IBX582A8B4EDEABB Lelaki yang Mencari Kekasih di Dalam Dadanya Sendiri (Cerpen) | Info Absurditas Kata Lelaki yang Mencari Kekasih di Dalam Dadanya Sendiri (Cerpen) - Info Absurditas Kata
Beranda · E-Mail Koran · Info Lomba · Kiat Menulis · Adsense · SEO Youtube · Jasa · Toko · Blog

Lelaki yang Mencari Kekasih di Dalam Dadanya Sendiri (Cerpen)

Lelaki yang Mencari Kekasih di Dalam Dadanya Sendiri
Absurditas Malka*

Jantungmu berdenyut-denyut di genggaman tangan, tak ada kekasih di sana. Hanya ada gerigi mesin berputar dengan suara berderak-derak serak. Beberapa kabel dan selang putus tak terurus setelah berkali-kali patah hati. Di dalam dada lelaki, kekasih hanyalah udara, dihirup diembuskan.

---

“Kamu tidak akan menemukan kekasih di dalam dada sendiri.”
Begitulah kata Emak, ketika melihatmu membongkar isi dada sendiri di atas meja makan. Kekasihmu hilang tanpa jejak sejak tiga hari lalu. Kamu harus mencarinya, di dalam dada sendiri, kamu mencarinya.
Sekrup, mur, dan baut menggunduk di dalam mangkuk, lengkap dengan lumuran darah yang mulai menghitam. Urat-urat, selang bening, dan kabel melilit sendok di dalam gelas. Lempengan dada bertumpuk di atas nampan, lalat-lalat hinggap di atasnya, jilati tulang dan sel-sel darah yang perlahan membusuk. “Aku akan menemukannya. Nanti Emak harus lihat, ia sangat cantik.” Kamu selalu yakin, di bilik dadamulah kekasih bersembunyi.
Emak tidak bicara lagi, berlalu, menuju ruang tamu. Gerendel berbentuk angka delapan berputar-putar di punggunnya, suaranya berkeletek-keletek seperti mesin tua kurang oli.
Kedua tanganmu tak hentinya mengubek isi dada. Dari dalam dada, kamu menemukan banyak benda, semuanya disimpan di dalam baskom kuning di tengah meja makan, ada buku sastra, kliping koran, foto calon presiden, beberapa perempuan, pepohonan, kecoa, dan beberapa binatang langka yang terancam punah.
“Aku mencintaimu, bilau kamu tak percaya, belahlah dadaku. Kamu akan menemukan dirimu sendiri, di dalam dadaku hanya ada kamu.”
Sebelum kekasihmu hilang tiga hari lalu, dengan mata kepala sendiri kamu melihatnya membelah dada sendiri. Kekasihmu mengeluarkan banyak namamu dari dalam dadanya. Di jantungnya, di paru-parunya, di usus-ususnya, di lambungnya, di hatinya, ada banyak namamu di sana, teramat sangat banyak. Bahkan di setiap buliran sel darah yang merah dan putih, kamu bisa melihat namamu tertulis di sana. Hanya ada kamu, tidak ada sosok lain. Seakan jumlah dirimu sama banyaknya dengan semua sel tubuh kekasih.
“Kenapa di dalam dadaku tidak ada kekasih?” Kamu mulai kesal, tanganmu pegal mengubek-ngubek dada sendiri. Kekasih yang dicari tak juga ditemukan.
***
            Mencari kekasih di dalam dada sendiri rupanya tak lebih mudah dari mencari selembar jerami di gunungan jarum. Selama tiga hari kamu tidak pernah menemukannya. Sudah berkali-kali kamu membongkar-pasang dada sendiri, nihil. Kamu tentu tidak akan menyerah, kamu akan mengubek setiap organ di dalam tubuhmu. Mungkin kekasih berada di dalamnya, ngumpet di dalam jantung, atau tiduran di dalam paru-paru. Mungkin saja.
            Jantung berlumur darah kamu cengkeram dengan tangan kiri, kabel-kabel yang rumit diurai perlahan oleh tangan kanan. Setelah terbuka cukup ruang, kamu raih obeng kembang, sekrup penutup jantung dibuka perlahan. Setelah beberapa jeda, semua sekrup terlepas dikumpulkan di atas pisin. Lalat-lalat berdesing di atas meja makan, mengerumuni organ tubuh. Lalat paling gendut seloyongan, lalu jatuh ke lantai sepertinya lalat itu kehabisan setrum. Booom! Tubuhnya meletup, hancur berserakan di lantai dapur.
“Semoga aku menemukan kekasih di dalam jantungku sendiri.” Kamu tersenyum penuh harap.
Jantung yang sudah tidak bersekrup kamu genggam dengan kedua tangan, kamu tarik kedua sisinya ke arah berbeda. Piring kaca bening sudah menunggu di atas meja, menunggu isi jantung yang akan dikeluarkan. Kraaak… Setelah berkeletak yang cukup keras, kamu berhasil membukanya menjadi dua bagian terpisah. Ratusan nama keluar dari dalam jantung, bertumpuk di atas piring. Kamu tersenyum, jantung yang terbuka kamu simpan di atas mangkuk dengan hati-hati, kabel dan selang bening yang rumit dan panjang terhubung ke dadam dadamu.
“Nita, Marni, Ningsih, Ramdan, Dewi, Aksan, Ratna, Mulan, Tria, Nadin, Fetima, Alya, Narina, Rustini, Mirda, Jeni, Ahmad.”
Ada banyak nama di dalam piring, satu demi satu kamu pilah. Kamu tekun membaca nama-nama itu, sesekali tersenyum, meledak dalam gelak, kadang tiba-tiba menjadi murung.
“Talia…” Tanganmu cukup lama memegangi nama itu.
            Kamu termenung, cahaya matamu seketika temaram menjadi 5 watt. Talia, kekasih paling cantik, seharusnya menjadi istrimu. Hanya saja tawaran nyaleg menjadi anggota DPR dari politikus kelas kakap, membuatnya sibuk dengan kekuasaan. Kamu terabaikan dan ditinggalkan, kini kamu hanya bisa melihatnya di layar kaca. Melihatnya menjadi bulan-bulanan wartawan dan media massa karena dikabarkan memakan uang anggaran belanja negara.
“Salma. Ha ha ha…” Kamu terbahak memandangi nama itu.
            Setelah kehilangan Talia, kamu menjalin asmara dengan perempuan berkulit langsat itu. Asmara yang kandas juga, ia menjadi selingkuhan bupati. Kamu tidak pernah melihatnya lagi setelah memergoki keduanya tengah bermain kuda-kudaan di dalam mobil. Hanya ingatan buruk saja yang tersisa, seburuk perasaan ketika kamu melihat kekasih sendiri menjadi kuda orang. Sakit!
            Nama-nama di atas piring tinggal beberapa saja, kamu belum menemukan kekasih. Kamu pura-pura tenang, berharap agar satu di antara beberapa nama yang tersisa itu adalah kekasih. Semoga.
***
            Kabel menjuntai panjang, keluar dari punggungmu, terhubung ke terminal listrik di dinding, bersebelahan dengan catu daya lemari es. Biasanya kamu mengisi energi secara manual dengan memutar gerendel di punggung tapi sekarang kamu sedang sibuk.
            Ponsel pintar di atas meja menjerit-jerit, banyak orang menelepon, mengirim SMS, pemberitahuan dari berbagai jejaring media sosial, semuanya kamu abaikan. Ponsel itu sudah ratusan kali menjerit, wajahnya terlihat lesu, tak segar lagi, keringat sebesar biji jagung meremang di sekujur tubuh ponsel. Air mukanya menegaskan rasa kesal kepadamu. Keringat nyaris membuat ponsel itu basah, mungkin karena terlalu banyak menerima perintah atau mungkin karena udara dapur yang panas. AC yang naplok di beberapa ruangan, termasuk dapur, sudah tidak sanggup lagi bekerja, lebih dari satu minggu lalu mereka diterjang penyakit demam berdarah.
Ponsel pintarmu mati ketika itu juga, dikerubuti semut dan lalat dijadikan santapan lezat. Mati merana karena tak sanggup lagi menerima berjubalnya pesan masuk, panggilan tak terjawab, dan pemberitahuan dari banyak media sosial. Kamu tak peduli, tidak akan ada kekasih menelepon atau mengirim pesan. Kekasihmu sudah hilang tiga hari lalu.
Kamu sudah selesai menelisik nama-nama di dalam piring, tidak ada kekasih. Kamu termenung bingung, rasa frustrasi tiba-tiba membelukar di dalam dada yang memang sedang acak-acakan. “Lain kali, aku pasti menemukanmu kekasih.” Kamu bergumam, menghibur diri sendiri.
Perlahan organ-organ yang berserakan kembali dirapikan. Sekrup, mur, dan baut semuanya sudah terpasang dengan benar. Ritsleting yang membelah dadamu telah dirapatkan, lumuran darah yang melumer ke perut telah dilap dengan perca. Kamu kembali bersih, kembali rapi, hanya hati saja yang murung, tak berhasil menemukan kekasih. Besok kamu akan mencarinya lagi, ya besok. Sekarang hari sudah terlalu sore.
***
            “Kekasih, di mana kamu?” Kamu bergumam-gumam sendirian. Di beranda rumah termangu-mangu. Mesin-mesin di dalam tubuhmu berderak-derak lambat. Galau membuat besi dan baja di dalam tubuhmu, terasa memar, menjadi berkarat lebih cepat. Tak ada yang kamu kerjakan selain melamun, menatapi apa saja yang terjadi di pekarangan. 
            Selembar daun rambutan di depan rumah, terpetik angin dari rantingnya, jatuh berdenting membentur lantai. Kamu menatapi pohon itu, umurnya sudah 25 tahun, kian hari mesin-mesin yang tertanam dalam pohon kian terdengar bising, mungkin sudah terlalu tua, mungkin sedang sakit. Kamu belum sempat memeriksanya. Kamu hanya sempat memindahkan kabel-kabel dan selang-selang di dalam akar pohon itu ke dekat kolam depan rumah, agar lebih mudah menyerap air. Kamu sedang galau, tidak ada tenaga untuk mengurus pohon dan tanaman.
            Beberapa bendera berisi wajah capres dan caleg terlihat ramai di seberang jalan. Wajah-wajah di dalam bendera itu tak hentinya berorasi, mulut mereka berbusa-busa ingin meyakinkan siapa saja agar memilihnya. Setelah lelah dan haus berorasi, foto itu akan menelan banyak oli. Sepanjang siang dan malam, wajah-wajah itu akan terus berorasi, mereka hanya akan berhenti saat tangan seseorang merenggut atau membakarnya.
            Seekor anjing berlari canggung, gerendel berbentuk angka delapan di punggungnya berputar ragu-ragu, sesekali kencang, sesekali lambat. Ketika tepat berada di depanmu, anjing itu melolong-lolong, “Toooooooot tot tot tooooooot!” Mungkin ada iblis di dalam dirimu, sampai-sampai anjing itu tak hentinya melolong, “Tooooooooooooot toooooooot.” Anjing itu tidak pernah tahu, kamu juga melolong-lolong di dalam hati sendiri, memanggil kekasih.
Daun-daun pepohonan rindang di sepanjang tepian jalan, berkilauan ditempa cahaya rembulan. Ketika angin berembus menerpa daunan, terdengarlah denting ritmis, magis. Denting ribuan besi dan baja di tengah malam, suaranya seperti desing samurai, mencacah hati yang sunyi menjadi serpih. Cahaya di matamu semakin temaram, denyut di jantungmu berdetak lebam. Tak hentinya kamu bertanya-tanya, perihal kekasih yang hilang tanpa karena.
***
            Kamu telah membongkar semua tubuh, dari ujung kaki sampai ke ujung kepala. Kekasih yang sedang dicari tak kunjung ditemukan, hatimu meracau, dilanda galau. Dunia seketika terasa pekat, gelap gulita. Ruang dan waktu berputar-putar membuat pusing isi kepala.    Blaaaaar! Kamu meledak, terlempar ke ruang maha terang.
Kamu berpikir dirimu telah hancur, menjadi rongsokan. Kamu sesenggukan dan tak sadar bahwa kamu baru saja dikeluarkan dari dalam dada kekasih. Bahwa kamu kini berada di genggaman tangan kekasih. Sepasang mata kekasih yang penuh cahaya, menatapi kamu penuh cinta. Di dalam genggaman kekasih, kamu tak ubahnya sebiji titik di selembar kertas A0, begitu kerdil.
            “Aku tak pernah hilang, aku selalu menyimpanmu di dalam dadaku sendiri.” Ucap kekasih, suaranya yang lembut membuat besi dan baja dalam tubuhmu bergeletar. Kamu rupanya tak pernah kehilangan sesiapa, kamu hanya kehilangan dirimu sendiri.
           
 Bandung, 19 Maret 2014


 *) Absurditas Malka lahir di Karawang, menulis cerpen dan carpon di beberapa media massa, bekerja di PKL Panglima Ikan Bakar Bandung.

Artikel keren lainnya:

Belum ada tanggapan untuk "Lelaki yang Mencari Kekasih di Dalam Dadanya Sendiri (Cerpen)"

Post a Comment

Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar