Aku masih belum menemukan jawaban untuk pertanyaanmu yang kau lontarkan sebelum revolusi seperempat matang itu pecah di kota Jakarta. "Apakah kemiskinan yang dialami sebagian besar rakyat Indonesia adalah Karmapala?" Begitu ucapmu, sembari melompat dari atas bus kota dengan kaki kiri yang tenang menjejak aspal.
Bagaimana aku harus menjawabnya, untuk sesuatu yang tidak pernah benar-benar aku ketahui. Karmapala hanya pernah kudengar dari film, buku dan cerita, itupun sebatas pengetahuan yang sangat siur. Aku terlalu asyik tenggelam di gelombang-gelombang rambutmu yang kelam, di tahun 1998. Tentu, jikapun ada kesempatan untuk mengetahui lebih banyak tentang Karmapala, aku tidak akan begitu tertarik.
"Berhentilah membicarakan Tuhan dan pekik yang datang dari abad-abad silam itu. Lupakanlah..."
"Pekik yang mana yang harus kulupakan? Terlalu banyak pekik yang dikutip."
"Suara rakyat bukanlah suara Tuhan, karena itu demi bendera hitam yang kemarin kita genggam, berhentilah berTuhan untuk sesuatu yang lebih mudah dipahami dengan konspirasi dan Teori Serigala."
"Demi bendera hitam yang sama, beranikah kau melemparkan batu ini tepat di wajahnya..."
Anarkisme macam apa kiranya yang kau anut, ketika sebuah batu yang ditawarkan jalan, hanya membuatmu kesal sore itu. Aku merasa senang dengan setiap kebuntuan yang mendekapmu, kau seperti seekor lebah menyengat yang terjerat gulungan jaring laba-laba, tak berdaya.
"Maria..."
"Di hatiku tidak ada Tuhan, bicara saja dengan pohon."
Belum ada tanggapan untuk "Karmapala dari Jakarta"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar