IBX582A8B4EDEABB Perempuan Penabur Hujan (Cerpen) | Info Absurditas Kata Perempuan Penabur Hujan (Cerpen) - Info Absurditas Kata
Beranda · E-Mail Koran · Info Lomba · Kiat Menulis · Adsense · SEO Youtube · Jasa · Toko · Blog

Perempuan Penabur Hujan (Cerpen)

PEREMPUAN PENABUR HUJAN
Absurditas Malka*

Setelah kamu pergi, ia baru menyadari bahwa kamulah yang diam-diam menaburkan hujan di dalam dadanya. Hujan dingin yang perlahan-lahan menenggelamkannya ke dalam sunyi. Ke dasar kesendirian paling nyeri.
--- 

            “Apa pun yang kamu ketahui tentangku, lupakan semuanya.”
            Kalimat itulah yang terakhir kamu dengar dari mulutnya. Tidak akan ada sesuatu apa pun yang bisa mengubah pendiriannya. Apa yang dikatakannya, didukung oleh segenap tubuh dan jiwanya. Kamu tidak berkata sepatah pun. Kamu bertahan sekuat tenaga untuk tidak menoleh ke arahnya, tidak sedikit pun.
            Kakimu terasa beku, berat, kamu seret untuk berjalan, meninggi tangga bus yang saat itu rasanya seperti mendaki julangan gunung tinggi. Ada banyak kursi kosong di dalam bus, kamu memilih kursi paling depan agar tak melihatnya, tapi sudut-sudut matamu masih saja menangkapi kehadirannya di luar sana. Perlahan, sangat perlahan, deretan bangku tunggu di terminal bergerak ke belakang, begitupun gedung-gedung, etalase toko-toko, ratusan orang, semuanya seperti bergerak ke belakang ketika mobil bus yang kamu tumpangi melaju perlahan. Ia di luar sana berdiri beku, tanpa lengan yang melambai-lambai, dingin dan angkuh. Bus melaju semakin kencang menuju depan, sementara apa yang berada di luar bus sana, terlihat semakin kencang menuju ke belakang. Begitupun kenangan, kamu melarikannya jauh ke ruang ingat yang paling silam.
“Selamat tinggal, Jakarta…” gumammu, ragu dan perih.
Gumam itu menjadi gema di ruang kosong di dalam dada sendiri. Tatap matamu tak pernah lepas dari jendela kaca, mencari sesuatu yang bisa meyakinkanmu, bahwa kelak, besok, dan selama-lamanya kamu tidak akan pernah lagi kembali ke Jakarta. Kamu tak menemukan apa pun di luar bus, kamu hanya bisa merasakan bahwa saat itu, kamu hanya ingin meninggalkan Jakarta, bergerak semakin jauh. Semakin menjauh. Sejauh-jauhnya yang kamu bisa.
Kriiiiiiiiing… Kriiiiiiiiiiiiing…
Ponselmu berdering, kamu merogoh saku celana, mengeluarkannya dari dalam saku. Kamu menatapi layar ponsel, sederet nama tertulis di sana. Ia entah kenapa, tiba-tiba meneleponmu. Kamu tertegun, jemarimu gamang menentukan pilihan, menerimanya, menolaknya, atau membiarkan panggilan itu berdering kesepian.
“Adakah sesuatu yang belum dia katakan? Atau adakah sesuatu yang kutinggalkan?” Kamu menerka-nerka. Jemarimu membeku.
Kriiiiiiiiing… panggilan kesekian. Layar ponsel kembali berdenyar, begitupun namanya. Kamu mematikan ponsel, menyimpannya ke dalam tas, di tumpukan paling bawah.
***
            “Akhirnya, Bunda bisa melihatmu lagi. Tinggallah di sini sesuakmu, jangankan sehari atau seminggu, selamanya kamu boleh tinggal di sini.” Bunda memelukmu hangat, peluk yang penuh harapan agar kamu benar-benar tinggal di sana untuk selama-lamanya.
            Kamu tidak bicara, kata-kata terbendung rasa sesak di dalam dada yang kini sudah menjangkau leher, kamu kesusahan untuk bicara sekadar sepatah kata. Perempuan itu yang menyebut dirinya sendiri bunda, begitupun kamu memanggilnya. Perempuan itu bukan siapa-siapa, bukan ibumu, bukan pula saudaramu, tak ada pertalian darah. Perempuan itu hanya orang asing yang memiliki banyak ruang untuk menyimpanmu dalam hatinya, begitupun di dalam rumahnya. Kamu hanya orang beruntung yang mengenalnya, merasakan kebaikan-kebaikannya. Ia sendiri yang memintamu memanggilnya bunda, mungkin karena ia tidak pernah memiliki anak, atau mungkin karena kamu yang sebatang kara.
            “Bunda… seharusnya aku menuruti perkataan Bunda dahulu. Kini sudah terlambat, kini rasa sesal tiadalah berguna.” Setelah waktu disesaki hening sekian lama, akhirnya kamu bicara, “Ia… lelaki yang salah.” Lanjutmu, terisak.
            “Lelaki itu?” tanya Bunda, memeriksamu.
            Kamu tidak bicara, hanya kepala saja yang bergerak mengangguk. Sudut-sudut matamu merajahkan bulir bening yang meleleh perlahan, sebelum bulir bening itu melumer ke pipi dan dagumu, lekas-lekas kamu menyekanya dengan punggung tangan.
            Bunda menggeser tubuhnya, terduduk lebih dekat, tangannya bergerak lembut mengusap bahumu, memelukmu. Seketika, kamu merasa berada di tempat yang benar, berada dalam pelukan paling kokoh ketika segalanya telah hancur berserakan. Jauh di lubuk hatimu, kamu bersyukur, masih ada rumah yang mau menerimamu pulang. Masih ada seseorang yang tangannya selalu terbuka mengulurkan sekadar pelukan.
***
            “Tadi ada yang datang, dia menitipkan ini.”
            Bunda berhambur ke mulut pintu memburumu yang baru pulang setelah berjalan-jalan tak keruan di kompleks perumahan. Kamu bukan tipe manusia yang mengurung diri ketika merasa tertekan, kamu selalu lebih suka bergerak, mencari ruang kosong, menatapi denyut kehidupan di luar sana. Selalu begitu.
            “Siapa Bunda?”
            “Tidak tahu, katanya nanti kamu juga tahu sendiri setelah membaca surat ini. Dan katanya lagi, tolong hidupkan ponselmu.” Bunda menyodorkan amplop yang masih tersegel.
            Kamu meraihnya, segera membuka isi suratnya. “Tidak mungkin, bagaimana ia bisa tahu aku pulang ke rumah Bunda?” Gumammu.
            “Kamu mungkin pernah bilang ke seseorang mau pulang ke sini?” Bunda rupanya mendengar ucapanmu.
            “Tidak Bunda, tidak satu pun yang tahu saya akan berangkat ke mana.” Kamu kini terduduk, membaca surat itu lebih khusuk. Dahimu memajang kerut, jantungmu menabuh dentam. Bunda menjauh, menuju ruangan lain, membiarkanmu sendirian membaca surat itu.
            “Lelaki celaka ini, apa sih maunya? Suratnya ngawur! Sialan!” kamu memaki-maki surat itu, tidak mengerti dengan maksudnya.
           
Kamu sudah bertindak bodoh, sangat bodoh.
            Aku tidak menyukai tindakan bodoh!

            “Siapa yang bertindak bodoh? Apa maksud semua ini?” Kamu meremas kertas itu, kesal, takut, marah, tak jelas apa yang sebenarnya dirasakan. Kamu coba mengingat perihal tindakan macam apa kiranya yang pernah kamu perbuat, tidak ada. Semuanya normal-normal saja.
Satu-satunya perbuatan yang disebut tindakan bodoh oleh lelaki itu, ya hanya satu. Melaporkan status pernikahan siri mereka kepada istri pertamanya. Tapi kamu tidak pernah melakukannya, tidak akan pernah. “Apa yang aku lakukan, Sadun bodoh! Aku tidak akan mengadukan kebejatanmu kepada istrimu, tidak akan pernah.” Kamu bergumam, merasa pusing.
***
            “Bereskan!” ucap Sadun, datar.
            “Selamanya?” tanya tiga lelaki dengan tubuh tegap, mereka semua memakai kaca mata hitam dan jaket kulit, satu di antaranya berwarna coklat kayu mahoni, dua lainnya memakai jaket warna hitam.
“Ya.” Sadun mengangguk tenang.
Tidak banyak yang mereka bicarakan, hanya kalimat singkat yang selalu terucap. Tak lama kemudian, ketiga lelaki itu melipir, meninggalkan ruangan. Pintu berderit terbuka, kemudian berderit lagi tertutup, punggung ketiga lelaki itu habis ditelan mulut pintu. Lelaki yang paling belakang, di pinggangnya terlihat menyelipkan sesuatu, mungkin pistol, mungkin sesuatu yang lain.
“Maafkan aku sayang, aku tidak mau terungkit.” Gumam Sadun, matanya menerawang, mengingat banyak hal.
“Aku sudah memaafkanmu berkali-kali, tidak ada ampun lagi. Ingat! Satu kesalahan saja, aku bisa mengirimkanmu ke penjara!” kalimat itu, selalu terngiang dalam telinga Sadun, menolak untuk pudar, menolak untuk hilang. Istrinya yang bekerja sebagai ketua Mahkamah Anti Korupsi, tahu benar bahwa ia sebenarnya koruptor kelas kakap. Tapi istrinya dengan segala cara, telah menyelamatkan hidupnya, melindunginya, menjauhkannya dari ancaman jeruji besi.
“Kamu akan malu jika suami sendiri dijebloskan ke penjara karena korupsi. Renungkan itu…” Sadun mencoba untuk bernegosiasi.
“Tidak peduli, aku tidak akan malu. Justru sebaliknya rakyat pada akhirnya akan memberikan tepuk tangan paling meriah, karena aku bersikap adil, tak pandang bulu.” istrinya berucap tegar.
Setelah percakapan beberapa tahun silam itu, setelah istrinya terdengar sangat bersungguh dengan ucapannya, Sadun tetap saja menggila. Ia menikahi banyak perempuan, memakan uang gelap yang dicurinya dari negara, mengadakan proyek fiktif, menipu, dan masih banyak kejahatan lain yang dilakukannya. Kejahatan kelas berat dengan jumlah uang yang memiliki sekian banyak deret angka nol.
“Julia, kamu terlalu tahu banyak hal.” Ia bergumam, dadanya terlihat kembung kempis menahan rasa sesak yang menjalar, “Selamat tinggal sayang.” Ia menutup mata, dirasa-rasakannya hujan yang kian hari kian deras mengguyur hatinya. Hujan yang menabur rasa sunyi.
Ia sudah kehilangan banyak hal, yang mewah, yang remeh temeh, apalah artinya semua itu, besok lusa bisa mendapat gantinya. Kehilangan Julia, seakan kehilangan segala-galanya. Ya, perasaan berhujan di dalam dadanya itu, datang bersama hilangnya Julia. Seolah perempuan itu dengan sengaja menaburkan hujan di jantungnya.
***
            Kamu mendengar tiga langkah berat di luar sana, meskipun seperti mengendap-endap, tetap saja kamu bisa mendengarnya. Malam terlalu malam, terlalu sunyi, suara sepatu bot yang beradu dengan muka lantai menimbulkan suara juga meskipun sepertinya kaki-kaki di luar sana berupaya sebisa mungkin untuk tak bersuara. Telingamu ditajamkan, suara itu semakin mendekat. Berada di depan pintu.
            Klek.. Klek…
            Kamu mendengar bunyi berkeletek, melihat gagang pintu diputar dari luar, masih terkunci. Kamu bergetar, teringat lagi surat itu. Apakah seseorang di luar sana ada hubungannya dengan selembar surat kaleng tempo hari?
            Klek… gagang pintu kembali diputar, masih terkunci. Kamu semakin bergetar, perlahan-lahan kamu berdiri dari sofa, majalah di tanganmu terlihat bergeletar. Matamu menelagakan rasa takut yang kelam, tak lepas menatapi gagang pintu yang dibuka dari luar. Kamu melangkah mundur, meninggalkan ruangan depan. Ponselmu tertinggal di meja, tertangkup, kamu sudah terlambat untuk mengambilnya. Setelah berada di ruangan lain, kamu begitu jelas mendengar derit suara pintu yang sudah terbuka. Beberapa langkah kaki terdengar masuk ke dalam rumah, mengendap-endap. Pintu kembali berderit, tertutup. Sunyi.
            Kamu tidak bisa melihat apa-apa lagi, terpejam bersama segala macam perasaan malang. Kamu ingin berteriak, ingin menangis, ingin berlari, tapi kamu membeku, menyembunyikan tubuhmu di ruangan lain, berharap siapa pun yang telah menerobos masuk ke dalam rumah tak pernah menemukanmu. Telingamu semakin menajam, suara langkah kaki terdengar semakin dekat. Semakin mendekat. Terasa bagaikan mereka telah berada di depanmu tanpa jarak.
***
            “Beres…”
            Ucap lelaki bertubuh paling jangkung. Hanya itu yang dikatakannya, matanya memberi isyarat agar mereka segera meninggalkan rumah.
            Malam semakin malam, sunyi semakin bercucuran. Tidak ada suara lagi di dalam rumah. Begitupun di luar sana, hanya sunyi.       Ketiga lelaki itu berjalan tenang, meninggalkan pekarangan rumah, menuju gerbang kompleks yang sunyi. Tidak ada sesiapa di jalanan sana, hanya ada mereka dan dinginnya malam.
***
            “Julia…” Sadung menyebut namamu, tenang, sangat tenang.
            Di depannya layar televisi menayangkan berita pembunuhan sadis. Seorang perempuan muda tewas dengan luka tembakan di kepala, di dalam kamar mandi. Dan seorang perempuan tua, tewas dengan leher nyaris putus, di atas tempat tidurnya sendiri. Kamu sudah menjadi berita.
Sadun tersenyum, dinikmati tayangan berita, disesapnya lagi kopi yang masih mengepulkan uap, bibirnya tak henti tersenyum hambar, tenang, sangat tenang. Dingin.
            “Selamat tinggal sayang…” Sadun menyesap lagi kopinya, tak sejenak pun melepaskan tatapnya dari layar televisi.
***
 “Aku sudah membunuhmu! Aku sudah membunuhmu!”
Sadun terkalap-kalap, ketika kamu menyembul dari mulut pintu ruangan kerjanya. Kamu hanya tersenyum, menatapinya dengan sorot yang amat sangat datar.
“Kamu sudah mati!” Sadun berteriak ketakutan, telunjuknya menuduh-nuduh kalap.
Kamu tak bergerak sedikit pun. Hanya bersandar di daun pintu yang kini sudah tertutup. Kamu menatapinya, tersenyum kepadanya. Dan setelah beberapa saat, kamu bergelisir mendekatinya.
“Aku akan membunuhmu lagi!”
Sadun semakin kalap, ia tergopoh-gopoh menarik-narik laci di bawah meja, diraihnya pistol berwana perak. “Mati kau!” teriakannya terdengar penuh getar, gentar. Jemarinya bergeletar menarik pelatuk. Klek!
Peluru melesat ke jantungmu. Hanya butuh hitungan detik untuk menempuh jarak antara laras pistol dan detak jantungmu. Kamu hanya tersenyum, tanpa rasa takut, tanpa menutup  mata.
  “Mati kau!” Sadun kembali menembaki sekujur tubuhmu, beruntun, berkali-kali.  
“Sadun, pistol tidak akan mampu membunuh orang yang sudah mati, tidak juga mampu membunuh cinta yang membara.” Kamu bergelisir lagi, kini berdiri tepat di seberang mejanya. Air yang dingin, bercucuran deras dari lubang-lubang peluru yang mencabik tubuhmu.
“Aku ingin melihatmu tenggelam, aku ingin hujan membawamu ke sisiku. Rasakanlah hujan yang kutabur di dalam dadamu, perlahan-lahan akan menenggelamkanmu. Aku menunggumu, Sadun sayang. Aku menunggumu.” Kamu tersenyum dingin.
Hujan di dalam dada Sadun, kini semakin membadai. Menenggelamkan jantungnya, merendam parunya, mengembungkan usus-ususnya. Air hujan membuatnya tenggelam, ditelan dingin, karam ke dalam sunyi paling sunyi.
Klek!
Hujan berderai dari lubang di kening Sadun. Menetes di atas meja. Merah, warnanya sangat merah, sebagaimana merahnya darah.


Bandung, 3 Oktober 2013

Artikel keren lainnya:

Belum ada tanggapan untuk "Perempuan Penabur Hujan (Cerpen)"

Post a Comment

Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar