap saja wajah itu begitu asing.
“Mana ibu?” Perempuan itu hanya mengusap rambutnya. Telaga seketika tergenang di kedua bola matanya “Ibuku mana?” Nadia meronta.
“Mau ke mana Nak?”
Tangannya yang bergetar menahan bahu Nadia yang mencoba berjalan. Tangan kanan Nadia menunjuk ke pelataran, perempuan itu tetap menahan. Nadia kembali diam tidak beranjak, tidak sejengkal pun beranjak. Di luar mesjid, di pelatarannya hanya terlihat deretan mayat tertutup kertas koran, kota yang terendam lumpur, bongkah runtuhan dan kesedihan yang berhamparan.
Orang-orang di luar mesjid terlihat sibuk, membangun tenda pengungsian, memindahkan mayat, memberikan perawatan, semuanya tenggelam dalam dunia yang sangat kelam. Tandu-tandu yang membawa korban, semakin kerap berdatangan.
“Ibu…”
Nadia ingin menagis, ingin menumpahkan segala macam air mata, hanya perih yang bisa keluar dari urat-urat retina. Di dalam hatinya, perasaan paling asing mengamuk, perasaan paling aneh yang sampai hari ini hari tidak pernah bisa dimengerti. Rasa kehilangan yang teramat sangat dalam.
“Nak, Kamu jangan ke mana-mana, Ibu pergi sebentar, nanti kembali lagi.”
Nadia mengangguk, perempuan dengan wajah bersedih berjalan gontai, kaki-kakinya seperti melayang di atas tanah, ditatapnya satu persatu deret mayat di tengah lapang. Dicarinya seseorang, entah siapa?
“Riana? Ya Allah selamatkan Anakku, Riana. Ya Allah...” perempuan itu terus bergumam, memanggil anaknya, mencari-carinya di antara kerumunan orang-orang yang dirundung nestapa, di antara deret mayat-mayat. Kedua bola matanya, semakin menelaga. Rasa sesak semakin mendesak.
***
Setelah tsunami tahun 2004 itu, Ibu, Kakek dan kakak lelaki Nadia tak pernah ditemukan sampai sekarang. Hanya doa-doa saja yang kerap menjadi pertemuan antara Nadia dan keluarga yang telah tiada, selebihnya terucap bersama air mata dalam doa dan mimpi.
Perempuan berwajah sedih di tenda pengungsian itulah yang sampai saat ini menjadi ibu Nadia untuk selamanya. Tangan lembutnya selalu berhasil membalut segala rasa kalut, mengusap sebentuk sesak yang masih datang membekap.
“Anak Ibu yang hilang, usianya sebaya denganmu, namanya Riana. Kita harus bersyukur Nak, Allah masih memberikan kesempatan untuk hidup... Namamu siapa?”
“Nadia...”
“Kamu tinggal di mana?”
Kedua bola mata Nadia menjadi telaga, di benaknya berlarian baying-bayang ibu, kakek dan kakak lelakinya. Mereka semua entah bagaimana? Masih hidupkah atau sudah tenang di alam kekal sana? Perempuan itu memeluknya, air mata jatuh di celah-celah di rambutnya.
“Jangan takut Nak, Ibu akan mengurusmu. Allah sedang menguji Kita...” Ucapnya 8 tahun silam.
Hari ini, suara-suara itu kembali terdengar. Nadia bersama ibu berlari ke tanah lapang, ke tempat yang paling tinggi, bersama orang-orang yang berhamburan. Mengungsi mencari keselamatan.
“Ibu... Gempa! Keluarlah...” Nadia menjerit-jerit memanggil ibunya yang masih berada di dalam rumah. Ditatapnya jalan di luar sana, orang-orang sudah berlarian. Ibu keluar dari rumah, mulutnya tak henti menyebut nama Tuhan. Ibu  menggnggam lengan Nadia, mereka berlari, mencari tanah kosong. Di luar rumah sudah kalut, orang-orang membawa tas besar, membawa apa saja yang bisa mereka selamatkan. Ruas jalan penuh dengan orang-orang dan kendaraan, kemacetan tak terhindarkan.
“Ayo keluar dari mobil, lari saja. Ayo, cepat.” Teriak seseorang dari dalam mobil.
“Tsunami! Tsunami!” Teriak orang-orang.
“Allahu Akbar... Allahu Akbar...”
Ibu memegangi tangan Nadia sangat erat, mereka terus berlari bersama iringan orang-orang, terselip-selip di antara baris kendaraan, bergerak menuju tempat yang lebih tinggi. Kegetiran 8 tahun silam, kembali bergentayang.
Hati Nadia yang telah pecah kini semakin pecah. Dua orang lelaki menabraknya dari belakang. Nadia terjatuh, ibunya terbawa runtuh.
“Kamu baik-baik saja, Nak?”
Nadia melihat darah di kening ibunya yang tersungkur di atas aspal. Rasa sakit sama sekali tidak terasa, ibu kembali berdiri, kembali membawanya berlari ke tempat yang lebih tinggi. Suara-suara takbir dan tahlil semakin terdengar.
Bersama kekalutan, Nadia menerbangkan doa-doa ke awang-awang. Semoga kelam di waktu silam tak kembali menerjang lebih jalang.
“Kakek… Kakek...”
Di pinggir jalan, gadis kecil menangis sendirian, tangannya menunjuk-nunjuk ke dalam rumah, mulutnya menjerit-jerit mengharap pertolongan.

Artikel keren lainnya:

Belum ada tanggapan untuk "8.7 Skala Richter"

Post a Comment

Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar