Matahari terbit dari senyummu dan kedua bolamatamu berbagi warna dengan langit, sampai membiru, sampai semesta ini kembali berwarna seperti kemarin hari. "Selamat pagi, Maria."
Angin pagi paling segar berlarian di antara celah tawamu, di ahir bulan November hari ke-28. Tanganmu sudah berlumpur-lumpur, kotor dan lengket sebelum pagi menunjuk angka 8. Di tangan kirimu, bibit pohon. Di tangan kananmu, sekop tajam. "Mari kita menanam pohon." Ucapmu, kepada waktu.
"Apa yang terjadi?
Apa yang terjadi jika aku tetap tertidur dan tidak memperdulikan apapun dengan hari ini, dengan segala mimpi hijau di bulan 11 ini?" Begitulah isi hati terdalam berserapah dan tetap saja, pada ahirnya aku turut dalam hatimu, menyebar angin, menanam segar, menumbuh harapan dan memperpanjang usia respirasi. Di sini, di celah kering hati sendiri. Di sini, di pengap udara kota ini. Di sini, di mimpi yang karam dalam amuk timbal.
Belum ada tanggapan untuk "Menyebar Angin, Menanam Segar"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar