IBX582A8B4EDEABB Senja di "Kota Kang Emil" (Sepotong Catatan Harian) | Info Absurditas Kata Senja di "Kota Kang Emil" (Sepotong Catatan Harian) - Info Absurditas Kata
Beranda · E-Mail Koran · Info Lomba · Kiat Menulis · Adsense · SEO Youtube · Jasa · Toko · Blog

Senja di "Kota Kang Emil" (Sepotong Catatan Harian)

Absurditas Malka


Bila sampai saat ini kamu masih berpikir senja hanya indah di laut dan pantai saja, itu tak salah. Hanya kaki kamu saja yang kurang jauh melangkah. Hanya mata kamu saja yang kurang lebar merekah.
Sesekali, bertamasyalah ke kota tempat aku tinggal, kota yang di dalamnya cerpen ini aku tulis dan kini kamu baca. Bandung, kota kembang, Paris van Java, "Kota Kang Emil" kota yang pemimpinnya dicintai sebagian besar warganya, kota yang langka. Seribu satu kota. 
Datanglah. Sesekali saja, tinggalkan kota dan pekerjan-pekerjaanmu yang mencekik siang dan malam. Yakinilah, kamu bukan mesin dari sistem siapa-siapa, kamu butuh piknik karena kamu manusia, karena di hati kamu ada rindu. Sebagaimana di dalam dadaku rindu selalu saja membara.
Tak perlu membawa kendaraan pribadi, gunakan saja bus atau kereta api. Hanya saja hindari hari libur, hari Sabtu dan Minggu. Orang-orang dari luar kota sedang membludak dan berserak-serak, kamu mungkin akan kehabisan tempat. Datang saja di hari-hari biasa, agar kamu leluasa menikmati senja di setiap sorenya.
Agar kesunyian di batinmu terbebaskan dengan sempurna di sini di kota ini, kota yang bertahun silam ritme gerimisnya merobohkan nyeri di hatimu. Sekaligus menggandakannya dengan cara-cara yang tak bisa kamu terima.
***
            Aku yakini saja, kamu akan datang. Aku yakini juga Leuwi Panjang akan menjadi tanah yang pertama kau pijak ketika kamu datang. Antara taksi, ojek online, dan bus kota aku percaya kamu akan memilih yang ketiga. Temukanlah bus kota berwarna biru, bus Dago – Leuwi Panjang.
Bersabarlah, bus kota bukan sedan mewah milik pribadi, tak perlu kamu berapi untuk sekadar mendapatkan kursi. Belajarlah untuk rela menyerahkan kursi empuknya ketika masuk seorang lansia. Kamu masih terlalu muda untuk menjadi payah, biar saja yang tua yang mendapatkan segalanya. Biar bus kota itu menjadi milik mereka, toh dunia dan segala isi lainnya, sempat kita miliki berdua. Hanya berdua.
“Selamat datang di kota asmara.” Begitu Bandung akan menyambutmu, menyambut setiap orang, menyambut siapa saja yang kurang piknik maupun keseringan piknik.
***
Belasan langkah dari tempat kamu tertegun selepas berpisah dengan bus kota yang anggun, kamu bisa melihat kokoh dan ramahnya Monumen Perjuangan. Tanda cinta untuk para pahlawan, sekadar penghormatan untuk darah dan nyawa-nyawa yang puluhan tahun silam tumpah demi hatimu yang harus merdeka, demi cinta kita yang ingin kekal di republik ini.

senja di kota kang emil

Lupakan nama itu, tidak ada Pak Adang di kota ini, sopir pribadimu itu biarkan beberapa hari tiduran saja. Ada bike sharing yang bisa kamu sambangi, otot-otot betismu kurasa terlalu kaku. Bertahun-tahun ngendon di bawah meja. Kali ini ajari mereka mengayuh, menegur debu, mengurai keringat.
Teruslah mengayuh, menuju sejarah, menuju eloknya Gedung Sate di bawah sana. Di tengah saksi sejarah itu, tepat di antara keduanya, tengoklah ke kiri dan kanan, kuliner macam apa yang kiranya sudi kau abaikan? Singgahlah, pesanlah barang seporsi nasi bakar, seporsi sop durian, kemudian lengkapi dengan semangkuk kenangan yang jauh di dalam hatimu ku yakin selalu saja kau hidangkan di saat berhujan atau tidak berhujan. Hatimu yang tak pernah lengang, ada sekian banyak suara, ada sekian banyak rupa, ada berjuta semesta di dalamnya. Ada yang selalu meronta-ronta, kenangan.  
            Tak lama lagi senja. Kuharap kamu sudah tiba di lengkung agung Babakan Siliwangi. Di sana, ada genggam yang menampik lerai, di sepanjang lengkung jalannya yang meliuk turun. Bila kamu pernah kasmaran, tak ada yang lebih menggetarkan dari bergandeng tangan di antara jurai akar-akar pohon yang menggantung di udara, di sisian lukisan mural dan grafiti absurd yang bertebaran. Sampai di titik terendahnya, alir bersih sungai Cikapundung menyambutmu dengan arus yang berbinaran. Lemparkanlah karat di dalam hatimu ke dalam riaknya, akan kau lihat harapan di arus yang berlari ke tepian. Harapan yang diam-diam berlari ke dalam rongga dadamu yang bertahun-tahun kesepian.
            “Kawan setia setiap anak manusia adalah rasa sepi di dalam batin sendiri.” Setiap orang bersetia mengakrabinya, ada juga yang mati-matian berseteru meski pada akhirnya ia kalah dan menyerah.
***
Senja perlahan memeluk kamu. Segeralah bergerak ke tengah kota, tempuhi jarak magis antara Simpang Dago sampai Merdeka. Tempuhi semua jejak yang sempat kamu titipkan di kedai-kedai unik pinggir jalan. Tempuhi semua harapan yang sempat tertinggal di bahu trotoar. Tempuhi diri sendiri yang lengang, biarkan segala sesak perlahan memudar.
Tak ada dendam yang tumbuh di trotoar, tak ada luka yang menganga di tengah jalan, tidak pula di temukan duka di dinding gedung-gedung. Hanya asmara, hanya cinta, hanya suka cita yang mengalir di ruas Jalan Juanda. Tak pernah berubah, tak pernah berbeda sebagaimana bertahun-tahun silam ketika bahumu memeluk degup di jantungku, ketika kamu berbisik dalam getar yang tak bisa aku terjemahkan.

... Bersambung

Bandung, Juni 2016 (hari ini)

Artikel keren lainnya:

Belum ada tanggapan untuk "Senja di "Kota Kang Emil" (Sepotong Catatan Harian)"

Post a Comment

Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar