IBX582A8B4EDEABB Cerita Gerakan Lambat (Cerpen Absurditas Malka) | Info Absurditas Kata Cerita Gerakan Lambat (Cerpen Absurditas Malka) - Info Absurditas Kata
Beranda · E-Mail Koran · Info Lomba · Kiat Menulis · Adsense · SEO Youtube · Jasa · Toko · Blog

Cerita Gerakan Lambat (Cerpen Absurditas Malka)

oleh Absurditas Malka


Apa yang bisa dilakukan seorang lelaki untuk orang yang dicintainya, ketika maut hanya berjarak setebal rambut? Apa yang bisa dilakukan seorang lelaki, untuk mencegah bencana?  Apa yang bisa dilakukan lelaki untuk lebih lama bersama cinta, air mata?

***
Tiga detik setelah kendaraan Danar memasuki jalan layang dari arah Gedung Sate. Mobil sedan bercat putih susu, menyalip dari sebelah kanan. Suara mesinnya mendesis, lembut, sangat lembut. Logo mahal terpampang di pantat mobil itu. Di belakang kemudi, Danar menelan ludah. Entah seberapa banyak lagi proyek siluman harus dibuatnya untuk bisa membeli mobil mewah itu? Entah pejabat negara mana lagi yang harus dijilatnya untuk bisa membeli mimpiny aitu?
Danar melirik kaca spion, terbayang wajah Johny, artis sinetron yang sudah menerima uang muka 33 juta rupiah untuk menemaninya menginap di hotel, besok malam. Danar menelan ludah lagi, berahi bergelegak di dalam dadanya.
Jalanan lengang, hari masih sangat pagi.  Danar menggenjot gas, mobil melesat. Ia ingin hari ini segera berakhir, ingin segera  besok, ingin keceriaan keluarganya segera selesai, ia ingin segera meniduri Johny. Keceriaan keluarga yang baginya adalah omong-kosong paling bolong.
Kecepatan bertambah, mesin menderu. Mobil seakan melayang terbang. Kecepatan berada jauh di atas angka 100 kilometer perjam. Tetap saja, waktu di dalam dada Danar berdetak teramat sangat lambat. Seakan tiada pernah bergerak. Seolah ia sedang menempuh perjalanan di lautan lem paling lekat.
***
“Kau tahu sendirilah, Maya. Peranku tidak hanya dalam dunia bisnis, aku harus ke dunia politik juga. Dan kamu tahu, dunia politik itu kejam. Segala cara dilakukan untuk mengalahkan lawan. Jadi semua berita itu, omong-kosong saja.”
“Omong kosong? Aku tidak seharusnya percaya pada miliarder busuk seperti kamu ini! Siapa lelaki-lelaki cantik itu?” Maya murka.
Berita perihal lelaki simpanan Danar sudah beberapa hari ini tak habisnya ditayangkan di televisi. Perempuan mana yang masih bisa percaya dengan kesetiaan? Terlebih kesetiaan seorang pengusaha sukses yang juga politisi.
“Aku bisa membagi-bagikan negara ini kepada siapa saja termasuk kepada orang-orang asing tapi bagaimana bisa aku membagi-bagikan hatiku? Percayalah  hanya kamu seorang yang aku cintai.” Danar memohon, “semua berita itu, semuanya omong-kosong, mereka ingin menghancurkan aku. Dan aku  tidak akan pernah membiarkan cinta kita hancur. Tidak akan pernah.” Bisik Danar, tangannya bergetar memeluk Maya.
“Sudahlah, aku sedang tidak ingin mendengar apa pun.” Maya menepis, dilerainya pelukan Danar. Pelukan yang entah bagaimana membuat perutnya terasa mual. Tak sanggup Maya merasakan aroma tubuh Danar yang asing, terlalu banyak aroma tubuh lelaki di tubuh Danar.
“Maya, aku boleh kehilangan apa saja tapi aku tidak bisa kehilangan kamu.” Danar berbisik, suaranya disesaki getar.
Maya tak mau mendengar. Telinganya tersumbat kesedihan, rasa sakit, dan kebencian. Perempuan mana yang tak sakit, bila lelaki yang setiap hari didandadani dan dipenuhi segala kebutuhannya ternyata bermain asmara dengan banyak lelaki lain.
***
Sinar fajar merobek langit di ufuk barat. Kilaunya merangkul Bandung, mengusap dinding-dinding gedung. Melipur hati yang murung. Betapa lamban besok hari, betapa lama hari ini habis terlewati. Begitu yang dirasakan  Danar. Pedal gas sudah habis, tak bisa diinjak lagi. Wus! Hanya perasaan kosong yang berlari. Sepi. Sepi. Sepi.
Blaaaar!!!
Apa yang terlihat dari kaca depan mobil, kini bukan lagi bentang jalan. Mobil sudah oleng, berpaling dari jalurnya. Menuju beton pembatas jalan. Ban belakang meledak. Wajah-wajah di dalam mobil menjadi pucat, histeris, karut-marut. Danar mendelik, Maya terpejam ketakutan, Fiksi melotot dan menjerit.
Tangan kekar Danar, tangan yang bertahun-tahun dipakai menandatangani kontrak yang penuh kolusi, pencucian dana korupsi, dan penipuan kelas kakap lainnya, tangannya kali ini tak bermakna. Tak sedikit pun berguna. Kemudi yang diputarnya tak mampu mengubah arah. Dalam kecepatan maha tinggi, kekuatan sebesar apa yang harus dikeluarkan seorang lelaki untuk sekadar memutar kemudi?
Berat, sangat berat, bagaikan ada gunung dan setengah isi bumi di tangan Danar. Tenaganya tak kuasa untuk menahan waktu, tak sedikit pun kuasa mengalahkan kecepatan.
Bemper mobil mencium pembatas jalan. Suara kecupnya meledak, menegur partikel-partikel besi, batu, dan pasir setebal puluhan senti meter.  Serpihan besi, beton, plastik, dan kaca berhamburan di udara. Melayang di kekosongan, melukis langit dengan nuansa suram.
Tangan Maya terangkat di udara, mencari pegangan, rasa takut mencacah wajahnya.  Sabuk pengaman melilit perut tapi kepalanya tak tertahan. Diempaskan kecepatan sampai menunduk, menekuk, menumbuk dashboard mobil.
***
            “Ayah, besok kita jadi tamasya?” Fiksi menyeruak masuk ke dalam kamar.
            “Jadi dong, kamu sudah berkemas?” Danar segera menuju mulut pintu, tak ingin anaknya melihat ibunya menangis.
            “Bunda kenapa menangis?” Fiksi menunjuk ke arah Maya.
            “Ssssttt. Bunda lagi sedih, sekarang kita siapkan bekal buat besok yuk.”
            “Sedih kenapa Ayah?”
            “Mau tauuu aja.” Danar membopong Fiksi. Membawanya menjauh dari ruangan, agar tak mendengar suara isak ibunya, agar tak melihat kesedihan.
            Danar sendiri sudah jengah dengan kesedihan-kesedihan itu, kepedihan-kepedihan itu. Ia memang tidak bisa menghentikanya, tidak bisa. Ia hanya lelaki yang juga mencintai lelaki, pernikahannya dengan Maya hanyalah politik, hanyalah topeng demi meraup banyak suara. Hanya sebuah alasan demi tercapainya proses busuk dalam berdemokrasi. Masyarakat mana yang mau memilih calon homo? Tak ada!
Garis-garis retak di kaca depan melukis sambaran kilat, ribuan kilat. Menjalar  di semua bidang kaca, kemudian menghamburkan serpihnya, ke udara, ke dalam mobil, ke pelupuk mata, ke sudut bibir, ke landai jidat, ke lesung pipi, ke lubang hidung.
Serpih kaca sebesar beras, jempalitan di udara, hanya berjarak sejengkal dari mata Maya. Serpihan kaca lain yang lebih besar, menulis merah di keningnya. Darah meleleh, melukis mawar. Fiksi menjerit, serpihan kaca menggoreskan garis kecil di pipinya. Garis merah. Basah.
Puing-puing beton terburai, merayapi ketinggian. Melayang di udara, menerabas papan iklan, menerobos udara dingin. Menjadi pasir dan bersorai di atas aspal.
Lelaki dengan kaca helm terbuka di bawah jalan layang, seketika mendongak, mulutnya menganga. Sepeda motor di depan lelaki itu, melayang di udara, ban depannya saja yang menyentuh aspal, ban belakangnya nungging terangkat, direm mendadak, menghindari bongkahan beton yang menimpa jalan. Pengemudinya melayang di atas motor, terpental.
***
Pembatas jalan sudah rebah, menyerah pada benturan. Apa yang tampak dari kaca depan mobil yang sudah menjadi serpih, kini adalah langit pagi, langit paling kelabu. Mobil mendongak.
Sobekan panjang melukis jidat maya. Bulir-bulir merahnya deras melintas di mata, di pipi, di dagu, di dada. Bulir-bulir lainnya muncrat, bersekutu dengan serpih kaca jempalitan di kekosongan. Balon udara menggembung menutupi wajah Danar. Mobil kian mendongak. Langit kelabu tampak jelas di depan sana, di ketinggian sana. Nuansanya suram. Buram. Cekam.
Gugus langit berlukis serpihan kaca, pecahan besi, partikel plastik, dan bulir darah yang menggelinding di udara.
“Jangan gagalkan acara besok, hapus air matamu. Berkemaslah. Kita bicara lagi setelah kamu tenang.” Danar mengusap bulir bening di sudut mata Maya.
“Enyahkan tanganmu, aku tidak sudi lagi  tangan itu menyentuh bagian tubuhku yang mana pun!” Maya mendengus.
“Maya, sudah kubilang, semua berita yang kau lihat itu hanya serangan politik. Janganlah kau terlalu percaya.”
“Aku memang tidak percaya pada berita-berita itu seperti juga aku tidak percaya pada isi celanamu. Kamu pikir selama ini aku bodoh? Selama ini aku telah melihat gelagat busuk. Di celana dalam sialan itu, aku sering menemukan jejak sperma di bagian pantatnya! Menjijikkan!” umpat Maya, dingin.
Danar termenung, semua yang dikatakan Maya benar adanya. Ada banyak lelaki yang telah menitipkan benih di tempat yang salah. Ada banyak lelaki lain yang telah mengisap tubuhnya.
***
            Langit di depan kaca mobil yang sudah pecah, kini hilang. Mobil menukik, di bawah sana tampak lanskap kota, atap-atap yang murung, genting rumah yang bingung, dinding gedung yang linglung. Lanskap kota yang sekelebat saja berganti menjadi rona hitam aspal jalan. Mobil melayang, ingin mencium aspal jalan di bawah sana.
Serpihan kaca menyematkan dirinya di kepala Danar yang menyusup ke dalam kantong udara. Tangannya sekuat tenaga mencengkeram kemudi. Sekuat tenaga ia memutarnya, berharap segalanya bisa berbelok, bisa kembali, ke sana, ke waktu beberapa detik yang baru saja berlalu. Tentu tak bisa. Tidak akan pernah bisa.

cerpen absurditas malka

            Waktu tak acuh, terus saja ia berdetak-detak, 33 detik telah habis. Mobil mencium aspal, aspal memeluk mobil. Fiksi tak terdengar lagi menjerit. Maya tak bersuara lagi, rintihnya tenggelam ditelan dinginnya aspal. Danar mendelik, tatapnya kosong, tanpa cahaya. Belasan serpih kaca mobil, menghiasi wajahnya, sudut-sudut matanya sempat melihat Maya, terpejam dengan tetesan merah yang deras meninggalkan wajah. Lehernya tak berdenyut lagi, sedenyut yang lemah pun tidak. Dunia sempurna menjadi gelap. Kelam. Teramat sangat kelam.
***
            Di dalam rumah sakit, tubuh berbalut perban dan gipsum terbaring tak sadarkan diri. Tubuh malang yang terhubung dengan banyak kabel, 11 hari tak sadarkan diri. Danar masih hidup. Entah seberapa lama lagi.
Lelaki kemayu berdiri layu di dekatnya, wajahnya murung, mendung.  Setiap hari lelaki kemayu itu atas nama cinta, merawat Danar.
“Demi Tuhan, aku tak bisa hidup tanpamu sayang.” bisik lelaki kemayu.
Kecupan paling hangat, kecupan paling lembut rekah di dahi Danar yang dibebat perban. Cinta meleleh di kedua sudut matanya. Menjadi telaga, menggenangkan sunyi.


Bandung, 11 Agustus 2015

Artikel keren lainnya:

Belum ada tanggapan untuk "Cerita Gerakan Lambat (Cerpen Absurditas Malka)"

Post a Comment

Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar