IBX582A8B4EDEABB Nuh Metropolutan (Tribun Jabar - Minggu, 20 Januari 2013) | Info Absurditas Kata Nuh Metropolutan (Tribun Jabar - Minggu, 20 Januari 2013) - Info Absurditas Kata
Beranda · E-Mail Koran · Info Lomba · Kiat Menulis · Adsense · SEO Youtube · Jasa · Toko · Blog

Nuh Metropolutan (Tribun Jabar - Minggu, 20 Januari 2013)


NUH METROPOLUTAN
Absurditas Malka*

            “Hoi! Kalian dengarkanlah! Kota ini akan dilanda banjir, barang siapa yang ingin mencari keselamatan, maka tinggalkanlah kejahatan dan ikutilah kebenaran.” Begitulah teriak Nuh, pada orang-orang di pasar Senin.
            Hanya mata yang melecehkan, mulut mencibir dan keraguan yang menjawab seruan Nuh. Orang-orang kembali kepada rutinitias mereka, bekerja dan tidak peduli pada apa yang namanya kejahatan dan kebenaran. Di kota besar semacam Jakarta, kota metropolutan, kesadaran habis digasak oleh rutinitas yang berulang-ulang.
Nuh kembali ke bengkelnya, membuat perahu besar, perahu yang akan menyelamatkan dari bencana banjir, berhijrah meninggalkan kejahatan.
            “Tu orang gila kali ya. Ini Jakarta, Bung! Pasti banjir!”
            “Iya gila kali, lagaknya, kayak nabi Nuh. Dasar sinting!”
            Begitulah orang-orang mengumpat Nuh, tidak satu pun yang percaya kepadanya, tidak satu pun. Siapa juga orangnya yang mau percaya pada kegilaan yang diteriakannya di pasar-pasar itu?
Kenapa juga harus takut dengan banjir, bukankah Jakarta sudah menjadi langganan banjir entah sejak kapan. Jakarta dan banjir adalah sepasang kekasih yang selalu saling merindukan.
            “Ada yang mau ikut lagi, Bang?” Tanya Sadun, pengikut setia Nuh.
            “Tidak ada, tidak banyak orang yang percaya pada kebenaran. Biarkan saja mereka mencibir, pada waktunya kita akan melihat siapa yang terbukti benar dan siapa juga yang menutup telinga pada apa yang benar.” Ucap Nuh, lalu ia kembali membangun perahunya. Perahu maha besar.
            “Bagaimana dengan Jokowi dan Ahok? Apakah mereka akan ikut kita?”
            “Buset! Jokowi? Saya ga tahu, belum sempat datang ke rumah dinasnya. Nanti saja setelah perahu kita nyaris beres, saya akan menemuinya.”
            Keduanya kembali bekerja, membangun perahu maha besar. Pengikut Nuh hanyalah segelintir orang dari sekian juta orang yang murung di kota metropolutan.
            Langit berawan, angin mengirisnya menjadi hujan. Jakarta ditikam-tikam hujan, seharian, semalaman. Kota itu sekarat, lumpuh dan membuat para penghuninya menjadi manusia-manusia yang murung, kesal dan penuh amarah, kecuali Nuh dan segelintir pengikutnya.
            “Bang, kita seharusnya blusukan, menyampaikan kebenaran ini. Orang-orang Jakarta sedang jatuh cinta dengan blusukan.”
            “Wow, ide bagus. Tapi kalau saya blusukan, siapa yang akan mengerjakan perahu ini. Tidak lama lagi hujan besar akan datang, waktu kita tak banyak.”
            “Kalau hujan besar itu datang, Bang. Apakah Jakarta akan karam?”
            “Ya, kota ini akan tenggelam.”
            “Hiii, ngeri aku membayangkannya. Apakah perahu ini akan menyelamatkan kita, Bang?”
            “Seharusnya sih begitu, tidak hanya menyelamatkan kita tapi juga menyelamatkan Jakarta.”
            “Setidaknya kita selamat, Bang. Mereka yang tidak selamat, biarkan saja, toh mereka sudah kita ingatkan.”
            Nuh tidak berkata-kata, ia hanya tersenyum, kemudian kembali bekerja. Di kepala Sadun, masih ada sekian banyak pertanyaan, tapi ditelannya sendirian, jauh, sangat jauh di dalam hatinya yang juga penuh pertanyaan.
***
            Jakarta semakin berhujan, deras teramat sangat deras, tak tertahan, air bercurah bagai tak mengenal bosan. Jatuh dari langit dan bergentayang di jalanan kota, merendam pemukiman, merendam pasar-pasar, merendam apa saja.
            Perahu Nuh sudah selesai dikerjakan, perahu kayu maha besar di atas perahu itu hanya ada beberapa gelintir orang, yang siap-siap untuk berlayar. Tapi mereka tertahan, menunggu Nuh yang katanya sedang menemui Jokowi di rumah dinasnya.
            “Pak Jokowi, saya Nuh penyelemat kota ini, penyelamat Jakarta, penyelamat kaum yang dilanda bencana banjir. Saya berharap Bapak mau ikut bersama kami.” Ucap Nuh, ketika ia berhadapan dengan gubernur DKI yang fenomenal itu.
            “Ciyus, sampeyan ini Nuh?”
            “Ciyus, Pak. Enelan…”
            “Kebetulan! Kalau begitu saya pinjam perahunya. Kota ini benar-benar butuh kamu, Nuh. Butuh perahumu juga.”
            “Ciyus?”
            “Ciyus. Enelan…”
Pucuk dicinta ulam pun tiba, begitulah pepatah bilang. Mimpi Nuh untuk mengajak Jokowi berlayar, menemu kenyataan.
Nuh, Jokowi dan Sadun, ketiganya meninggalkan rumah dinas, berkecipak menembus jalanan yang terendam air, bergelisir seperti ikan, bahkan menyelam di air pelimbahan, menuju perahu maha besar.
            “Itu perahumu? Kosong?” Jokowi menunjuk perahu maha besar yang ukurannya lebih besar dari stadion Senayan.
            “Iya, itu perahu saya, perahu Nuh yang legendaris.”
            “Perahu yang tepat!” Jokowi semringah melihat perahu itu.
            “Ayo, naiklah Pak. Ikutlah bersama kami, kota ini tidak lama lagi akan habis, mati terendam banjir.”
            “Sembarangan, kata siapa kota ini akan mati. Mengatasi banjir itu bukan dengan meninggalkannya. Kita harus menghadapinya, hadir di dalamnya, mengetahui akar masalahnya, mengerti pemecahannya. Kalau saya berlayar dan ikut sampeyan, banjir tidak akan pernah selesai. Itu bukan jalan keluar.”
Jokowi sudah berada di geladak kapal, di atas kapal maha besar itu, dia bisa melihat landscape Jakarta. Segala-galanya terendam air, hanya atap-atap yang terlihat bersembulan, orang-orang yang berkerumun di atas atap itu,  juga sampah-sampah yang mengambang, berenang-renang penuh kebebasan. Orang-orang di bawah sana, melambai-lambai, berteriak-teriak meminta diselamatkan. Beradu keras suara ingin didengar, padahal mereka sudah berkali-kali diingatkan.
            “Nuh, saya mengajak Anda sebagai warga Jakarta, untuk menyelamatkan kota ini.” Ucap Jokowi di belakang kemudi perahu.
            “Caranya?”
            “Kita akan berlayar di kota ini, memakai perahumu.”
            “Terus?”
            “Kita keruk sampah-sampah di Jakarta ini, kita benahi kota ini, Anda mau?”
            Nuh mengangguk, begitupun Sadun.
Nuh dan Jokowi, berlayar di atas perahu maha besar. Segelintir orang di atas perahu maha besar itu, kemudian terlihat sibuk, maha sibuk. Mereka mengeruk-ngeruk sampah yang berseliweran di genangan banjir kota Jakarta, mengeruk DAS yang menyempiit, membuat area resapan air, membuat sumur resapan, memberi ruang yang lebih besar kepada air agar bisa segera melarikan diri ke muara tidak melulu bergentayang di perkotaan.
            “Airnya menyurut Pak…” Nuh melonjak-lonjak kegirangan. Ditunjuknya atap-atap pemukiman yang bersembulan dari dalam genangan.
            “Kamu tengok, kalender deh… Hari apa sekarang?”
            “Buset! Sudah satu bulan Pak. Kok lama ya?”
            “Itu dia, membereskan banjir itu bukan sim salabim, tidak bisa tinggal menjentikkan jari kemudian teratasi. Butuh waktu, butuh sosialisasi, butuh itikad dan kerja nyata. Butuh keterlibatan semua pihak. Bayangkan kalau semua orang di kota ini seperti kamu, Nuh. Jakarta sepertinya akan malu sendiri untuk merindukan banjir.” Jokowi terlihat babak belur, nafasnya berdengusan, kelelahan bekerja gila-gilaan di atas perahu maha besar.
            Nuh manggut-manggut, ia menatapi kota Jakarta di bawah sana. Rumah-rumah masih terendam banjir, orang-orang masih berkerumun di atap-atap sana. Betapa getir pemandangan Jakarta, ibu kota yang haru, ibu kota yang di dadanya bersemayam segala macam angkara. Ibu kota yang butuh seribu Nuh.
            Perahu maha besar bergelisir di tengah genang banjir, air hujan terlihat kental, bercampur limbah dan sampah, menampar-nampar tak bosan. Hujan semakin deras berderaian, mengguyur Jakarta dengan petaka.
            Sadun tengadah, menikmati hujan. Rasanya sama saja, dingin dan basah.
***
            Byuuuuuuuuuuuuuurrr…
            Seember air, menyiram wajah Sadun. Badannya kuyup, bersimbah air comberan. Di muka pintu, Emak yang berdiri angker, menjingjing ember, menatapnya geram.
            “Sadun! Bangun lu, banjir lagi ni!” Emak berteriak, suaranya menggelegar.
            Sadun menyeka muka, matanya terbuka, air sudah merendam kamar, setinggi betis Emak. Di atas genang itu, sendal jepit entah milik siapa terapung-apung, bergandengan dengan kantong plastik berwarna hitam.
            “Nabi Nuh…”
           Sadun bergumam, tapi banjir sudah menyergap rumahnya, merendam pemukiman, merendam Jakarta tempat tinggalnya, tak ada waktu untuk mengingat mimpinya.

Bandung, 17 Januari 2013

Artikel keren lainnya:

Belum ada tanggapan untuk "Nuh Metropolutan (Tribun Jabar - Minggu, 20 Januari 2013)"

Post a Comment

Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar