IBX582A8B4EDEABB Sekian Puluh Tahun Kebakaran Hutan dan Lahan - Absurditas Malka (Tribun Jabar, Minggu 7 Desember 2015) | Info Absurditas Kata Sekian Puluh Tahun Kebakaran Hutan dan Lahan - Absurditas Malka (Tribun Jabar, Minggu 7 Desember 2015) - Info Absurditas Kata
Beranda · E-Mail Koran · Info Lomba · Kiat Menulis · Adsense · SEO Youtube · Jasa · Toko · Blog

Sekian Puluh Tahun Kebakaran Hutan dan Lahan - Absurditas Malka (Tribun Jabar, Minggu 7 Desember 2015)


Tangan orang-orang besar di Jakarta itu sakti.
Dia bisa menyalakan api di Riau tanpa harus beranjak dari ibu kota.
Asap, jelaga, dan arang kemudian mereka sihir menjadi uang.
Menjadi gunungan uang.
***

            Jakarta, gedung pemerintah, jam 7 pagi.
Di dalam gedung itu, di salah satu ruangannya - ruangan berisi Sang Jenderal dan Sang Ajudan yang beloon - riuh oleh percakapan asyik mengenai bakar-bakaran.
“Bapak tahu kan pembentukan lahan gambut itu memakan waktu  lama, sayang sekali kalau dibakar.”
            “Kamu seharusnya tahu, kelapa sawit yang nanti akan ditanam di atas lahan gambut itulah yang akan mengisi dompetmu, bukan gambut itu. Paham?” Sang Jenderal mendelik.
            “Berapa hektar yang harus kita bakar?”
            “Kita?! Kamu tidak perlu membakar berhektar-hektar. Buat saja titik-titik api kecil yang berpencar. Biarkan angin yang menyelesaikan sisanya. Paham?” Telunjuk Sang Jenderal menempel di jidat Sang Ajudan.
            “Itu bisa menghanguskan ribuan hektar, Pak?”
            “Itu tujuannya. Membakar seluas-luasnya. Paham?”
            “Bagaimana jika polisi menangkap kita?”
            “Hahaha. Mana berani tikus menangkap macan, paham?” Sang Jenderal mengusap deretan bintang di pundaknya. “kapan kamu akan mulai membakar hutan itu, paham?”
            “Baik Pak, sekarang juga.”
            Ada banyak cara untuk membakar hutan, dengan kayu api yang menyala, memakai korek gas, memakai apa saja yang bisa menghasilkan api tapi itu cara kuno. Bagi orang-orang Jakarta mereka tidak butuh api untuk menciptakan api.
            “Halo Jono, segera eksekusi. Sekarang.” Demikian ucap Sang Ajudan kepada seseorang yang dihubunginya lewat telepon. Ya, bagi orang Jakarta membakar hutan cukup dilakukan dengan menelepon.
            Lebih saktinya lagi, orang Jakarta bisa ongkang-ongkang kaki menonton peristiwa kebakaran, menonton asap yang menjalar sampai ke negara tetangga. Tak perlu resah akan masalah hukum, tak perlu dibuat cemas dengan undang-undang. Lagian cukuplah mencomot korban dari kalangan masyarakat untuk  sekadar memenuhi rasa keadilan di meja hijau dan di dalam bui.
***
            Jakarta, kedai kopi, sore di hari yang sama.
Beberapa lelaki yang kecanduan kopi, bercakap-cakap ringan perihal bakar-bakaran. Lelaki itu bukan orang biasa, mereka adalah para ahli di bidangnya masing-masing. Ahli hukum administrasi, ahli lingkungan, ahli tata negara, termasuk Sadun si ahli minum kopi.
            “Sudah kalian baca berita hari ini, Riau kebakaran lagi?” Tanya Pak Warde kepada rekan-rekannya.
            “Hahaha. Sudah Bang, baru saja aku mau bilang ke Abang. Di area perusahaan itu ya?” timpal Arfie.
            “Halah kau tahu sendiri kan Fie, perusahaan-perusahaan di Riau itu meskipun puluhan bahkan ratusan, induknya itu-itu juga. Perusahaan raksasa yang cerdas.”Air muka Pak Warde sangat masam.
            “Hahaha. Maksudnya, cerdas atau licik?” Sadun ikut menyambar.
            “Kau kira-kiralah sendiri apa maksudku. Ngomong-ngomong aku ini sudah kuesel banget dengan kebakaran hutan dan lahan. Sudah bukan bencana alam lagi, sudah sekian tahun kasus ini terjadi, berulang-ulang, tidak ada yang bisa menyelesaikan.” Pak Warde mendengus.
            “Bang, kalau diselesaikan kasihan nanti jenderal-jenderal itu. Bisa kering kantong mereka,” Arfie menyeruput kopi sejenak, “mereka memang membiarkan ini. Coba Abang lihat, selama sekian tahun itu, pemerintah hanya bisa melakukan tindakan yang sifatnya setelah peristiwa. Payahnya lagi mereka hanya bisa menangkapi kambing hitam. Aktornya tetap asyik-asyik-an di belakang meja. Nggak ada upaya nyata yang sifatnya pencegahan, iya kan?”
            “Siapa bilang, aku pernah melawat perusahaan-perusahaan itu, mereka sudah penuhi aturan yang berhubungan dengan kebakaran hutan, punya regdam, punya menara api, punya embung, dan lain-lain.” Timpal Sadun.
            “Oke, itu memang benar tapi belum semuanya dan masalah intinya bukan di sana. Sekarang analoginya begini, hukum untuk kasus kebakaran hutan ini ada tiga, pidana, perdata, dan sanksi administrasi. Nah maksudku itu, selama ini perusahaan hanya dijerati oleh undang-undang pidana dan perdata yang sifatnya setelah terjadi. Sementara undang-undang administrasi yang bersifat pencegahan tidak pernah bisa diwujudkan.”
            “Nah itu dia, aku sepakat!” Pak Warde memekik, “itu masalahnya, kalau pemerintah berani menerapkan undang-undang sanksi administrasi ini, habis itu perusahaan-perusahaan pembakar hutan itu. Selamatlah hutan kita.”
            “Gampang kali kau ngomong, kalau perusahaan-perusahaan itu dihabisi disanksi bahkan sampai dututup, bagaimana karyawannya, PHK?” ucap Sadun tersungut-sungut.
            “Hahaha, hahaha, hahaha. Tenang sajalah tidak akan terjadi dekat-dekat ini. Kebakaran hutan hari ini kan proyek Jakarta dan perusahaan swasta, rakyat yang jadi tumbalnya.”
            “Pak Sadun tahu ke mana taji negara?” Timpal Arfie.
            “Dibawa ayam! Hahaha” Sadun terbahak-bahak.
            “Hahaha.”
            Ketiga lelaki pecandu kopi terbahak bersamaan. Gelas-gelas kopi kini hanya menyisakan ampas. Setumpuk koran di seberang meja mereka, tertangkup kesepian, memampang asap, api, dan hutan yang terbakar di halaman paling depan.
***
           
            Riau. Tempat kejadian kebakaran hutan dan lahan.
            Tatap mata ditumpulkan asap, jarak pandang hanya beberapa depa. Pak Presiden loncat sana loncat sini, blusukan. Tubuh ringkihnya berkelit, berjingkit, berkelebat di celah asap. Dicarinya entah apa, mungkin sebab-sebab, mungkin akibat-akibat. Mungkin sesuatu yang lain.
            “Pak Presiden, pulanglah. Kami sudah menjadi arang,” Arang semak, pohon, dan rumput berbisik lirih, “kembalilah ke Jakarta dan kau akan menemukan segalanya di sana.” bisik mereka begitu sedih, seakan telah menanggung kesedihan berabad lamanya.
            Pak Presiden sibuk saja kian kemari, melihat, menilai, mengevaluasi. Jajaran aparat tertunduk, manggut-manggut, kelabakan. Belasan meter dari mereka, api menari-menari di sisa daun kering, angin tak lelahnya memboyong asap ke tempat terjauh.
***
            “Gawat Pak, Presiden blusukan ke TKP.” Sang Ajudan yang beloon gelagapan setelah ia melihat tayangan berita blusukan Pak Presiden.
            “Hahaha. Kamu tahu aku ini siapa? Biarkan saja dia tamasya. Paham?” Sang Jenderal tersenyum dingin.
            “Tapi Pak, bagaimana bila semua ini terbongkar?”
            “Tak tembak kepalamu! Mana bisa, paham?” Sang Jenderal melotot.
            “Kenapa nggak bisa Pak?”
            “Mustahil, kita dan sahabat kita di perusahaan-perusahaan raksasa itu dilindungi undang-undang. Paham?”
            “Gagal paham saya Pak.”
            “Katro tenan! Singkat cerita undang-undang kita sengaja tidak dirancang untuk menyelamatkan lingkungan hidup secara preventif! Pelaku pembakaran hutan yang dari perusahaan raksasa akan selalu selamat dari jeratan hukum, temasuk kita-kita ini orang penting di belakang perusahaan raksasa itu. Kalaupun dijerat hukuman pidana atau perdata, itu nanti kambing hitam yang mereka bui. Paham?”
            “Undang-undang, Permen, PP, buku panduan lingkungan hidup, dan aturan-aturan hukum lainnya tentang lingkungan hidup, semua itu lalu buat apa?”
            “Buat kita, buat proyek-proyek kita biar bernapas panjang, biar dompetmu itu selalu gendut. Paham?”
            “Tak paham, Pak. Eh, paham!”
            “Juancuk!” Sang Jenderal menggebrak meja, “Paham!”
***
            “Saya tadi tak sengaja mendengarkan percakapan kalian.” Tiba-tiba seorang bocah mendekati Pak Warde, Arfie, dan Sadun.
            “Percakapan mana yang kau curi?” Tanya Sadun.
            “Aku tidak mencuri percakapan, percakapan kalianlah yang mencuri kesunyian di telingaku.” Balas bocah itu.
            “Sudah, sudah. Siapa kau ini?” Pak Warde menatap si bocah.
            “Santiago, itu namaku.”
“O Santiago, kau dari mana?” Arfie menelisik si bocah, wajahnya bukan dari Indonesia.
“Aku berasal dari sebuah novel, Abang semua ini pernah membaca ceritaku.” Bocah bernama Santiago tersenyum.
“Santiago? Aku hanya ingat Santiago yang itu, Sang Alkemis, itu yang pernah kubaca. Apakah itu kau?” Pak  Warde garuk-garuk kepala.
“Ya itu saya.” Santiago mengangguk.
“Hahahaha. Hahaha.” Ketiga lelaki itu terbahak mendengar pengakuan Santiago.
            “Abang semua bolehlah tak percaya, tapi aku tahu masalah yang sedang kalian hadapi.”
            “Masalah apa?” Sadun mendelik.
            “Kasus kebakaran hutan dan lahan tidak akan pernah selesai karena undang-undangnya tidak dibuat untuk menyelesaikan itu. Begitu bukan Pak Warde?” Santiago menatap Pak Warde yang mengangguk, “karena itu kita harus membuat undang-undang itu agar perusahaan-perusahaan raksasa itu bisa diadili. Agar lingkungan hidup tetap terjaga. Begitu juga kan Pak Warde?”
            “Hahahaha.” Ketiganya menertawakan lagi Santiago.
            “Apa yang kalian tertawakan ini. Bila aku bisa keluar dari dalam buku dan berada di depan hidung kalian, kenapa tidak bisa kita membuat undang-undang itu? Sekarang siapa yang mau ikut denganku?”
            “Kita tidak sedang mabuk, kan?” Arfie menepuk-nepuk jidatnya.
            Sebagaimana orang-orang kena sihir, ketiganya menuruti semua yang dikatakan Santiago. Mereka mengikutinya ke istana negara. Sampai akhirnya mereka terasadar telah berada di dalam ruangan di dalam istana negara.
            “Selesai!” Santiago menyerahkan undang-undang baru yang sudah dibuatnya. Undang-undang lingkungan hidup yang dirancang untuk menyelamatkan lingkungan hidup bukan menyelamatkan perusahaan raksasa yang menghancurkan lingkungan hidup, bukan pula menyelamatkan jenderal dan pembesar yang bermain di belakang layar asap.
            “Nah ini yang kita cari.” Pekik Pak Warde sembari berjingkrak.
            “Lalu?” Sadun melongo.
            “Sekarang kita akan mengesahkan undang-undang ini.” Ucap Santiago.
            “Bagaimana caranya?” Arfie merengut.
            “Serahkan semuanya kepadaku. Di dunia ini aku bisa melakukan segalanya. Kalian tunggulah di sini dan beberapa menit lagi tontonlah televisi.” Santiago ngeloyor meniggalkan ruangan.
            “Kita ini sepertinya sedang mabuk, Bang?” Arfie ambruk di atas sofa.
            “Kurasa kita memang mabuk, coba kau nyalakan televisi itu.”
            Sadun meraih remot, dinyalakannya televisi, semua stasiun menayangkan berita yang sama, siaran langsung breaking news peresmian undang-undang baru tentang lingkungan hidup, tentang pencegahan kebakaran hutan dan lahan, tentang sanksi administrasi yang sifatnya preventif.
“Buset!” Pak Warde melonjak.
***
            Belasan tahun setelah Pak Presiden mengesahkan undang-undang lingkungan hidup yang baru, akhirnya peristiwa kebakaran hutan dan lahan bisa dicegah. Tidak sekadar diurusi setelah terjadi, tidak sekadar denda yang tak imbang, denda sekian miliar tak imbang dengan nilai yang diakibatkan kebakaran itu. Perusahaan-perusahaan maling akhirnya ditutup dan diadili. Begitupun para jenderal dan pembesar negara yang berada di belakang perusahaan itu, semua kena damprat. Lingkungan hutan kini terjaga dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat. Undang-undang yang hebat, tajam dan buas ke atas, tajam dan adil ke bawah.

cerpen tribun jabar, cerpen minggu

            “Santiago! Kenapa kau tak pulang-pulang?” Tanya Pak Warde belasan tahun kemudian.
            “Pulang ke mana?”
            “Ke rumah kau, ke dalam novel.”
            “Hahahaha. Hahaha. Kalian ini mabuk atau bagaimana?” Santiago terpingkal-pingkal.
            “Apa yang lucu bocah, kenapa kau menertawakan kami?”
            “Kalian masih belum sadar?”
            “Apa maksudmu Santiago?” Arfie menelisik.
            “Kalianlah yang harus pulang. Kalianlah yang berada di duniaku.”
***
            Asap tebal semakin tebal, api yang bersekutu dengan angin begitu rakus melahap daun-daun kering. Sebuah novel yang yang di dalamnya Santiago dituliskan, terjerembab di semak kering, setelah terjatuh dari ransel seorang pendaki. Sebelas meter dari novel itu, api menari-nari genit. Angin mendorongnya semakin mendekat.
            “Santiago, kenapa panas sekali di sini?” Pekik Pak Warde.
            Angin melemparkan api ke halaman pertama novel itu. Tak lama kemudian, api menelannya. Blub!

Bandung, 9 September 2015

* Absurditas Malka lahir di Karawang menulis cerpen, mengerjakan jasa transkrip wawancara, jasa instalasi hidroponik, dan bekerja sebagai blogger.

------
Sumber gambar: 
https://www.google.co.id/url?sa=i&rct=j&q=&esrc=s&source=images&cd=&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwi9o7qq5MfJAhUIkI4KHUdYCjsQjRwIBw&url=http%3A%2F%2Fislamedia.id%2Fkebakaran-hutan-lahan-dan-rumah-oksigen%2F&psig=AFQjCNGlUIfMpEyEdLqnHFMfjbeRrq-mxw&ust=1449510159801174

Artikel keren lainnya:

1 Tanggapan untuk "Sekian Puluh Tahun Kebakaran Hutan dan Lahan - Absurditas Malka (Tribun Jabar, Minggu 7 Desember 2015)"

Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar