IBX582A8B4EDEABB Anak-Anak Angin (Cerpen Absurditas Malka) | Info Absurditas Kata Anak-Anak Angin (Cerpen Absurditas Malka) - Info Absurditas Kata
Beranda · E-Mail Koran · Info Lomba · Kiat Menulis · Adsense · SEO Youtube · Jasa · Toko · Blog

Anak-Anak Angin (Cerpen Absurditas Malka)

https://www.youtube.com/watch?v=RI3-AZVn8KY
Ada semesta lain di dalam diriku, lengkap dengan matahari, langit, bumi, dan kehidupan di dalamnya. Semesta yang kelak akan menjadi muasal dari anak-anak angin.

*

            Ada Matahari, Rembulan, dan Bintang di sekitarku. Ketiganya adalah cahaya yang selalu memberi perasaan benderang, siang maupun malam. Ketiganya adalah anak-anakku, anak-anak angin.
            “Ibu, kapan Ayah pulang?”
            Ah, pertanyaan itu seakan tiupan sangkakala, merobohkan rusuk-rusuk di dadaku yang kiri dan kanan. Aku tidak pernah tahu, kapan waktu yang tepat untuk menceritakan apa yang sebenarnya. Aku tidak pernah siap untuk menceritakan siapa ayah mereka.
Ayah mereka bukan lelaki yang tegap membelah cahaya pagi menuju tempat kerja setelah melabuhkan ciuman di kening anak-anaknya. Bukan pula lelaki yang menjelang magrib, menyeruak membelah senja kemudian mengetuk pintu dan menabur pelukan untuk anak-anaknya. Ayah mereka tidak seperti itu, tidak akan pernah begitu.
Ayah ketiga anakku adalah angin, angin sialan! Itu sebabnya aku tidak pernah siap untuk menjawab pertanyaan anak-anakku perihal ayahnya. Bagaimana anakku yang baru berumur 9, 6, dan, 3 tahun, bisa memahami kenyataan absurd itu?
Aku sendiri tak pernah cukup akal untuk menerima kenyataan, bahwa angin sialan itulah yang telah menanam benih di semesta terkokoh dalam diriku. Angin sialan yang berembus entah dari mana, kemudian pergi entah kemana. Angin sialan!
***
            Kegilaan itu aku sadari pada suatu senja. Ada yang asing dengan seisi ruangan di dalam rumah. Aku melihat banyak jejak, melihat tanda-tanda seseorang telah masuk ke dalam rumah. Aku melihat asbak berisi sepotong rokok yang masih mengepul, segelas kopi hitam yang masih hangat, koran yang baru dibuka halaman pertamanya saja.
            “Randi, kapan kamu datang?”
            Aku mendongak-dongak ke tangga, siapa lagi yang masuk ke dalam rumah selain Randi, adikku. Tak ada jawaban dari bawah sana, kakiku dipacu pertanyaan, gesit menitinya, mencari-cari adikku. Tak ada sesiapa pun, tak ada adikku di lantai bawah, tidak juga di ruangan lain. Aku kembali ke lantai atas, tubuhku bergetar, panas dingin tak jelas kurasakan. Kalau bukan Randi, mungkinkah itu hantu atau jin?
            “Apakah kamu mencariku?”
Suara seorang lelaki, terdengar tepat di sebelah kananku yang tak ada siapa-siapa. Aku menjerit, aku terhentak, aku terjengkang. Tubuhku seharusnya jempalitan di anak tangga, meluncur ke bawah dengan kepala terbentur-bentur lantai kemudian berhenti setelah punggungku membentur tembok bersama rasa sakit yang amat sangat.
Rupanya tidak, tubuhku melayang. Aku bisa merasakan ada tubuh lain yang membopongku, ada jemari kokoh yang menahan tubuhku agar melayang di udara.
“Aku pasti mengejutkanmu, seharusnya aku tidak langsung menyapamu.”
Aku mendengar suara itu lagi. Aku berteriak histeris, kemudian hilang kesadaran. Ketika terjaga, sebuah kain lap hangat melayang-layang di udara, kemudian mengusapi wajahku agar kembali segar. Aku kembali hilang kesadaran.
Begitulah, angin sialan itu datang, entah datang dari mana. Bagaimana semua kegilaan absurd itu harus kuceritakan kepada ketiga anakku, Matahari, Rembulan, dan Bintang? Bagaimana?
***
            “Selama ini, aku seringkali datang ke rumahmu.” Ucap angin sialan itu.
Setelah berkali-kali angin sialan itu membuatku jatuh pingsan, akhirnya aku terbiasa menerima kehadirannya. Tentu, aku hanya bisa mendengar suaranya saja, tak pernah melihat rupanya, hanya bisa merasakan bahwa ada jemari yang menggenggam tanganku, ada jemari yang mengusap rambutku, ada sesosok angin. Ya sesosok angin, angin sialan yang duduk tanpa jarak di sebelahku. “Aku tahu bagaimana rasanya sendirian.” Lanjutnya.
            “Tunggu sebentar, kamu bilang sering  masuk ke rumahku? Kamu tidak masuk ke kamar mandi bukan?”
            “Aku bisa berada di mana saja, termasuk di kamar mandi.”
            “Kamu mengintipku?”
            “Aku tidak mengintip, aku melihatmu.”
            “Sialan!” Tanganku melayang, ingin menggampar wajah angin sialan itu, aku hanya menampar kekosongan. Angin sialan terkekeh menertawakanku, suaranya terdengar seperti dari depan, dalam sekejap seakan berada di belakang, kadang sangat jauh, kadang senyap.
            “Perlihatkanlah wujudmu, aku harus menamparmu karena perbuatanmu itu.” Aku pura-pura murka agar tidak tampak murahan, seharusnya aku biarkan saja toh yang melihatku hanyalah angin.
            Sebuah ciuman terasa hangat di pipiku yang kiri, kurang dari sedetik berpindah ke pipi kanan, kurang dari sedetik kemudian menghangati keningku. Setiap kecupan itu berpindah, setiap itu pula kudengar bisikan lembut, “Aku sayang kepadamu.”
            Entahlah, aku ini gila atau bodoh. Aku menyerah saja ketika tangan-tangan yang sepoi memelukku dengan sangat, sangat, sangat lembut. Aku merasa berbahagia ketika satu demi satu kancing bajuku tanggal tanpa seseorang yang menyentuhnya kecuali angin. Aku semakin berbahagia ketika tubuhku melayang di dalam ruangan, menuju kamar. Menuju semesta lain, semesta yang menjadi muasal dari ketiga cahayaku.
***
            Aku tidak pernah menceritakan semua kegilaan itu,  tidak kepada kedua orang tua, tidak kepada keluarga, tidak pada tetangga, tidak pula pada sahabat dunia maya. Apa lagi kepada anak-anakku, bagaimana mereka bisa mengerti? Aku sendiri tidak mengerti.
            “Aku hamil.”
            Aku merasa menjadi mahluk hidup paling sia-sia ketika kusampaikan kabar itu. Aku berharap angin sialan itu tiba-tiba menderu di dalam ruangan karena kegirangan, atau setidaknya berembus sepoi karena riang. Rupanya aku hanya bicara sendirian. Namanya juga angin, bisa pergi kemana saja, bisa berada di mana saja. Glek, aku menelan ludah, menelan kesal.
            Angin sialan itu menghilang, tidak kurasakan lagi berembus di rumah atau di pekarangan. Aku pun tidak melihat jejaknya selama berbulan-bulan, tak ada gelas kopi hangat yang melayang-layang di di atas meja. Tak ada ketukan langkah di atas lantai, tak ada kepul asap di dalam asbak. Lenyap, tanpa jejak. “Bangsat!” Mau-maunya aku ditiduri angin sialan.
***
            “Ayahnya anak-anak belum ada waktu Bu. Masih sibuk kerja.”
            Berbohong lagi, lagi-lagi berbohong. Tidak hanya kepada ibu saja, aku selalu berbohong kepada banyak orang, entahlah seberapa banyak. Selain ketiga anakku, ibu adalah yang paling sering kubohongi perihal ayah dari ketiga anakku.
            Aku belum siap dikirim ke RSJ oleh ibuku sendiri ketika harus mengatakan kebenaran. Aku tahu tidak ada ibu yang memakan anak-anaknya tapi ibu yang mana yang bisa memahami kegilaan seperti yang terjadi kepadaku? Ibu siapa yang bisa menerima kenyataan bahwa anaknya melahirkan anak-anak angin. Mungkin hanya ibunya Siti Maryam.
            “Ibu nelepon ya?”
            Beledaaarrr! Tiba-tiba angin sialan itu mengagetkanku. Aku merasakan jemarinya yang sepoi mengusap-ngusap rahimku, mengusap semesta di dalamnya. Aku tiba-tiba saja kehilangan segala macam amarah, kehilangan segala kesal, kehilangan aneka dendam. Aku mungkin terlalu bodoh, begitu saja terbuai oleh sekadar belaian sepoi dari jemari-jemari angin.
            “Anak-anak kita akan menjadi anak-anak paling berbahagia di muka bumi.”  Bisik angin sialan itu.
            “Anak-anak kita? Satu anak saja sudah membuatku stress, kamu tidak mengerti bagaimana kalutnya akalku untuk mengatakan kepada dunia bahwa Ayah dari anak yang sedang kukandung ini, adalah kamu, adalah angin.” Seharusnya aku marah tapi aku hanya menangis dan menyerah, membiarkan jemari sepoi itu merajah tubuhku dengan perasaan entah.
            “Ketika anak ini lahir, kuharap kamu berada di sisiku. Genggami saja tanganku, tunggui suara tangisnya memecahkan nyeri.”
            Sial! angin sialan itu rupanya sudah pergi, lagi aku hanya bicara sendiri. Di dalam rahimku, di dalam semesta terkokoh yang kumiliki, aku merasakan kaki-kaki mungil menendang dinding-dinding perutku. Tidak lama lagi kaki mungil itu akan setiap hari kukecupi karena telah menendang-nendangku tiada henti.
***
            Begitulah kisah angin sialan itu, ia hanya datang sesukanya saja. Tidak sekali pun pernah datang saat aku melahirkan ketiga anakku, tidak satupun ia menunggui dan menyaksikan.
            Angin sialan itu hanya datang untuk memamah tubuhku yang kuning senja, menyesap betisku yang padi bunting, kemudian hilang, pergi tanpa permisi. Kurang ajar!
            Anak pertamaku, Matahari, kini sudah berumur 9 tahun. Tidak sedetik pun dalam hidupnya, ia berjumpa dengan angin sialan itu. Aku harap, tidak pernah.
Akan sia-sia kiranya semua dusta yang telah megah kutata bila anak-anakku tahu bahwa ayah mereka adalah angin. Sampai saat ini aku selalu memiliki banyak alasan untuk menyembunyikan apa yang benar. Aku harus memiliki segala macam alasan. Sekali lagi, aku tidak siap dan tidak akan pernah siap untuk menghuni bangsal perawatan mental.
***
“Bu, kami sudah bertemu dengan Ayah.”
Jegeeeeerrr!!! Aku merasa disambar ribuan halilintar di waktu bersamaan. Betapa kata-kata yang barusan kudengar dari mulut Matahari, adalah kejutan paling badai.
“Apa maksudmu, Nak?”
Aku tidak mengerti, mungkin saja yang dimaksudkan ayah oleh mereka bukanlah angin sialan itu, mungkin lelaki nyata yang mengaku-ngaku sebagai ayahnya. Mungkin saja, bukan?
“Ayah Angin.” Rembulan menjawab datar. Bintang yang mengkerut di belakang keduanya, terlihat semringah.
“Apakah Ayah menemui kalian?”
Ketiganya tidak satu pun yang bersuara, hanya mengangguk bersamaan. Aku memeluk mereka, “Apakah Ayah sekarang berada di sini?” lanjutku, gemetar.
“Iya, Ayah ada di sini.” Matahari memandangi udara di dalam rumah, sekan ia tengah menatapi sosok angin sialan itu.
Aku mendongak-dongak ke sekitar, celingukan, tidak ada yang bisa kulihat.
“Ibu tidak akan bisa melihat Ayah.” Rembulan mendongak ke langit-langit, begitupun kedua anak-anakku yang lain. Aku pun ikut mendongak, hanya lampu mati yang bisa kuliat di atas sana.
“Aku akan membawa mereka.”
Jeblaaarrr!!! Angin sialan itu benar-benar sedang berada di dalam rumah setelah bertahun-tahun tak pernah datang, tak pernah. Seandainya aku tahu dia datang untuk membawa Matahari, Rembulan, dan Bintang, aku akan membawa ketiga anakku ke ruang hampa, agar angin sialan itu tak bisa menemuinya. Tak pernah bisa.
Aku bergeletar, tangan-tanganku memeluk ketiga anakku, erat, sangat erat. Aku merasakan betapa tubuh mereka berembus sepoi-sepoi, meninggalkan lingkar tanganku yang kehilangan peluk. Hanya kekosongan, hanya kesunyian, hanya perasaan kehilangan dan serimba luka kini kupeluk di dalam dada.
Matahari, Rembulan, dan Bintang, pergi bersama angin sialan. Berdesir entah kemana. Berdesir menjadi angin. Sebagaimana angin.

Bandung, November  2014

Cerpen Anak-Anak Angin ini :D Semoga menginspirasi. Mangga nyanggakeun.

Artikel keren lainnya:

Belum ada tanggapan untuk "Anak-Anak Angin (Cerpen Absurditas Malka)"

Post a Comment

Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar