IBX582A8B4EDEABB Kakap Merah (Inilah Koran, 29 September 2013) | Info Absurditas Kata Kakap Merah (Inilah Koran, 29 September 2013) - Info Absurditas Kata
Beranda · E-Mail Koran · Info Lomba · Kiat Menulis · Adsense · SEO Youtube · Jasa · Toko · Blog

Kakap Merah (Inilah Koran, 29 September 2013)

KAKAP MERAH
Absurditas Malka*


Aroma garam lautan, mengental di dalam paru-parunya, kian hari kian menggumpal bersama segala macam memoar. Kapal- kapal nelayan telah pulang, hanya kekosongan yang melulu datang. Di belakang gelombang, tak pernah ada siapa-siapa yang akan datang kecuali batuan karang yang selalu tenang. Angin laut tidak pernah lagi mengembalikan bapaknya. Di antara sekian banyak  yang pulang dalam wujud siluet, di celah merahnya langit yang terbakar di waktu senja. Tak akan pernah.
            “Pulang. Kau tunggu sampai berakar pun, Bapakmu tidak akan pulang.”
            Ucap ibu, seperti kemarin dan kemarinnya lagi. Tangannya yang tak lagi lembut, merenggut lengannya, membawanya pulang, menjauh, meninggalkan deru pantai. Ia hanya diam, kakinya berjingkit malas, ikuti emaknya. Jejak-jejak di belakang mereka melesak di wajah pasir, kemudian hilang dihapus desir ombak. Senja yang membara, menyepuh angkasa sewarna baja dalam tanur membara.
            “Bapak…”
            Ia bergumam, berkali-kali wajahnya menoleh ke belakang, ingin menembus gulungan gelombang, ingin menerabas bentang karang, ingin melihat dunia di seberang lautan, mungkin bapak masih ada di seberang sana. Hanya senja yang semakin karam, itu saja yang memadat dalam tatapan.
***
“Kakap merah sedang susah, makan saja dengan ikan lain. Jangan rewel!” Emak menggerutu, betapa tidak, anaknya yang semata wayang itu hanya mau makan jika ada ikan kakap merah di atas meja makan. Anaknya tak pernah mau ikan yang lain, tak satu pun. Kerapu, kaci-kaci, ekor kuning, tongkol, semuanya tak mungkin membuatnya mau makan. Hanya kakap merah kunci pembuka mulutnya, hanya itu.
Selama 2 tahun, anaknya tak pernah makan besar, meskipun di meja makan, ada ikan kakap merah yang dibeli emaknya dari nelayan. Makannya sangat irit, paling sesuap atau tiga suap, bahkan ikan kakap merahnya pun hanya dicubit-cubit saja.
“Ikan kakap yang aneh, nggak enak.”
Ia bergumam, menatapi ikan kakap di atas piring beling. Matanya nanar, tatapnya tumpah di atas meja makan, sementara pikirannya berlari ke masa silam, mencari-cari bapak di celah ingatan.
“Kamu ini, rewel. Kakap merah itu sama saja, mau tangkapan Bapak atau bukan, sama saja ikan kakap!” Emak menggerutu lagi.
“Beda Mak, ikan kakap merah tangkapan Bapak rasanya enak.”
“Hoalah, sudahlah. Makan dan habiskan. Kamu makin kurus saja kelihatannya.”
“Ogah…”
Ia berdiri, menelan sisa remah di mulutnya. Setelah mereguk segelas bening air, ia berlalu, menuju beranda, menatapi layar-layar kapal yang samar di garis pantai sana. Pantai yang pasir-pasirnya sudah sekian ratus kali menjadi kanvas dari rasa rindunya. Ia kerap melukis wajah bapaknya di atas pasir, menulis nama bapaknya, menuliskan apa saja tentang bapak, dalam gambar maupun kata. Apalah artinya tulisan di wajah pasir, dalam sekejap atau lambat akan terhapus juga oleh gelombang.
 “Bapak…”
            Ia kembali bergumam, menyebut bapaknya. Tubuhnya layu di atas kursi kayu, mengkerut, merungkut, murung, mendung. Lengannya yang bersembulan tulang-tulang, melingkari kedua lututnya erat, sangat erat. Sementara matanya, begitu payah menelisik senja yang sudah karam, menerabas siluet-siluet kapal nelayan, mencari-cari bapak yang tak lagi pulang.
***
            “Masuklah, tidur. Sudah malam.”
            Emak sudah berkali-kali memanggilnya untuk bergegas masuk ke dalam rumah. Telinganya seperti dibentengi beton, tak mendengar. Kesadarannya habis dihisap harapan yang tak berdasar. Tubuhnya lengket, menempel di kursi kayu lapuk. Menempel di sana, sampai ia tertidur. Setelah lelap, emak akan membopongnya ke dalam kamar. Selalu begitu setiap malam.
            “Ya Tuhan, kenapa anak ini terus mencari Bapaknya yang sudah mati ditelan gelombang.” Emak bergumam, telapak tangannya yang kasar mengusap-ngusap rambut anaknya penuh rasa sayang. Ditatapnya tanda lahir berupa gumpalan hitam di jidat sang anak, tanda yang juga dimiliki bapaknya. Tanda lahir yang membuat emak, seolah melihat kembali bapak yang memang telah tiada, telah lebih dahulu mengarungi samudera kekal.
Di sudut-sudut matanya yang kiri dan kanan, ada bulir bening yang tak tertahan, meleleh mengiris wajahnya. Rekah menjadi sayatan perih yang memawar di sekujur jiwanya.
            Biasanya bapak yang menggendong anaknya masuk ke dalam kamar. Anaknya selama ini terlalu dekat dengan bapaknya, sangat dekat. Ke mana bapak pergi, di sana anaknya berada. Bahkan ke lautan buas sekali pun. Tapi kali itu, ketika air laut pasang, ketika angin membadai, ketika halilintar menyambar gunungan gelombang, anaknya tak ikut berlayar. Hari yang getir, hari yang tidak pernah mengembalikan bapak ke rumah, kecuali sederet memoar yang berlarian terbanting-banting di bibir pantai, terbentur karang, dicabik-cabik garam dan gelombang.
            “Mas Danu tenggelam…” ucap Juned, sahabat kental bapak malam itu.
            Suaranya yang bergetar didera gigil dan kesedihan, nyaris tak terdengar. Suara yang parau, suara yang bagi emak terdengar seperti ledakan guntur. Merobohkan detak jantungnya menjadi lamban, teramat sangat lamban.
            “Apa maksudmu, Juned?”
            “Mas Danu tenggelam… Sabar ya…” belum usai Juned bicara, emak sudah menjerit memanggil-manggil nama suaminya. Emak meronta ingin mencari suaminya ke laut sana, tapi orang-orang menahannya. Emak jatuh pingsan, ditumbangkan sebentuk rasa kehilangan yang berjurang-jurang.
            “Bapak! Bapak! Bapak!”
            Ia pun berjerit-jerit, meronta lebih hemat dari emak. Ia kelojotan berhisteris sampai suaranya terdengar seperti nyaris putus, matanya menerjunkan air tangis. Ia akhirnya layu, lemas seperti lumut di dasar dingin samudera, sangat lemas, basah oleh kesedihan.
            Tak pernah ada kabar terdengar, tak seorang pun yang kebetulan melihat jasad Danu. Hilang, genap menghilang ditelan gelombang, tak menyisa jejak, tak meninggalkan badan. Hanya menyimpan semesta ingatan yang selalu merajam.
***
            Senja kembali menyepuh lautan, sewarna baja terbakar dalam tanur. Ia seperti hari kemarin dan kemarinnya lagi, diseret pulang, kakinya kadang meninggalkan jejak panjang di wajah pasir pantai. Kadang melesak sangat dalam karena menolak pulang. Begitu selalu begitu, di setiap senja.
“Mak, bila Bapak pulang… Aku pasti mau makan lagi. Tapi Emak tenang saja, aku tidak akan mati karena kurang makan.” Ia menepis nasi dan kakap merah di atas piring setelah tiga suap kecil ditelannya penuh kemalasan.
            “Bapakmu sudah mati! Bapakmu tidak akan pulang!”
            Ia terdiam, tertunduk. Tanpa kata-kata, sementara ibu di seberang meja makan terus mengoceh perihal bapaknya yang sudah meninggal, perihal harapannya yang tidak akan pernah menjadi kenyataan.
            Emak masih mengoceh ketika ia bangkit dari kursi kayunya, meninggalkan meja makan lapuk, menuju beranda. Kembali terduduk di kursi kayu yang juga lapuk. Tubuhnya mengkerut lagi, merungkut, layu. Sementara matanya berpayah-payah menyesapi kegelapan, mencari-cari yang tidak akan pernah pulang.
            “Mak, gimana Sadun. Sudah mau makan?” Tanya Juned yang kebetulan bertamu bersama istrinya.
            “Boro-boro, sudah bertahun-tahun ia malas makan. Lihat itu tubuhnya, makin ceking, tinggal kulit dan tulang.”
            “Hmmm… Sudah dicoba memberinya makanan yang lain?”
            “Memberi makan apa lagi? Semuanya sudah dicoba, lidah Sadun hanya mau makan ikan kakap merah tangkapan bapaknya. Sialnya, Sadun tahu mana ikan kakap merah tangkapan bapaknya, mana yang bukan. Tidak bisa dikelabui.”
            “Begitu ya, susah kalau begitu. Tapi cobalah bujuk Sadun, saya kira dia akan mau makan juga.” Sambung Juned.
            “Sudah ribuan kali, percuma saja. Biar sajalah, yang penting Sadun tetap hidup.” Emak menunduk, menenggelamkan kesedihan di matanya, agar tetap tersembunyi di dalam dadanya.
            Juned menatapi Sadun yang tak acuh di beranda sana. Tubuh ringkih itu terlihat sangat layu, berkerut, dan lapuk. Dari dalam plastik besar yang berwarna hitam, Juned mengeluarkan dus putih.
            “Apa itu Ned?”
            “Ini kue dari kota, Mak. Tadi ada saudara yang datang membawa oleh-oleh. Barangkali Sadun suka ini.”
            “Wah, kue bolu.” Emak berdecak menelan air liurnya, ditatapnya kue bolu yang melingkar dalam dus. Di atas kue itu terlihat mentega aneka warna yang menjadi hiasan.
            “Coba sini, saya tawari Sadun, barangkali ia mau.” Ucap istrinya Juned, Lasmi.
            Emak mengangguk, kemudian mengambil potongan besar, memindahkannya ke dalam piring. Lasmi membawa potongan kue itu untuk Sadun.
            “Dun, bibi punya kue bolu. Enak loh…” Lasmi membujuk, disodorkannya kue bolu yang menggoda itu, tepat di depan wajah Sadun.
            “Sadun, kue bolunya enak loh.” Lasmi membujuk lagi.
            Sadun tak peduli, ruang sadarnya terputus dari dunia di sekitarnya, semuanya utuh di larikan ke dalam ingatan.
            Setelah berkali-kali menggoyang bahu, Sadun tersadar, hanya tersadar untuk menolak, menggelengkan kepala dan menampik sepotong kue bolu besar yang gagal membujuknya untuk  makan.
            Sepi, sepi, sepi. Malam semakin sepi, percakapan Juned, emak, dan sesekali Lasmi, berujung pada getar sunyi. Apa lagi yang kiranya bisa dibicarakan di tengah lautan kesedihan?
***
            “Mak, ikan.” Ucap Sadun, dingin.
            Tangan mungilnya yang bersembulan belulang menyodorkan sat plastik berisi dua ekor ikan kakap merah. Emak tidak bertanya perihal ikan-ikan itu, sudah barang tentu pemberian dari tetangganya.
            “Dibakar saja ya, inyak goreng kita habis.” Emak menatap mata Sadun yang dingin, tidak berkata ya, tidak pula menolak. Lagian setiap hari juga emak lebih sering langsung membakar ikan dari pada menggorengnya, jauh lebih hemat.
            Emak menjinjing plastik ikan berisi kakap merah  ke dapur, bara kayu terlihat memerah di tungku. Setelah dibalur bumbu ala kadarnya, emak mulai membakar ikan-ikan itu.
            Sadun kembali terduduk di beranda, di kursi kayu yang sudah bertahun menjerat dirinya untuk menyesapi pesona senja. Kursi yang biasanya diduduki bapaknya, dan ia bertengger di pangkuan bapak sampai tiba waktu untuk tidur malam.
            Di ujung sana, terdengar suara gelombang yang pecah membentur karang. Tercium aroma garam yang kental. Bayang-bayang lelaki tadi sore kembali berlayar dalam ingatan. Lelaki itu seperti datang dari dalam lingkaran matahari yang sempurna memerah, semerah tempa dalam tanur pembakaran baja. Lelaki yang seolah datang hanya untuk memberikan dua ekor kakap merah kepadanya.
            “Kakap merah…” gumam Sadun ketika ia menerima dua ekor ikan itu dalam plastik. Ia menatap wajah lelaki itu, asing, sama sekali asing. Wajahnya yang tertutup caping memperlihatkan lingkaran hitam di jidat, sama seperti yang ada di jidat Sadun. Tapi itu Sadun yakin itu bukan bapaknya, lelaki tirus itu pincang, lengannya buntung. Lelaki yang asing, entah siapa.
            “Dun, makan!” teriak emak dari dapur.
            Aroma ikan yang terbakar tercium kental, menguar di semua ruang. Sadun tak beranjak, tak bergerak. Ia hanya akan pergi ke dapur ketika lengannya diseret jemari ibu yang kian hari kian terasa kasar.
            “Makanlah.” Emak menyodorkan kakap merah bakar di atas piring beling dan seciduk nasi putih yang tidak begitu putih.
            Sadun terlihat mengendus aroma ikan bakar itu, cuping hidungnya bergerak-gerak, lehernya terlihat menelan air liur. Satu suap sudah melesak ke dalam mulut, diikuti suapan lain. Ikan kakap  merah di atas piring, kini tak lagi sekadar dicubit-cubit, semuanya habis, hanya menyisakan tulang. Sadun sangat lahap memakan kakap merah bakar.
            “Mas Danu…”
            Emak memekik, matanya berlarian ke sekeliling ruangan. Dicari-carinya seseorang, dicari-carinya yang selama ini diyakini tak akan pernah pulang. Parit-parit harapan, kembali meluap di sudut mata emak yang kiri dan kanan.
            “Mas Danu, kamu di mana?” Emak berlari ke beranda.
Di luar sana hanya ada kegelapan, aroma garam, dan suara debur ombak yang bersahutan.


 Bandung, 11 September 2013

Artikel keren lainnya:

Belum ada tanggapan untuk "Kakap Merah (Inilah Koran, 29 September 2013)"

Post a Comment

Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar