Ada semesta lain di dalam diriku, lengkap
dengan matahari, langit, bumi, dan kehidupan di dalamnya. Semesta yang kelak
akan menjadi muasal dari anak-anak angin.
*
Ada Matahari, Rembulan, dan Bintang
di sekitarku. Ketiganya adalah cahaya yang selalu memberi perasaan benderang,
siang maupun malam. Ketiganya adalah anak-anakku, anak-anak angin.
“Ibu, kapan Ayah pulang?”
Ah, pertanyaan itu seakan tiupan
sangkakala, merobohkan rusuk-rusuk di dadaku yang kiri dan kanan. Aku tidak
pernah tahu, kapan waktu yang tepat untuk menceritakan apa yang sebenarnya. Aku
tidak pernah siap untuk menceritakan siapa ayah mereka.
Ayah mereka bukan lelaki yang tegap membelah cahaya pagi menuju tempat
kerja setelah melabuhkan ciuman di kening anak-anaknya. Bukan pula lelaki yang
menjelang magrib, menyeruak membelah senja kemudian mengetuk pintu dan menabur
pelukan untuk anak-anaknya. Ayah mereka tidak seperti itu, tidak akan pernah
begitu.
Ayah ketiga anakku adalah angin, angin sialan! Itu sebabnya aku tidak
pernah siap untuk menjawab pertanyaan anak-anakku perihal ayahnya. Bagaimana
anakku yang baru berumur 9, 6, dan, 3 tahun, bisa memahami kenyataan absurd
itu?
Aku sendiri tak pernah cukup akal untuk menerima kenyataan, bahwa angin
sialan itulah yang telah menanam benih di semesta terkokoh dalam diriku. Angin
sialan yang berembus entah dari mana, kemudian pergi entah kemana. Angin
sialan!
***
Kegilaan itu aku sadari pada suatu
senja. Ada yang asing dengan seisi ruangan di dalam rumah. Aku melihat banyak
jejak, melihat tanda-tanda seseorang telah masuk ke dalam rumah. Aku melihat
asbak berisi sepotong rokok yang masih mengepul, segelas kopi hitam yang masih
hangat, koran yang baru dibuka halaman pertamanya saja.
“Randi, kapan kamu datang?”
Aku mendongak-dongak ke tangga,
siapa lagi yang masuk ke dalam rumah selain Randi, adikku. Tak ada jawaban dari
bawah sana, kakiku dipacu pertanyaan, gesit menitinya, mencari-cari adikku. Tak
ada sesiapa pun, tak ada adikku di lantai bawah, tidak juga di ruangan lain. Aku
kembali ke lantai atas, tubuhku bergetar, panas dingin tak jelas kurasakan.
Kalau bukan Randi, mungkinkah itu hantu atau jin?
“Apakah kamu mencariku?”
Suara seorang lelaki, terdengar tepat di sebelah kananku yang tak ada
siapa-siapa. Aku menjerit, aku terhentak, aku terjengkang. Tubuhku seharusnya
jempalitan di anak tangga, meluncur ke bawah dengan kepala terbentur-bentur
lantai kemudian berhenti setelah punggungku membentur tembok bersama rasa sakit
yang amat sangat.
Rupanya tidak, tubuhku melayang. Aku bisa merasakan ada tubuh lain yang
membopongku, ada jemari kokoh yang menahan tubuhku agar melayang di udara.
“Aku pasti mengejutkanmu, seharusnya aku tidak langsung menyapamu.”
Aku mendengar suara itu lagi. Aku berteriak histeris, kemudian hilang
kesadaran. Ketika terjaga, sebuah kain lap hangat melayang-layang di udara,
kemudian mengusapi wajahku agar kembali segar. Aku kembali hilang kesadaran.
Begitulah, angin sialan itu datang, entah datang dari mana. Bagaimana
semua kegilaan absurd itu harus kuceritakan kepada ketiga anakku, Matahari,
Rembulan, dan Bintang? Bagaimana?
***
“Selama ini, aku seringkali datang
ke rumahmu.” Ucap angin sialan itu.
Setelah berkali-kali angin sialan itu membuatku jatuh pingsan, akhirnya
aku terbiasa menerima kehadirannya. Tentu, aku hanya bisa mendengar suaranya
saja, tak pernah melihat rupanya, hanya bisa merasakan bahwa ada jemari yang
menggenggam tanganku, ada jemari yang mengusap rambutku, ada sesosok angin. Ya
sesosok angin, angin sialan yang duduk tanpa jarak di sebelahku. “Aku tahu
bagaimana rasanya sendirian.” Lanjutnya.
“Tunggu sebentar, kamu bilang
sering masuk ke rumahku? Kamu tidak
masuk ke kamar mandi bukan?”
“Aku bisa berada di mana saja,
termasuk di kamar mandi.”
“Kamu mengintipku?”
“Aku tidak mengintip, aku melihatmu.”
“Sialan!” Tanganku melayang, ingin
menggampar wajah angin sialan itu, aku hanya menampar kekosongan. Angin sialan
terkekeh menertawakanku, suaranya terdengar seperti dari depan, dalam sekejap
seakan berada di belakang, kadang sangat jauh, kadang senyap.
“Perlihatkanlah wujudmu, aku harus
menamparmu karena perbuatanmu itu.” Aku pura-pura murka agar tidak tampak
murahan, seharusnya aku biarkan saja toh yang melihatku hanyalah angin.
Sebuah ciuman terasa hangat di
pipiku yang kiri, kurang dari sedetik berpindah ke pipi kanan, kurang dari
sedetik kemudian menghangati keningku. Setiap kecupan itu berpindah, setiap itu
pula kudengar bisikan lembut, “Aku sayang kepadamu.”
Entahlah, aku ini gila atau bodoh.
Aku menyerah saja ketika tangan-tangan yang sepoi memelukku dengan sangat,
sangat, sangat lembut. Aku merasa berbahagia ketika satu demi satu kancing
bajuku tanggal tanpa seseorang yang menyentuhnya kecuali angin. Aku semakin
berbahagia ketika tubuhku melayang di dalam ruangan, menuju kamar. Menuju
semesta lain, semesta yang menjadi muasal dari ketiga cahayaku.
***
Aku tidak pernah menceritakan semua
kegilaan itu, tidak kepada kedua orang
tua, tidak kepada keluarga, tidak pada tetangga, tidak pula pada sahabat dunia
maya. Apa lagi kepada anak-anakku, bagaimana mereka bisa mengerti? Aku sendiri
tidak mengerti.
“Aku hamil.”
Aku merasa menjadi mahluk hidup
paling sia-sia ketika kusampaikan kabar itu. Aku berharap angin sialan itu
tiba-tiba menderu di dalam ruangan karena kegirangan, atau setidaknya berembus
sepoi karena riang. Rupanya aku hanya bicara sendirian. Namanya juga angin,
bisa pergi kemana saja, bisa berada di mana saja. Glek, aku menelan ludah, menelan kesal.
Angin sialan itu menghilang, tidak
kurasakan lagi berembus di rumah atau di pekarangan. Aku pun tidak melihat
jejaknya selama berbulan-bulan, tak ada gelas kopi hangat yang melayang-layang
di di atas meja. Tak ada ketukan langkah di atas lantai, tak ada kepul asap di
dalam asbak. Lenyap, tanpa jejak. “Bangsat!” Mau-maunya aku ditiduri angin
sialan.
***
“Ayahnya anak-anak belum ada waktu Bu. Masih sibuk
kerja.”
Berbohong lagi, lagi-lagi berbohong.
Tidak hanya kepada ibu saja, aku selalu berbohong kepada banyak orang, entahlah
seberapa banyak. Selain ketiga anakku, ibu adalah yang paling sering kubohongi
perihal ayah dari ketiga anakku.
Aku belum siap dikirim ke RSJ oleh
ibuku sendiri ketika harus mengatakan kebenaran. Aku tahu tidak ada ibu yang
memakan anak-anaknya tapi ibu yang mana yang bisa memahami kegilaan seperti
yang terjadi kepadaku? Ibu siapa yang bisa menerima kenyataan bahwa anaknya
melahirkan anak-anak angin. Mungkin hanya ibunya Siti Maryam.
“Ibu nelepon ya?”
Beledaaarrr!
Tiba-tiba angin sialan itu mengagetkanku. Aku merasakan jemarinya yang
sepoi mengusap-ngusap rahimku, mengusap semesta di dalamnya. Aku tiba-tiba saja
kehilangan segala macam amarah, kehilangan segala kesal, kehilangan aneka dendam.
Aku mungkin terlalu bodoh, begitu saja terbuai oleh sekadar belaian sepoi dari
jemari-jemari angin.
“Anak-anak kita akan menjadi
anak-anak paling berbahagia di muka bumi.”
Bisik angin sialan itu.
“Anak-anak kita? Satu anak saja
sudah membuatku stress, kamu tidak mengerti bagaimana kalutnya akalku untuk
mengatakan kepada dunia bahwa Ayah dari anak yang sedang kukandung ini, adalah
kamu, adalah angin.” Seharusnya aku marah tapi aku hanya menangis dan menyerah,
membiarkan jemari sepoi itu merajah tubuhku dengan perasaan entah.
“Ketika anak ini lahir, kuharap kamu
berada di sisiku. Genggami saja tanganku, tunggui suara tangisnya memecahkan
nyeri.”
Sial! angin sialan itu rupanya sudah
pergi, lagi aku hanya bicara sendiri. Di dalam rahimku, di dalam semesta
terkokoh yang kumiliki, aku merasakan kaki-kaki mungil menendang
dinding-dinding perutku. Tidak lama lagi kaki mungil itu akan setiap hari
kukecupi karena telah menendang-nendangku tiada henti.
***
Begitulah kisah angin sialan itu, ia
hanya datang sesukanya saja. Tidak sekali pun pernah datang saat aku melahirkan
ketiga anakku, tidak satupun ia menunggui dan menyaksikan.
Angin sialan itu hanya datang untuk
memamah tubuhku yang kuning senja, menyesap betisku yang padi bunting, kemudian
hilang, pergi tanpa permisi. Kurang ajar!
Anak pertamaku, Matahari, kini sudah
berumur 9 tahun. Tidak sedetik pun dalam hidupnya, ia berjumpa dengan angin
sialan itu. Aku harap, tidak pernah.
Akan sia-sia kiranya semua dusta yang telah megah kutata bila anak-anakku
tahu bahwa ayah mereka adalah angin. Sampai saat ini aku selalu memiliki banyak
alasan untuk menyembunyikan apa yang benar. Aku harus memiliki segala macam
alasan. Sekali lagi, aku tidak siap dan tidak akan pernah siap untuk menghuni
bangsal perawatan mental.
***
“Bu, kami sudah bertemu dengan Ayah.”
Jegeeeeerrr!!! Aku
merasa disambar ribuan halilintar di waktu bersamaan. Betapa kata-kata yang
barusan kudengar dari mulut Matahari, adalah kejutan paling badai.
“Apa maksudmu, Nak?”
Aku tidak mengerti, mungkin saja yang dimaksudkan ayah oleh mereka
bukanlah angin sialan itu, mungkin lelaki nyata yang mengaku-ngaku sebagai
ayahnya. Mungkin saja, bukan?
“Ayah Angin.” Rembulan menjawab datar. Bintang yang mengkerut di
belakang keduanya, terlihat semringah.
“Apakah Ayah menemui kalian?”
Ketiganya tidak satu pun yang bersuara, hanya mengangguk bersamaan. Aku
memeluk mereka, “Apakah Ayah sekarang berada di sini?” lanjutku, gemetar.
“Iya, Ayah ada di sini.” Matahari memandangi udara di dalam rumah, sekan
ia tengah menatapi sosok angin sialan itu.
Aku mendongak-dongak ke sekitar, celingukan, tidak ada yang bisa
kulihat.
“Ibu tidak akan bisa melihat Ayah.” Rembulan mendongak ke langit-langit,
begitupun kedua anak-anakku yang lain. Aku pun ikut mendongak, hanya lampu mati
yang bisa kuliat di atas sana.
“Aku akan membawa mereka.”
Jeblaaarrr!!! Angin
sialan itu benar-benar sedang berada di dalam rumah setelah bertahun-tahun tak
pernah datang, tak pernah. Seandainya aku tahu dia datang untuk membawa
Matahari, Rembulan, dan Bintang, aku akan membawa ketiga anakku ke ruang hampa,
agar angin sialan itu tak bisa menemuinya. Tak pernah bisa.
Aku bergeletar, tangan-tanganku memeluk ketiga anakku, erat, sangat
erat. Aku merasakan betapa tubuh mereka berembus sepoi-sepoi, meninggalkan
lingkar tanganku yang kehilangan peluk. Hanya kekosongan, hanya kesunyian,
hanya perasaan kehilangan dan serimba luka kini kupeluk di dalam dada.
Matahari, Rembulan, dan Bintang, pergi bersama angin sialan. Berdesir
entah kemana. Berdesir menjadi angin. Sebagaimana angin.
Bandung, November 2014
Cerpen Anak-Anak Angin ini :D Semoga menginspirasi. Mangga nyanggakeun.
Belum ada tanggapan untuk "Anak-Anak Angin (Cerpen Absurditas Malka)"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar