Tangan orang-orang besar di Jakarta
itu sakti.
Dia bisa menyalakan api di
Riau tanpa harus beranjak dari ibu kota.
Asap, jelaga, dan arang
kemudian mereka sihir menjadi uang.
Menjadi gunungan uang.
***
Jakarta, gedung pemerintah, jam 7
pagi.
Di dalam gedung itu, di salah satu ruangannya - ruangan berisi Sang
Jenderal dan Sang Ajudan yang beloon - riuh oleh percakapan asyik mengenai
bakar-bakaran.
“Bapak tahu kan pembentukan lahan gambut itu memakan waktu lama, sayang sekali kalau dibakar.”
“Kamu seharusnya tahu, kelapa sawit
yang nanti akan ditanam di atas lahan gambut itulah yang akan mengisi dompetmu,
bukan gambut itu. Paham?” Sang Jenderal mendelik.
“Berapa hektar yang harus kita bakar?”
“Kita?! Kamu tidak perlu membakar
berhektar-hektar. Buat saja titik-titik api kecil yang berpencar. Biarkan angin
yang menyelesaikan sisanya. Paham?” Telunjuk Sang Jenderal menempel di jidat
Sang Ajudan.
“Itu bisa menghanguskan ribuan
hektar, Pak?”
“Itu tujuannya. Membakar
seluas-luasnya. Paham?”
“Bagaimana jika polisi menangkap
kita?”
“Hahaha. Mana berani tikus menangkap
macan, paham?” Sang Jenderal mengusap deretan bintang di pundaknya. “kapan kamu
akan mulai membakar hutan itu, paham?”
“Baik Pak, sekarang juga.”
Ada banyak cara untuk membakar
hutan, dengan kayu api yang menyala, memakai korek gas, memakai apa saja yang
bisa menghasilkan api tapi itu cara kuno. Bagi orang-orang Jakarta mereka tidak
butuh api untuk menciptakan api.
“Halo Jono, segera eksekusi. Sekarang.”
Demikian ucap Sang Ajudan kepada seseorang yang dihubunginya lewat telepon. Ya,
bagi orang Jakarta membakar hutan cukup dilakukan dengan menelepon.
Lebih saktinya lagi, orang Jakarta
bisa ongkang-ongkang kaki menonton peristiwa kebakaran, menonton asap yang
menjalar sampai ke negara tetangga. Tak perlu resah akan masalah hukum, tak
perlu dibuat cemas dengan undang-undang. Lagian cukuplah mencomot korban dari
kalangan masyarakat untuk sekadar
memenuhi rasa keadilan di meja hijau dan di dalam bui.
***
Jakarta, kedai kopi, sore di hari
yang sama.
Beberapa lelaki yang kecanduan kopi, bercakap-cakap ringan perihal
bakar-bakaran. Lelaki itu bukan orang biasa, mereka adalah para ahli di
bidangnya masing-masing. Ahli hukum administrasi, ahli lingkungan, ahli tata negara,
termasuk Sadun si ahli minum kopi.
“Sudah kalian baca berita hari ini,
Riau kebakaran lagi?” Tanya Pak Warde kepada rekan-rekannya.
“Hahaha. Sudah Bang, baru saja aku
mau bilang ke Abang. Di area perusahaan itu ya?” timpal Arfie.
“Halah kau tahu sendiri kan Fie,
perusahaan-perusahaan di Riau itu meskipun puluhan bahkan ratusan, induknya
itu-itu juga. Perusahaan raksasa yang cerdas.”Air muka Pak Warde sangat masam.
“Hahaha. Maksudnya, cerdas atau
licik?” Sadun ikut menyambar.
“Kau kira-kiralah sendiri apa
maksudku. Ngomong-ngomong aku ini sudah kuesel
banget dengan kebakaran hutan dan lahan. Sudah bukan bencana alam lagi,
sudah sekian tahun kasus ini terjadi, berulang-ulang, tidak ada yang bisa
menyelesaikan.” Pak Warde mendengus.
“Bang, kalau diselesaikan kasihan
nanti jenderal-jenderal itu. Bisa kering kantong mereka,” Arfie menyeruput kopi
sejenak, “mereka memang membiarkan ini. Coba Abang lihat, selama sekian tahun
itu, pemerintah hanya bisa melakukan tindakan yang sifatnya setelah peristiwa.
Payahnya lagi mereka hanya bisa menangkapi kambing hitam. Aktornya tetap
asyik-asyik-an di belakang meja. Nggak ada upaya nyata yang sifatnya pencegahan,
iya kan?”
“Siapa bilang, aku pernah melawat
perusahaan-perusahaan itu, mereka sudah penuhi aturan yang berhubungan dengan
kebakaran hutan, punya regdam, punya menara api, punya embung, dan lain-lain.”
Timpal Sadun.
“Oke, itu memang benar tapi belum
semuanya dan masalah intinya bukan di sana. Sekarang analoginya begini, hukum
untuk kasus kebakaran hutan ini ada tiga, pidana, perdata, dan sanksi
administrasi. Nah maksudku itu, selama ini perusahaan hanya dijerati oleh
undang-undang pidana dan perdata yang sifatnya setelah terjadi. Sementara
undang-undang administrasi yang bersifat pencegahan tidak pernah bisa
diwujudkan.”
“Nah itu dia, aku sepakat!” Pak
Warde memekik, “itu masalahnya, kalau pemerintah berani menerapkan
undang-undang sanksi administrasi ini, habis itu perusahaan-perusahaan pembakar
hutan itu. Selamatlah hutan kita.”
“Gampang kali kau ngomong, kalau
perusahaan-perusahaan itu dihabisi disanksi bahkan sampai dututup, bagaimana
karyawannya, PHK?” ucap Sadun tersungut-sungut.
“Hahaha, hahaha, hahaha. Tenang
sajalah tidak akan terjadi dekat-dekat ini. Kebakaran hutan hari ini kan proyek
Jakarta dan perusahaan swasta, rakyat yang jadi tumbalnya.”
“Pak Sadun tahu ke mana taji negara?”
Timpal Arfie.
“Dibawa ayam! Hahaha” Sadun
terbahak-bahak.
“Hahaha.”
Ketiga lelaki pecandu kopi terbahak
bersamaan. Gelas-gelas kopi kini hanya menyisakan ampas. Setumpuk koran di
seberang meja mereka, tertangkup kesepian, memampang asap, api, dan hutan yang
terbakar di halaman paling depan.
***
Riau. Tempat kejadian kebakaran
hutan dan lahan.
Tatap mata ditumpulkan asap, jarak
pandang hanya beberapa depa. Pak Presiden loncat sana loncat sini, blusukan.
Tubuh ringkihnya berkelit, berjingkit, berkelebat di celah asap. Dicarinya
entah apa, mungkin sebab-sebab, mungkin akibat-akibat. Mungkin sesuatu yang
lain.
“Pak Presiden, pulanglah. Kami sudah
menjadi arang,” Arang semak, pohon, dan rumput berbisik lirih, “kembalilah ke
Jakarta dan kau akan menemukan segalanya di sana.” bisik mereka begitu sedih,
seakan telah menanggung kesedihan berabad lamanya.
Pak Presiden sibuk saja kian kemari,
melihat, menilai, mengevaluasi. Jajaran aparat tertunduk, manggut-manggut,
kelabakan. Belasan meter dari mereka, api menari-menari di sisa daun kering,
angin tak lelahnya memboyong asap ke tempat terjauh.
***
“Gawat Pak, Presiden blusukan ke
TKP.” Sang Ajudan yang beloon gelagapan setelah ia melihat tayangan berita
blusukan Pak Presiden.
“Hahaha. Kamu tahu aku ini siapa?
Biarkan saja dia tamasya. Paham?” Sang Jenderal tersenyum dingin.
“Tapi Pak, bagaimana bila semua ini
terbongkar?”
“Tak tembak kepalamu! Mana bisa,
paham?” Sang Jenderal melotot.
“Kenapa nggak bisa Pak?”
“Mustahil, kita dan sahabat kita di
perusahaan-perusahaan raksasa itu dilindungi undang-undang. Paham?”
“Gagal paham saya Pak.”
“Katro
tenan! Singkat cerita undang-undang kita sengaja tidak dirancang untuk
menyelamatkan lingkungan hidup secara preventif! Pelaku pembakaran hutan yang
dari perusahaan raksasa akan selalu selamat dari jeratan hukum, temasuk
kita-kita ini orang penting di belakang perusahaan raksasa itu. Kalaupun
dijerat hukuman pidana atau perdata, itu nanti kambing hitam yang mereka bui.
Paham?”
“Undang-undang, Permen, PP, buku
panduan lingkungan hidup, dan aturan-aturan hukum lainnya tentang lingkungan
hidup, semua itu lalu buat apa?”
“Buat kita, buat proyek-proyek kita
biar bernapas panjang, biar dompetmu itu selalu gendut. Paham?”
“Tak paham, Pak. Eh, paham!”
“Juancuk!”
Sang Jenderal menggebrak meja, “Paham!”
***
“Saya tadi tak sengaja mendengarkan
percakapan kalian.” Tiba-tiba seorang bocah mendekati Pak Warde, Arfie, dan
Sadun.
“Percakapan mana yang kau curi?”
Tanya Sadun.
“Aku tidak mencuri percakapan,
percakapan kalianlah yang mencuri kesunyian di telingaku.” Balas bocah itu.
“Sudah, sudah. Siapa kau ini?” Pak
Warde menatap si bocah.
“Santiago, itu namaku.”
“O Santiago, kau dari mana?” Arfie menelisik si bocah, wajahnya bukan
dari Indonesia.
“Aku berasal dari sebuah novel, Abang semua ini pernah membaca
ceritaku.” Bocah bernama Santiago tersenyum.
“Santiago? Aku hanya ingat Santiago yang itu, Sang Alkemis, itu yang
pernah kubaca. Apakah itu kau?” Pak
Warde garuk-garuk kepala.
“Ya itu saya.” Santiago mengangguk.
“Hahahaha. Hahaha.” Ketiga lelaki itu terbahak mendengar pengakuan
Santiago.
“Abang semua bolehlah tak percaya,
tapi aku tahu masalah yang sedang kalian hadapi.”
“Masalah apa?” Sadun mendelik.
“Kasus kebakaran hutan dan lahan
tidak akan pernah selesai karena undang-undangnya tidak dibuat untuk
menyelesaikan itu. Begitu bukan Pak Warde?” Santiago menatap Pak Warde yang
mengangguk, “karena itu kita harus membuat undang-undang itu agar
perusahaan-perusahaan raksasa itu bisa diadili. Agar lingkungan hidup tetap
terjaga. Begitu juga kan Pak Warde?”
“Hahahaha.” Ketiganya menertawakan
lagi Santiago.
“Apa yang kalian tertawakan ini.
Bila aku bisa keluar dari dalam buku dan berada di depan hidung kalian, kenapa
tidak bisa kita membuat undang-undang itu? Sekarang siapa yang mau ikut
denganku?”
“Kita tidak sedang mabuk, kan?”
Arfie menepuk-nepuk jidatnya.
Sebagaimana orang-orang kena sihir,
ketiganya menuruti semua yang dikatakan Santiago. Mereka mengikutinya ke istana
negara. Sampai akhirnya mereka terasadar telah berada di dalam ruangan di dalam
istana negara.
“Selesai!” Santiago menyerahkan
undang-undang baru yang sudah dibuatnya. Undang-undang lingkungan hidup yang
dirancang untuk menyelamatkan lingkungan hidup bukan menyelamatkan perusahaan
raksasa yang menghancurkan lingkungan hidup, bukan pula menyelamatkan jenderal
dan pembesar yang bermain di belakang layar asap.
“Nah ini yang kita cari.” Pekik Pak
Warde sembari berjingkrak.
“Lalu?” Sadun melongo.
“Sekarang kita akan mengesahkan
undang-undang ini.” Ucap Santiago.
“Bagaimana caranya?” Arfie merengut.
“Serahkan semuanya kepadaku. Di
dunia ini aku bisa melakukan segalanya. Kalian tunggulah di sini dan beberapa
menit lagi tontonlah televisi.” Santiago ngeloyor meniggalkan ruangan.
“Kita ini sepertinya sedang mabuk,
Bang?” Arfie ambruk di atas sofa.
“Kurasa kita memang mabuk, coba kau
nyalakan televisi itu.”
Sadun meraih remot, dinyalakannya
televisi, semua stasiun menayangkan berita yang sama, siaran langsung breaking news peresmian undang-undang
baru tentang lingkungan hidup, tentang pencegahan kebakaran hutan dan lahan,
tentang sanksi administrasi yang sifatnya preventif.
“Buset!” Pak Warde melonjak.
***
Belasan tahun setelah Pak Presiden
mengesahkan undang-undang lingkungan hidup yang baru, akhirnya peristiwa
kebakaran hutan dan lahan bisa dicegah. Tidak sekadar diurusi setelah terjadi,
tidak sekadar denda yang tak imbang, denda sekian miliar tak imbang dengan
nilai yang diakibatkan kebakaran itu. Perusahaan-perusahaan maling akhirnya
ditutup dan diadili. Begitupun para jenderal dan pembesar negara yang berada di
belakang perusahaan itu, semua kena damprat. Lingkungan hutan kini terjaga dan
dimanfaatkan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat. Undang-undang yang hebat,
tajam dan buas ke atas, tajam dan adil ke bawah.
“Santiago! Kenapa kau tak
pulang-pulang?” Tanya Pak Warde belasan tahun kemudian.
“Pulang ke mana?”
“Ke rumah kau, ke dalam novel.”
“Hahahaha. Hahaha. Kalian ini mabuk
atau bagaimana?” Santiago terpingkal-pingkal.
“Apa yang lucu bocah, kenapa kau
menertawakan kami?”
“Kalian masih belum sadar?”
“Apa maksudmu Santiago?” Arfie
menelisik.
“Kalianlah yang harus pulang.
Kalianlah yang berada di duniaku.”
***
Asap tebal semakin tebal, api yang
bersekutu dengan angin begitu rakus melahap daun-daun kering. Sebuah novel yang
yang di dalamnya Santiago dituliskan, terjerembab di semak kering, setelah terjatuh
dari ransel seorang pendaki. Sebelas meter dari novel itu, api menari-nari
genit. Angin mendorongnya semakin mendekat.
“Santiago, kenapa panas sekali di
sini?” Pekik Pak Warde.
Angin melemparkan api ke halaman
pertama novel itu. Tak lama kemudian, api menelannya. Blub!
Bandung, 9 September 2015
* Absurditas Malka lahir di Karawang menulis cerpen,
mengerjakan jasa transkrip wawancara, jasa instalasi hidroponik, dan bekerja sebagai blogger.
------
Sumber gambar:
https://www.google.co.id/url?sa=i&rct=j&q=&esrc=s&source=images&cd=&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwi9o7qq5MfJAhUIkI4KHUdYCjsQjRwIBw&url=http%3A%2F%2Fislamedia.id%2Fkebakaran-hutan-lahan-dan-rumah-oksigen%2F&psig=AFQjCNGlUIfMpEyEdLqnHFMfjbeRrq-mxw&ust=1449510159801174
Membaca ini, terngiang-ngiang di telingaku suara Pak A..f
ReplyDelete