Catatan ini saya tulis setelah
peluit panjang ditiupkan wasit yang memimpin pertandingan Indonesia lawan
Malaysia, Sabtu 1 Desember 2012. Wow, timnas kalah telak ditekuk 2-0 dan tak
berkutik untuk melakukan balas.
Kegagahan si burung garuda ketika
merobek jaring gawang Singapura dan Laos di pertandingan sebelumnya, sama
sekali tak kentara ketika berhadapan dengan Malaysia. Ada apa dengan timnas, terlalu
cetarkah? Atau sesuatu bangetkah?
Ada banyak hal yang bisa
mempengaruhi performa timnas sehingga penampilannya memburuk dan garuda menjadi
impoten malam ini. Saya, tentu tidak akan men-judge pemain atas kekalahan ini. Pemain, sudah bertarung
habis-habisan, sudah memeras keringat, sudah mengerahkan kemampuan mereka
sampai titik penghabisan. Akan tetapi apalah daya, Malaysia rupanya tetap tak
terkalahkan.
Dualisme Lingkaran Bola
Indonesia dengan dualisme sistem
persepak bolaannya, bagi saya begitu tegas memperlihatkan, ada dua mafia penguasa
sepak bola yang sama-sama ingin menjadi raja. Di mana keduanya sama-sama dalam
keadaan sakit!
Perang mafia penguasa sepak bola, tentu
berimbas secara nyata pada kualitas timnas itu sendiri. Perbaikan kualitas yang
diharapkan segera terwujud, tidak akan dapat segera terlaksana karena dua sosok
besar itu hanya berfokus pada bagaimana bisa melegalisasi dirinya untuk menjadi
kiblat sepak bola nasional. Tentu prestasi menjadi urusan nomor sekian,
terabaikan.
Naturalisasi, Sesuatu Banget!
Kebijakan naturalisasi pemain,
adalah kebijakan paling fatal yang pernah dilakukan dalam dunia sepak bola
Indonesia. Peningkatan kualitas timnas tidak bisa dilakukan secara instan.
Dunia sepak bola bukan dunia Harry Poter yang segalanya bisa dilakukan secara abrakadabra.
Menjadi juara dan membangun timnas
yang berprestasi, bukanlah pekerjaan sehari dua hari, butuh pembinaan yang
integral, berkesinambungan dan terutama berprinsip pada lokalitas atau
kecintaan pada produk dalam negeri.
Di dalam negeri sendiri, tidak
kurang pemain bintang yang berkualitas, pemain yang mempunyai kemampuan
individu dan tim yang hebat, akan tetapi mereka kemudian hanya dilirik sebelah
mata. Indonesia lebih suka memakai produk bermerek luar negeri ketimbang
memakai produk dalam negeri. Kebanggaan akan made in luar negeri meskipun kualitasnya pas-pasan, rupanya tidak
hanya terjadi di dunia ekonomi tapi juga melanda dunia sepak bola.
Timnas hari ini adalah absurditas
yang sangat getir. Timnas seharusnya menjadi sebuah tim yang dihuni pemain
lokal berkualitas, sebuah tim produk dalam negeri yang membanggakan, bukan
menjadi tim yang dihuni oleh para pemain dengan kualitas seadanya yang begitu
mahal dibayar dari negara luar.
Revolusi Sepak Bola, Cetar!
Butuh waktu agar garuda kembali
berjaya. Setidaknya sampai kebijakan dan sistem organisasi persebakbolaan di
Indonesia direvolusi! Ya, harus ada revolusi sepak bola, untuk membenahi segala
kecarut-marutan sistem. Kembali pada satu payung yang legal dan profesional,
bukan dikuasai oleh mafia yang hanya bisa berperang. Revolusi sepak bola, tak
lagi bisa ditawar-tawar.
Tivi sudah saya matikan, catatan
ini saya akhiri dengan harapan yang tak pernah hentinya terkembang, semoga
mafia sepak bola segera dilenyapkan dan prestasi kembali dimunculkan, tentu
bukan di era SBY. Bukan sekarang... Entah kapan?
Bandung, 2
Desember 2012
Belum ada tanggapan untuk "Revolusi Sepak Bola, Cetar!"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar