IBX582A8B4EDEABB Lelaki yang Tak Pernah Kembali | Info Absurditas Kata Lelaki yang Tak Pernah Kembali - Info Absurditas Kata
Beranda · E-Mail Koran · Info Lomba · Kiat Menulis · Adsense · SEO Youtube · Jasa · Toko · Blog

Lelaki yang Tak Pernah Kembali


Tempat yang paling Radan rindukan saat ini adalah lorong. Bukan sembarang lorong, hanya lorong panjang di antara kamar-kamar kontrakan yang sudah lebih dari dua tahun ditinggalkan, beserta isinya; anak dan istri.
“Bang, kalau sudah dapat uang cepat pulang.” Ucap Lia malam itu, sebelum Radan pergi ke Bandung. Kata-kata itu hanya sekali diucapkan, hanyut bersama air mata, mengalir ke celah hati Radan yang sebenarnya kalap. Kata-kata Lia terus berdengung, bergema di kedalaman ruang sadar dan sampai hari ini masih terdengar. Bahkan semakin kerap terdengar.

Suara Lia seperti menjelma dinding-dinding ruang, di mana pun Radar berasarng, di sana suara itu kembali terdengar, bergema, memantul-memantul di dalam ingatan.
“Lia, Abang tidak akan lama. Setelah punya uang, pasti Abang cepat pulang,” jawab Radan, tenang. Senyum paling karang, diurainya malam itu, senyum besar yang menyapu segala kesedihan “Doakan Abang.” Bersama sebuah ciuman yang melesak di kening, Radan mengayuh harapan, tujuan; Bandung.
Meninggalkan lorong itu seperti meninggalkan segala apa yang dimilikinya dalam hidup. Tidak ada pilihan lain, malam itu Radan harus pergi ke Bandung untuk bekerja, mencari uang, menafkahi anak dan istrinya, menjadi kuli bangunan.
Radan memiliki sahabat kental yang bisa diandalkan di kota Kembang, Deni. Katanya dia butuh banyak orang di proyeknya untuk mengerjakan pembangunan gedung. Sahabat kental seperti Deni, bukan sekali dua kali menyelamatkan hidupnya, sudah sangat sering Deni menjadi juru selamat ketika Radan benar-benar terpojok, terjepit kesulitan hidup yang tak pernah bosan datang berkalang.
Radan sudah menganggur selama enam bulan. Sementara kebutuhan hidup tidak bisa ditangguhkan, rasa lapar tidak bisa sejenak pun diasingkan. Celengan gerabah berbentuk ayam sudah dua bulan lalu dipecahkan, isinya hanya ratusan  rupiah, semuanya recehan, paling besar hanya sepuluh ribuan.  Pinjaman uang sudah berderet semakin panjang. Mencari kerja bukan perkara mudah semisal membalik telapak tangan. Usianya tidak lagi muda, sudah nyaris 40 di awal bulan depan.
Satu bulan lalu, Radan pernah mencoba berjualan, menjadi pedagang gorengan berbekal roda pinjaman dan modal yang juga pinjaman sebesar 500 ribu rupiah. Tapi usahanya kandas di tengah jalan. Uang hasil dagang terkuras untuk mengobati Ani, anak semata wayang yang akhir-akhir ini sering sakit-sakitan.
“Den, jemput aku.” Gumam Radan, tangannya merogoh saku baju dan celana, mencari recehan yang tersisa. Tidak selembar pun, hanya ada recehan, semuanya tandas untuk membayar ongkos bus. Radan termangu, menunggu Deni yang katanya akan menjemput di terminal Leuwi Panjang tepat jam 11 malam.
“Pak, sekarang jam berapa ya?” tanya Radan pada seorang lelaki di  sebelahya.
“Jam sepuluh pas.” Lelaki itu menyodorkan lengan kanan yang berbelit jam.
“Terima kasih, Pak,” Radan tersenyum.
Radan kembali terduduk, tenang, sangat tenang, menunggu Deni yang satu jam lagi pasti datang menjemput. Radan kembali mengingat percakapannya bersama Deni, melalui HP tetangga kontrakannya tadi sore.
“Kamu jadi ke Bandung?” Tanya Deni.
“Jadi Bang, saya berangkat jam tujuh dari rumah.”
“Kamu tunggu di terminal ya, jangan ke mana-mana. Aku akan menjemputmu jam sebelas malam.” Suara Deni terdengar nyaring.
“Bang, saya enggak punya HP, bagaimana saya menghubungi Abang nanti?”
“Sudah tenang saja, pokoknya setelah kamu sampai di terminal Leuwi Panjang, duduk saja di kursi tunggu. Aku akan mencarimu, tapi jangan sampai lewat dari jam sebelas malam.”
“Baik, Bang. Kalau begitu aku siap-siap dulu ya.”
“Ya udah sana, awas jangan sampai telat. Ingat.”
“Iya Bang. Tapi Abang pasti jemput, kan?” Radan masih ragu.
“Pasti.” Deni menjawab enteng.
Radan sudah mengenal Deni sejak lama, sahabat kental yang bisa dipercaya. Seperti dalam keadaan sulit yang sudah-sudah, kali ini Deni kembali hadir untuk membubuh secercah harap. Radan tersenyum, ditatapnya bus-bus yang berdesak di terminal. Tangannya bersedekap, erat. Matanya terus berputar-putar menatapi terminal, mencari-cari Deni. Siapa tahu sahabatnya itu sudah berada di terminal.
Tidak ada Deni, tidak ada wajah yang dikenal, hanya ratusan wajah asing di antara terang lampu merkuri dan remang pojokan terminal. Benaknya kembali melayang, mengingat Lia dan Ani, mengingat kontrakannya yang sudah 2 bulan belum dibayar. Ditatapnya lorong di antara mobil bus, hanya ada kegelapan dan aroma solar. Tidak ada deret sandal dan lagu-lagu dangdut yang hingar seperti suasana lorong di kontrakan.
Disapunya kembali terminal dengan tatapan, Deni masih tidak terlihat, tidak ditemukan. Radan kembali terduduk, menunggu tenang. Sesekali berdiri celingukan, menatapi sekitar, menyapu siapa saja dengan tatapan. Hari semakin malam. Radan mulai merasa gentar.
“Pak, sekarang jam berapa?” Tanya Radan kepada seseorang.
“Jam dua pas.” Jawab orang itu, mulutnya kemudian menguap.
Radan bergetar, menahan kesal, gentar dan nanar.
Lia di kamar kontrakan, masih terjaga, khusyu menerbang doa-doa yang sangat sederhana, sekadar harap agar suaminya tiba dan kelak kembali dalam selamat. Doa sederhana yang tidak hanya malam itu diharapkan, tapi juga di malam lain ketika Radan harus berangkat untuk bekerja. Setelah doa usai dilangitkan, Lia tertegun, ditatapnya Ani yang sesekali menabuh dengkur. Malam semakin malam, Lia kantuk seharusnya datang merajam tapi malam ini, Lia seperti kehilangan bola matanya, tidak bisa tidur, pikirannya terus melayang-layang, mengingat suaminya, Radan.
“Abang? Semoga Abang baik-baik saja.” Lia menepis segala wasangka, Firasat-firasat buruk yang berkelebat-kelebat di kelam malam, dilemparkannya bersama hembusan nafas yang dalam.
“Bapaaak!” Ani menjerit, matanya terbelalak seketika.
“Ani, kamu kenapa Nak? Kamu bermimpi Nak?” Lia mengusap-ngusap keringat di dahi Ani yang pucat pasi, nafasnya berdengus cepat, jantungnya berdebum-debum kencang, seolah hantu paling jahat mengerjarnya di alam mimpi.  
“Emak…” Ani memeluk Lia, matanya memaritkan air mata, nafasnya masih terdengar cepat, rasa takut terasa hangat di sekujur tubuhnya yang dibasahi keringat.
“Kamu mimpi Nak? Jangan takut, Emak di sini, kamu pasti cuma mimpi.”
“Takut Mak, Ani takut.” Pelukannya semakin erat.
“Kamu ini, sudah gede kok masih takut sama mimpi. Pasti mimpi hantu ya?” Lia mengusap kepala-kepala Ani, menenangkannya.
“Bukan…” Suara Ani bergetar.
“Bukan? Terus kamu mimpi apa dong? Nggak biasanya kamu begini.” Ani selalu berhasil menyisihkan rasa takut, mimpi-mimpi paling buruk yang pernah dilewatinya tidak pernah membuatnya setakut malam ini. Biasanya Ani akan membaca istigfar ketika terbangun dari mimpi buruk, kemudian tertidur kembali dengan mudah. Tapi malam ini Ani merengek-rengek, seolah rasa takut paling gunung menimpa pundak-pundaknya.
“Kamu mau minum?” Lia menyodorkan air bening yang dirogohnya dari atas meja. Ani melonggarkan pelukan, kemudian menatap Lia, matanya berkaca-kaca, pudar, layu.
“Mak, aku mimpiin Bapak…” Ani terhenti bercerita, diingatnya kembali cerita di alam mimpi “Aku dan Bapak, pergi ke kota. Di sana…” Ani berhenti lagi, dahinya berkerut, kembali mengingat.
“Di sana, kita melihat cahaya hitam, datang dari lubang jalan. Bapak masuk ke dalam lubang cahaya itu dan tidak pernah kembali. Aku melihatnya di tepian lubang, melihat Bapak kesakitan.” Ani menangis, terisak.
“Aneh sekali mimpimu, semoga itu hanya mimpi. Sudah jangan kamu pikirkan, itu hanya mimpi.” :Lia menutupkan kain sarung ke tubuh Ani, keduanya dikerubuti sekian banyak pertanyaan.
Malam semakin malam, Ani dan Lia sudah lelah mengeja malam, energi mereka habis ditikam kecemasan.
“Astagfirullah!” Lia tersentak, matanya terbelalak, mimpi buruk menghancurkan lelapnya yang baru sejenak. Mimpi yang sama seperti apa yang diceritakan Ani.
“Mimpi ini benar-benar aneh. Abang, semoga kamu baik-baik saja. Ya Tuhan, lindungi suamiku dari segala macam kesusahan, mudahkanlah segala urusan. Amin” Lia terus terjaga, bertahan tanpa pejam, menyambut cahaya yang tak lama lagi berserak di beranda.
 ***
Radan tidak beranjak ke manapun selama tiga malam berikutnya, masih berharap Deni datang menjemput. Bersama rasa lapar, dingin, cemas, kesal dan harapan yang pudar Radan tatap menunggu.
Di malam terakhir penantian Radan berdiri nanar, ditatapnya bus jurusan Bandung-Bekasi. Diingatnya kembali kata-kata Deni. Nafasnya mendengus, tangannya bergetar, terkepal bundar.
“Bangsat!”
Radan mengumpat, memecah kesal. Ditinggalkannya bangku terminal, digusurnya tubuh yang bergetar. Dirogohnya lagi saku celana dan saku baju. Hanya ada dua koin, seratus rupiah dan dua ratus rupiah.
“Ani…”
Di hatinya yang paling lubuk, Radan melolong.

Artikel keren lainnya:

Belum ada tanggapan untuk "Lelaki yang Tak Pernah Kembali"

Post a Comment

Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar