IBX582A8B4EDEABB Pemburu Cahaya (Ratusan Kilo Meter di Bawah Kota Sidoarjo) #Cerpen | Info Absurditas Kata Pemburu Cahaya (Ratusan Kilo Meter di Bawah Kota Sidoarjo) #Cerpen - Info Absurditas Kata
Beranda · E-Mail Koran · Info Lomba · Kiat Menulis · Adsense · SEO Youtube · Jasa · Toko · Blog

Pemburu Cahaya (Ratusan Kilo Meter di Bawah Kota Sidoarjo) #Cerpen

PEMBURU CAHAYA
Absurditas Malka*


                 Ratusan kilo meter, di bawah kota Sidoarjo.
            Lorong-lorong panjang terbentang di bawah tanah, saling terhubung satu sama lain. Konstruksi bangunan lorong itu seperti rumah rayap, sangat rumit. Dinding-dindingnya licin dan lembap, jamur dan lumut tumbuh di sana, menebal seperti selimut bulu domba. Seharusnya semakin dalam semakin panas, tidak demikian halnya dengan kota bawah tanah. Setiap sekian meter dari lorong itu, terdapat ceruk berbentuk bola itulah rumah orang-orang bawah tanah, mereka tinggal di ceruk itu. Di dalam sana, tak pernah ada cahaya, tak pernah ada udara, hanya sedikit saja, teramat sangat sedikit.
Mereka yang tinggal di kota bawah tanah, pada mulanya adalah manusia biasa. Begitupun hari ini, mereka masih bertubuh manusia, hanya saja jiwa mereka sudah berevolusi menyesuaikan diri dengan kondisi bawah tanah yang tanpa cahaya dan nyaris tanpa udara. Mereka berkulit pucat, tak punya rambut, berwajah tirus, tulang-tulang badannya bersembulan mengerikan, matanya berkilatan, memendarkan sedikit cahaya. Apalah artinya sedikit cahaya di dalam kegelapan yang maha gelap?
Bagaimana mereka bisa berada di bawah tanah? Jauh di waktu yang sangat silam, seorang raja datang ke kota mereka ketika masih berada di permukaan bumi. Sang raja menanam pohon beringin di pusat kota, sebagai tanda atas kekuasaannya. Kian hari, pohon beringin itu kian besar, meraksasa. Ranting-rantingnya mengembang kokoh, daun-daunnya yang  lebat memayung jemawa, nyaris menutupi sebagian besar kota. Akar-akarnya selain menjalar mengepung kota, juga menikam jantung bumi sampai ke pusat magma. Betapa pohon beringin yang sangat raksasa.
Akar-akarnya terlalu jauh menancap ke dasar bumi, sampai pada suatu ketika menyebabkan bencana. Dari celah akar-akar pohon beringin raksasa itu menggelegak lumpur, seperti mata air. Lumpur itu memancar, menyembur, menyeruak ke udara, bak dimuntahkan sekuat tenaga dari dalam perut bumi. Penduduk kota sudah berupaya untuk menyumpalnya, dengan kayu, dengan batu, dengan gunung, dengan apa saja, sia-sia belaka. Semburan lumpur tak bisa dikendalikan. Lumpur terus menggila, merendam kota, menguburnya.
Setelah bencana itu, sejauh mata memandang, hanya ada lumpur. Siapa saja yang mencari tepi dari samudera lumpur, akan mati mengenaskan dalam perjalanan. Itu sebabnya, mereka memilih untuk membuat lubang ke bawah tanah. Membangun kota di bawah sana.
***
            “Kelak, akan ada salah satu di antara kita menemukan jalan untuk menatapi cahaya.” Ucap Kakek Tarjo, matanya menarawang menatapi langit-langit ceruk, menerabas kegelapan.
            “Benarkah cahaya itu ada, kek?” Manis, menatap sang kakek penuh lembut, cahaya matanya berkilauan pudar dalam kegelapan “Aku tidak pernah melihatnya, semua orang di kota ini tidak pernah lagi melihat cahaya kecuali yang memendar di mata kita.”
            “Suatu saat, suatu saat, Manis.” Kakek Tarjo bergumam, kemudian terdiam hening, dinikmatinya kegelapan kota bawah tanah.
            Dalam kegelapan, Manis bisa merasakan betapa kakeknya sangat merindukan cahaya. Betapa dunia di atas sana yang tidak pernah dilihatnya, seolah dunia yang sangat indah. Manis hanya bisa menerka-nerka, ia tak pernah tahu, hanya mendengarnya melalu cerita kakeknya.
***
            “Jangan pernah membuat lubang ke atas sana! Lumpur terkutuk itu bisa mengubur kita hidup-hidup di dalam sini!” teriak Mardi.
            “Hanya lubang kecil.” Roji berhenti membuat lubang di atas ceruk rumahnya sendiri.
            “Lubang sebesar jarum pun tidak akan kuizinkan!” Mardi menegaskan “Aku bisa membunuh siapa saja yang berani membuat lubang ke atas sana!” lanjutnya, mengancam.
            Roji tertunduk, ditinggalkannya lubang selebar bahu, lubang yang baru digalinya sepanjang sikut. Ia tak pernah tahu, menggali lubang ke atas sana, bisa menghabiskan seluruh usianya, termasuk mengubur kota bawah tanah dengan lumpur yang menyamudera di atas sana.
            Lorong panjang, lorong kelam, disusuri Roji sendirian. Tangannya menggenggam batu sepanjang sikut, batu yang ujung-ujungnya tajam seperti linggis, batu yang akan digunakannya untuk membuat lubang. Di suatu tempat yang tidak diketahui siapa pun, ia akan kembali menggali lubang menuju permukaan bumi di atas sana. Kematian atau apa pun yang akan menjeratnya kelak, adalah bayaran yang pantas untuk mimpinya.
            “Kota bawah tanah ini pasti memiliki lubang ke atas, lubang udara!” gagasan itu kerap hadir di benaknya, akan tetapi tidak satu pun yang tahu atau pernah melihat lubang udara di kota bawah tanah.
            “Pasti ada lubang udara!” gumamnya yakin, sangat yakin. Roji tidak pernah berhenti mencari, disusurinya lorong-lorong kota bawah tanah. Di sepanjang lorong, hanya kegelapan dan jamur-jamur saja yang ditemuinya. Orang-orang kota bawah tanah, bertahan hidup dengan makan jamur-jamuran yang mau tumbuh di sana.
“Roji.” Seseorang berbisik dari kegelapan.
Roji memutar badan, menajamkan sorot matanya. Sosok yang diam dalam gelap melambaikan tangan, memintanya untuk mendekat.
“Siapakah gerangan Bapak ini, saya belum pernah melihat sebelumnya?” Roji menelisik seraut wajah asing di depannya. Dalam gelap, mata orang-orang bawah tanah bisa melihat cukup jelas apa saja, waktu telah mengubah ketajaman mata mereka agar tetap mampu melihat di ruangan yang sangat kekurangan cahaya.
“Roji, kamu tidak akan menemukan lubang udara. Berhentilah mencarinya.” Ucap lelaki itu.
“Sepertinya Bapak sangat mengetahui siapa aku ini?”
“Semua orang tahu dirimu, Roji. Pemuda yang bermimpi untuk mencari jalan ke atas sana, pemuda yang bermimpi untuk melihat cahaya!”
“Begitulah, semua itu benar. Sebaiknya aku lekas meninggalkan Bapak, saya harus melakukan sesuatu.” Ucap Roji.
“Tenanglah anak muda. Kamu akan menjadi teman kerjaku yang bisa diandalkan.” Ucap lelaki itu, “Kita tidak akan menemukan lubang udara di kota yang rumit ini. Sampai mati sekalipun kita tidak akan pernah menemukannya, Roji.” Lanjutnya, meyakinkan Roji untuk memikirkan tawarannya.
“Ketika Bapak tidak bisa menemukan sesuatu, maka ciptakanlah, kurasa hanya itu yang bisa dilakukan.” Roji tetap menampik.
“Tepat, itulah maksudku. Sekarang, ikutlah bersamaku mungkin pendirianmu bisa berubah.” Lelaki itu berjalan cepat, menyusuri lorong gelap. Roji bersama segala macam ragu, menguntit di belakangnya.
***
            “Benarkah di atas sana ada cahaya?” Roji terkesima, ditatapnya lubang di atas langit-langit ceruk yang ditinggali lelaki itu. Lubang itu cukup besar, bisa dilewati siapa saja dengan meniti tangga berupa lubang di dinding goa. “Batumu itu Bapak, sedemikian aus. Sudah berapa lama Bapak membuat lubang ini?” Roji tahu dari batu yang menyusut dan licin itu, betapa lelaki di depannya telah menghabiskan sebagian besar usianya untuk membuat lubang.
            “Sudah sangat lama, aku masih sangat muda ketika itu, jauh lebih muda dari usiamu sekarang. Sampai hari ini, sampai setua ini, aku masih belum melihat cahaya.” Lelaki itu menatapi lubang di atasnya, sorot matanya berkilatan penuh terka.
            “Bapak, kita akan menyelesaikannya, kita berdua akan menemukan cahaya!” Roji semakin terbakar mimpinya sendiri.
***
            “Kita sudah sangat lama menggali, aku tidak pernah tahu siapa nama Bapak.” Roji bersandar lelah di dinding ceruk, matanya menatap nanar lubang yang menganga di atasnya.
            “Sadun.” Ucap lelaki itu singkat, suaranya kini terdengar sangat renta.
Dalam gelap, Roji bisa melihat lelaki itu telah menjadi tua, kulitnya dihiasi banyak garis-garis keriput, kepalanya yang tanpa rambut semakin berkerut-kerut, sorot matanya semakin temaram. Roji pun bisa merasakan, waktu telah mengubah dirinya menjadi seusia Sadun ketika mereka pertama kali bertemu, bahkan lebih tua.
            “Suatu saat, kamu akan melihat cahaya di atas sana.” Sadun tertunduk, mimpinya tentang cahaya masih membara, tapi usianya telah amat sangat temaram.
            “Jangan katakan itu Bapak, kita berdua akan melihatnya.” Perasaan haru berdesir di sekujur tubuh Roji.
            “Aku sudah temaram. Kamulah yang akan menyelesaikan mimpi ini.” Ucap Sadun, berat. 
Selain melihat cahaya, aku akan merobohkan pohon beringin terkutuk itu!” Roji mendendam.
            “Kamu tidak bisa merobohkannya hanya dengan berbekal batu. Sekarang pohon itu kiranya sudah jauh lebih meraksasa dari pada cerita-cerita yang pernah kamu dengar.” ucap Sadun, “Kelak di atas sana, kamu hanya akan melihat cahaya, itu sudah cukup.” Sadun tersenyum, ditatapnya gelora yang membakar dada Roji.
            “Tidak Bapak, tidak! Aku tidak ingin melihat cahaya saja, aku ingin membawa orang-orang bawah tanah ke kota asal mereka.”
            “Kita hidup di sini, di atas sana kita akan mati sia-sia.”
            “Kita bisa bertahan hidup di kota bawah tanah, kenapa kita mesti binasa dengan kota asal kita?”
            “Roji, percayalah...”
            “Aku menunda untuk percaya Bapak, aku menundanya sampai pada suatu hari aku akan membuktikan kita bisa kembali hidup di atas sana.”
            Di dalam gelap, ada yang meleleh di sudut mata Sadun, bulir haru beserta rasa dingin. Ia tahu di atas sana ada cahaya, ia tahu apa yang akan terjadi ketika orang-orang bawah tanah kembali ke kota asalnya.
***
            “Bapak, lihat, lihatlah ke atas sana.” Roji menggoyang-goyangkan tengkorak Sadun, mendongakkannya seolah-olah tengkorak itu tengah menatap ke lubang di atasnya. “Tidak lama lagi, kita akan menemukan dunia di atas sana, kita akan melihat cahaya!”
Sadun yang sudah meninggal sejak lama, telah menjadi belulang yang dibiarkan berserakan di dalam ceruk, menjadi kawan, menjadi teman bicara Roji ketika lelah memaksanya untuk sejenak berhenti membuat lubang ke atas sana.
Sekian lama Roji terus melubangi tanah di atas sana. Batu linggisnya sudah aus dan tak berguna, tidak lebih besar dari ibu jarinya sendiri. Kini Roji membuat lubang dengan tangannya, mencakar-cakar, mengais-ais.
“Lumpur.” Roji mengusap-ngusap lengannya, merasa-rasakan tekstur lumpur di jemarinya, “Tidak lama lagi...” sebersit senyum rekah di wajahnya, cahaya matanya seketika semakin berkilat-kilat oleh harapan.
            Tanpa batu, kini Roji mengais-ais lumpur. Jemari-jemari kurus berkuku panjang, pucat, dan bersembulan tulang, kini mencakar-cakar lumpur di atasnya. Jemari-jemari rapuh itu robek, berdarah, bengkak.
“Bapak, bangunlah! Kita akan segera melihat cahaya. Bapak, lihatlah!” Roji berteriak-teriak sendiri, tak dirasanya segala macam luka.
            Setitik lumpur menetes di ubun-ubunnya yang mulai berkerut-kerut karena usia. Mulanya hanya setitik, semakin lama lumpur semakin berhujan, deras menyerbunya. Roji berpegang erat pada lubang tangga di dinding goa. Tangan dan kakinya ditancapkan sekuat tenaga. Lumpur bagaikan air bah, terjun ke kota bawah tanah. Sekuat tenaga, ia menahan tubuhnya agar tak terseret lumpur terlempar kembali ke bawah sana.
            “Bapak, lihatlah!” Roji berteriak-teriak, suaranya bergema di lorong bawah tanah, berbaur dengan deru lumpur.
            Meskipun lumpur sudah berhujan ke bawah sana, di atasnya tak juga terlihat lubang yang menganga seperti yang diharapkannya. Tenaganya nyaris habis ketika perlahan aliran lumpur itu menyurut. Sekuat tenaga penghabisan, ia terus mengais-ais lumpur. Kota bawah tanah telah membuat paru-parunya mampu bernafas dengan sedikit udara, bahkan mampu tidak bernafas cukup lama.
***
            Blup… Blup… Blubup…
            Samudera lumpur terbentang sejauh mata memandang. Tepat di tengah samudera itu, menjulang beringin raksasa yang nampak seram. Semburan lumpur, tak pernah berhenti keluar dari celah-celah akarnya.
Di antara letupan-letupan lumpur yang tak hentinya bergolak. Ada jemari-jemari kurus pucat, patah, keriput dan koyak, bengkak dan bernanah, mencakar-cakar, mengais-ngais lumpur. Kemudian, sikut lancip muncul ke permukaan, diikuti kepala tanpa rambut yang berkerut-kerut. Roji telah menggapai mimpinya.
Jemari-jemarinya yang patah, robek, bernanah, bengkak, dan nyaris membusuk, mengusap wajahnya perlahan. Ada yang terasa menghangat di permukaan kulitnya, Roji tersenyum merasakan apa yang tak pernah dirasakannya di kota bawah tanah.
“Cahaya…” ucap Roji, kepalanya mendongak ke langit sana, perlahan dibukanya kedua kelopak mata.
Cahaya matahari menyambutnya di atas sana. Cahaya matahari menghilangkan penglihatannya tanpa sisa, merenggut mimpinya sampai ke akar. Matanya kini menjadi buta, tak kuasa menerima terangnya milyaran cahaya. Sekejap, hanya sekejap belaka Roji melihat cahaya, hanya melihatnya untuk tidak bisa lagi melihatnya, selamanya. Selama-lamanya.

Bandung,  18 Januari 2013

*) Absurditas Mallka lahir di Karawang, bekerja di Panglima Ikan Bakar Madu - Bandung



Artikel keren lainnya:

Belum ada tanggapan untuk "Pemburu Cahaya (Ratusan Kilo Meter di Bawah Kota Sidoarjo) #Cerpen"

Post a Comment

Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar