Absurditas Malka
Bila sampai
saat ini kamu masih berpikir senja hanya indah di laut dan pantai saja, itu tak
salah. Hanya kaki kamu saja yang kurang jauh melangkah. Hanya mata kamu saja
yang kurang lebar merekah.
Sesekali,
bertamasyalah ke kota tempat aku tinggal, kota yang di dalamnya cerpen ini aku
tulis dan kini kamu baca. Bandung, kota kembang, Paris van Java, "Kota Kang Emil" kota yang pemimpinnya dicintai sebagian besar warganya, kota yang langka. Seribu satu kota.
Datanglah.
Sesekali saja, tinggalkan kota dan pekerjan-pekerjaanmu yang mencekik siang dan
malam. Yakinilah, kamu bukan mesin dari sistem siapa-siapa, kamu butuh piknik
karena kamu manusia, karena di hati kamu ada rindu. Sebagaimana di dalam dadaku
rindu selalu saja membara.
Tak perlu
membawa kendaraan pribadi, gunakan saja bus atau kereta api. Hanya saja hindari
hari libur, hari Sabtu dan Minggu. Orang-orang dari luar kota sedang membludak
dan berserak-serak, kamu mungkin akan kehabisan tempat. Datang saja di
hari-hari biasa, agar kamu leluasa menikmati senja di setiap sorenya.
Agar kesunyian
di batinmu terbebaskan dengan sempurna di sini di kota ini, kota yang bertahun
silam ritme gerimisnya merobohkan nyeri di hatimu. Sekaligus menggandakannya dengan cara-cara yang tak bisa kamu terima.
***
Aku
yakini saja, kamu akan datang. Aku yakini juga Leuwi Panjang akan menjadi tanah
yang pertama kau pijak ketika kamu datang. Antara taksi, ojek online, dan bus
kota aku percaya kamu akan memilih yang ketiga. Temukanlah bus kota berwarna
biru, bus Dago – Leuwi Panjang.
Bersabarlah,
bus kota bukan sedan mewah milik pribadi, tak perlu kamu berapi untuk sekadar
mendapatkan kursi. Belajarlah untuk rela menyerahkan kursi empuknya ketika
masuk seorang lansia. Kamu masih terlalu muda untuk menjadi payah, biar saja
yang tua yang mendapatkan segalanya. Biar bus kota itu menjadi milik mereka,
toh dunia dan segala isi lainnya, sempat kita miliki berdua. Hanya berdua.
“Selamat
datang di kota asmara.” Begitu Bandung akan menyambutmu, menyambut setiap orang,
menyambut siapa saja yang kurang piknik maupun keseringan piknik.
***
Belasan
langkah dari tempat kamu tertegun selepas berpisah dengan bus kota yang anggun,
kamu bisa melihat kokoh dan ramahnya Monumen Perjuangan. Tanda cinta untuk para
pahlawan, sekadar penghormatan untuk darah dan nyawa-nyawa yang puluhan tahun
silam tumpah demi hatimu yang harus merdeka, demi cinta kita yang ingin kekal
di republik ini.
Lupakan nama
itu, tidak ada Pak Adang di kota ini, sopir pribadimu itu biarkan beberapa hari
tiduran saja. Ada bike sharing yang bisa
kamu sambangi, otot-otot betismu kurasa terlalu kaku. Bertahun-tahun ngendon
di bawah meja. Kali ini ajari mereka mengayuh, menegur debu, mengurai keringat.
Teruslah mengayuh,
menuju sejarah, menuju eloknya Gedung Sate di bawah sana. Di tengah saksi sejarah
itu, tepat di antara keduanya, tengoklah ke kiri dan kanan, kuliner macam apa
yang kiranya sudi kau abaikan? Singgahlah, pesanlah barang seporsi nasi bakar,
seporsi sop durian, kemudian lengkapi dengan semangkuk kenangan yang jauh di
dalam hatimu ku yakin selalu saja kau hidangkan di saat berhujan atau tidak
berhujan. Hatimu yang tak pernah lengang, ada sekian banyak suara, ada sekian
banyak rupa, ada berjuta semesta di dalamnya. Ada yang selalu meronta-ronta,
kenangan.
Tak
lama lagi senja. Kuharap kamu sudah tiba di lengkung agung Babakan Siliwangi.
Di sana, ada genggam yang menampik lerai, di sepanjang lengkung jalannya yang
meliuk turun. Bila kamu pernah kasmaran, tak ada yang lebih menggetarkan dari
bergandeng tangan di antara jurai akar-akar pohon yang menggantung di udara, di
sisian lukisan mural dan grafiti absurd yang bertebaran. Sampai di titik
terendahnya, alir bersih sungai Cikapundung menyambutmu dengan arus yang
berbinaran. Lemparkanlah karat di dalam hatimu ke dalam riaknya, akan kau lihat
harapan di arus yang berlari ke tepian. Harapan yang diam-diam berlari ke dalam
rongga dadamu yang bertahun-tahun kesepian.
“Kawan
setia setiap anak manusia adalah rasa sepi di dalam batin sendiri.” Setiap
orang bersetia mengakrabinya, ada juga yang mati-matian berseteru meski pada
akhirnya ia kalah dan menyerah.
***
Senja perlahan
memeluk kamu. Segeralah bergerak ke tengah kota, tempuhi jarak magis antara
Simpang Dago sampai Merdeka. Tempuhi semua jejak yang sempat kamu titipkan di
kedai-kedai unik pinggir jalan. Tempuhi semua harapan yang sempat tertinggal di
bahu trotoar. Tempuhi diri sendiri yang lengang, biarkan segala sesak perlahan memudar.
Tak ada dendam
yang tumbuh di trotoar, tak ada luka yang menganga di tengah jalan, tidak pula di
temukan duka di dinding gedung-gedung. Hanya asmara, hanya cinta, hanya suka
cita yang mengalir di ruas Jalan Juanda. Tak pernah berubah, tak pernah berbeda
sebagaimana bertahun-tahun silam ketika bahumu memeluk degup di jantungku,
ketika kamu berbisik dalam getar yang tak bisa aku terjemahkan.
... Bersambung
Bandung, Juni 2016 (hari ini)
Belum ada tanggapan untuk "Senja di "Kota Kang Emil" (Sepotong Catatan Harian)"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar