oleh Absurditas Malka
Apa yang bisa dilakukan
seorang lelaki untuk orang yang dicintainya, ketika maut hanya berjarak setebal
rambut? Apa yang bisa dilakukan seorang lelaki, untuk mencegah bencana? Apa yang bisa dilakukan lelaki untuk lebih
lama bersama cinta, air mata?
***
Tiga detik setelah kendaraan
Danar memasuki jalan layang dari arah Gedung Sate. Mobil sedan bercat putih
susu, menyalip dari sebelah kanan. Suara mesinnya mendesis, lembut, sangat lembut.
Logo mahal terpampang di pantat mobil itu. Di belakang kemudi, Danar menelan
ludah. Entah seberapa banyak lagi proyek siluman harus dibuatnya untuk bisa
membeli mobil mewah itu? Entah pejabat negara mana lagi yang harus dijilatnya
untuk bisa membeli mimpiny aitu?
Danar melirik kaca spion,
terbayang wajah Johny, artis sinetron yang sudah menerima uang muka 33 juta
rupiah untuk menemaninya menginap di hotel, besok malam. Danar menelan ludah
lagi, berahi bergelegak di dalam dadanya.
Jalanan lengang, hari masih
sangat pagi. Danar menggenjot gas, mobil
melesat. Ia ingin hari ini segera berakhir, ingin segera besok, ingin keceriaan keluarganya segera
selesai, ia ingin segera meniduri Johny. Keceriaan keluarga yang baginya adalah
omong-kosong paling bolong.
Kecepatan bertambah, mesin
menderu. Mobil seakan melayang terbang. Kecepatan berada jauh di atas angka 100
kilometer perjam. Tetap saja, waktu di dalam dada Danar berdetak teramat sangat
lambat. Seakan tiada pernah bergerak. Seolah ia sedang menempuh perjalanan di lautan
lem paling lekat.
***
“Kau tahu sendirilah, Maya.
Peranku tidak hanya dalam dunia bisnis, aku harus ke dunia politik juga. Dan
kamu tahu, dunia politik itu kejam. Segala cara dilakukan untuk mengalahkan
lawan. Jadi semua berita itu, omong-kosong saja.”
“Omong kosong? Aku tidak
seharusnya percaya pada miliarder busuk seperti kamu ini! Siapa lelaki-lelaki
cantik itu?” Maya murka.
Berita perihal lelaki simpanan
Danar sudah beberapa hari ini tak habisnya ditayangkan di televisi. Perempuan
mana yang masih bisa percaya dengan kesetiaan? Terlebih kesetiaan seorang pengusaha
sukses yang juga politisi.
“Aku bisa membagi-bagikan
negara ini kepada siapa saja termasuk kepada orang-orang asing tapi bagaimana
bisa aku membagi-bagikan hatiku? Percayalah
hanya kamu seorang yang aku cintai.” Danar memohon, “semua berita itu,
semuanya omong-kosong, mereka ingin menghancurkan aku. Dan aku tidak akan pernah membiarkan cinta kita
hancur. Tidak akan pernah.” Bisik Danar, tangannya bergetar memeluk Maya.
“Sudahlah, aku sedang tidak
ingin mendengar apa pun.” Maya menepis, dilerainya pelukan Danar. Pelukan yang entah
bagaimana membuat perutnya terasa mual. Tak sanggup Maya merasakan aroma tubuh
Danar yang asing, terlalu banyak aroma tubuh lelaki di tubuh Danar.
“Maya, aku boleh kehilangan
apa saja tapi aku tidak bisa kehilangan kamu.” Danar berbisik, suaranya
disesaki getar.
Maya tak mau mendengar.
Telinganya tersumbat kesedihan, rasa sakit, dan kebencian. Perempuan mana yang
tak sakit, bila lelaki yang setiap hari didandadani dan dipenuhi segala
kebutuhannya ternyata bermain asmara dengan banyak lelaki lain.
***
Sinar fajar merobek langit
di ufuk barat. Kilaunya merangkul Bandung, mengusap dinding-dinding gedung. Melipur
hati yang murung. Betapa lamban besok hari, betapa lama hari ini habis
terlewati. Begitu yang dirasakan Danar.
Pedal gas sudah habis, tak bisa diinjak lagi. Wus! Hanya perasaan kosong yang
berlari. Sepi. Sepi. Sepi.
Blaaaar!!!
Apa yang terlihat dari kaca
depan mobil, kini bukan lagi bentang jalan. Mobil sudah oleng, berpaling dari jalurnya.
Menuju beton pembatas jalan. Ban belakang meledak. Wajah-wajah di dalam mobil menjadi
pucat, histeris, karut-marut. Danar mendelik, Maya terpejam ketakutan, Fiksi melotot
dan menjerit.
Tangan kekar Danar, tangan yang
bertahun-tahun dipakai menandatangani kontrak yang penuh kolusi, pencucian dana
korupsi, dan penipuan kelas kakap lainnya, tangannya kali ini tak bermakna. Tak
sedikit pun berguna. Kemudi yang diputarnya tak mampu mengubah arah. Dalam
kecepatan maha tinggi, kekuatan sebesar apa yang harus dikeluarkan seorang
lelaki untuk sekadar memutar kemudi?
Berat, sangat berat,
bagaikan ada gunung dan setengah isi bumi di tangan Danar. Tenaganya tak kuasa
untuk menahan waktu, tak sedikit pun kuasa mengalahkan kecepatan.
Bemper mobil mencium
pembatas jalan. Suara kecupnya meledak, menegur partikel-partikel besi, batu,
dan pasir setebal puluhan senti meter.
Serpihan besi, beton, plastik, dan kaca berhamburan di udara. Melayang
di kekosongan, melukis langit dengan nuansa suram.
Tangan Maya terangkat di
udara, mencari pegangan, rasa takut mencacah wajahnya. Sabuk pengaman melilit perut tapi kepalanya
tak tertahan. Diempaskan kecepatan sampai menunduk, menekuk, menumbuk dashboard mobil.
***
“Ayah,
besok kita jadi tamasya?” Fiksi menyeruak masuk ke dalam kamar.
“Jadi
dong, kamu sudah berkemas?” Danar segera menuju mulut pintu, tak ingin anaknya
melihat ibunya menangis.
“Bunda
kenapa menangis?” Fiksi menunjuk ke arah Maya.
“Ssssttt.
Bunda lagi sedih, sekarang kita siapkan bekal buat besok yuk.”
“Sedih
kenapa Ayah?”
“Mau
tauuu aja.” Danar membopong Fiksi. Membawanya menjauh dari ruangan, agar tak
mendengar suara isak ibunya, agar tak melihat kesedihan.
Danar
sendiri sudah jengah dengan kesedihan-kesedihan itu, kepedihan-kepedihan itu.
Ia memang tidak bisa menghentikanya, tidak bisa. Ia hanya lelaki yang juga
mencintai lelaki, pernikahannya dengan Maya hanyalah politik, hanyalah topeng
demi meraup banyak suara. Hanya sebuah alasan demi tercapainya proses busuk
dalam berdemokrasi. Masyarakat mana yang mau memilih calon homo? Tak ada!
Garis-garis retak di kaca
depan melukis sambaran kilat, ribuan kilat. Menjalar di semua bidang kaca, kemudian menghamburkan
serpihnya, ke udara, ke dalam mobil, ke pelupuk mata, ke sudut bibir, ke landai
jidat, ke lesung pipi, ke lubang hidung.
Serpih kaca sebesar beras,
jempalitan di udara, hanya berjarak sejengkal dari mata Maya. Serpihan kaca
lain yang lebih besar, menulis merah di keningnya. Darah meleleh, melukis
mawar. Fiksi menjerit, serpihan kaca menggoreskan garis kecil di pipinya. Garis
merah. Basah.
Puing-puing beton terburai, merayapi
ketinggian. Melayang di udara, menerabas papan iklan, menerobos udara dingin.
Menjadi pasir dan bersorai di atas aspal.
Lelaki dengan kaca helm
terbuka di bawah jalan layang, seketika mendongak, mulutnya menganga. Sepeda
motor di depan lelaki itu, melayang di udara, ban depannya saja yang menyentuh
aspal, ban belakangnya nungging terangkat, direm mendadak, menghindari
bongkahan beton yang menimpa jalan. Pengemudinya melayang di atas motor,
terpental.
***
Pembatas jalan sudah rebah,
menyerah pada benturan. Apa yang tampak dari kaca depan mobil yang sudah
menjadi serpih, kini adalah langit pagi, langit paling kelabu. Mobil mendongak.
Sobekan panjang melukis
jidat maya. Bulir-bulir merahnya deras melintas di mata, di pipi, di dagu, di
dada. Bulir-bulir lainnya muncrat, bersekutu dengan serpih kaca jempalitan di
kekosongan. Balon udara menggembung menutupi wajah Danar. Mobil kian mendongak.
Langit kelabu tampak jelas di depan sana, di ketinggian sana. Nuansanya suram.
Buram. Cekam.
Gugus langit berlukis
serpihan kaca, pecahan besi, partikel plastik, dan bulir darah yang
menggelinding di udara.
“Jangan gagalkan acara
besok, hapus air matamu. Berkemaslah. Kita bicara lagi setelah kamu tenang.” Danar
mengusap bulir bening di sudut mata Maya.
“Enyahkan tanganmu, aku
tidak sudi lagi tangan itu menyentuh
bagian tubuhku yang mana pun!” Maya mendengus.
“Maya, sudah kubilang, semua
berita yang kau lihat itu hanya serangan politik. Janganlah kau terlalu
percaya.”
“Aku memang tidak percaya
pada berita-berita itu seperti juga aku tidak percaya pada isi celanamu. Kamu
pikir selama ini aku bodoh? Selama ini aku telah melihat gelagat busuk. Di
celana dalam sialan itu, aku sering menemukan jejak sperma di bagian pantatnya!
Menjijikkan!” umpat Maya, dingin.
Danar termenung, semua yang
dikatakan Maya benar adanya. Ada banyak lelaki yang telah menitipkan benih di tempat
yang salah. Ada banyak lelaki lain yang telah mengisap tubuhnya.
***
Langit
di depan kaca mobil yang sudah pecah, kini hilang. Mobil menukik, di bawah sana
tampak lanskap kota, atap-atap yang murung, genting rumah yang bingung, dinding
gedung yang linglung. Lanskap kota yang sekelebat saja berganti menjadi rona
hitam aspal jalan. Mobil melayang, ingin mencium aspal jalan di bawah sana.
Serpihan kaca menyematkan
dirinya di kepala Danar yang menyusup ke dalam kantong udara. Tangannya sekuat
tenaga mencengkeram kemudi. Sekuat tenaga ia memutarnya, berharap segalanya
bisa berbelok, bisa kembali, ke sana, ke waktu beberapa detik yang baru saja
berlalu. Tentu tak bisa. Tidak akan pernah bisa.
Waktu
tak acuh, terus saja ia berdetak-detak, 33 detik telah habis. Mobil mencium
aspal, aspal memeluk mobil. Fiksi tak terdengar lagi menjerit. Maya tak
bersuara lagi, rintihnya tenggelam ditelan dinginnya aspal. Danar mendelik,
tatapnya kosong, tanpa cahaya. Belasan serpih kaca mobil, menghiasi wajahnya,
sudut-sudut matanya sempat melihat Maya, terpejam dengan tetesan merah yang
deras meninggalkan wajah. Lehernya tak berdenyut lagi, sedenyut yang lemah pun
tidak. Dunia sempurna menjadi gelap. Kelam. Teramat sangat kelam.
***
Di
dalam rumah sakit, tubuh berbalut perban dan gipsum terbaring tak sadarkan
diri. Tubuh malang yang terhubung dengan banyak kabel, 11 hari tak sadarkan
diri. Danar masih hidup. Entah seberapa lama lagi.
Lelaki kemayu berdiri layu
di dekatnya, wajahnya murung, mendung.
Setiap hari lelaki kemayu itu atas nama cinta, merawat Danar.
“Demi Tuhan, aku tak bisa
hidup tanpamu sayang.” bisik lelaki kemayu.
Kecupan paling hangat,
kecupan paling lembut rekah di dahi Danar yang dibebat perban. Cinta meleleh di
kedua sudut matanya. Menjadi telaga, menggenangkan sunyi.
Bandung, 11
Agustus 2015
Belum ada tanggapan untuk "Cerita Gerakan Lambat (Cerpen Absurditas Malka)"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar