Maria, sudah resap ke merah darahkah, kata-kata yang kurajah di hatimu. Aku bukan siapa-siapa di belantara bahasa ini, hanya sebilah pedang rompang yang menolak untuk terikat di pinggang pendekar-pendekar, menampik untuk mengekor cerita besar, mengelak menjadi piaraan.
Aku akan tetap menyendiri sampai berkarat, menatap dunia, menerjemahkannya ke dalam kata. Pertarungan-pertarunganku di luar kuasa para pesakti yang berdoa dengan nalar, tidak meroboh siapapun. Tidak juga aku sekadar mengasah dan mengacung-acungnya tanpa pernah menebas. Aku bukan orang-orang itu, aku hanya gelintir yang melepas diri dari lingkar para penegak batas. Aku adalah angin yang bebas berlarian, dari pucuk hatimu ke pucuk hatimu yang lain. Merajahkan kata, terus dan terus.
Kita tidak bertarung melawan siapapun, kecuali diri kita sendiri dan setumpuk kemalasan yang semakin membengkak karena prasyarat logikal yang tak pernah menemu ketegasan. Karens isu-isu bidik yang gamang menemu arah tujuan. Karena setumpuk perisai yang hanya menjadi hias belaka. Aku bukan mesin-mesin, tidak ingin juga menjadi bal0k-balok statistik yang menyampaikan pesan-pesan robotis, bukan pula para pemecah makna. Karena di luar dunia bahasa ini, kesaktian kata, kearifan bahasa, bukan hanya milik mereka saja para dewa. Adalah milik siapa saja, bahkan manusia paling remah.
Segalanyabermula dari kata, dan bagaimanapun setiap orang adalah pemilik syah makna, siapapun mereka. Tanpa privelse, tanpa berhala, kita setara di belantara makna. Kata-kata itu Maria, akan berkali-kali lagi kurajahkan lagi di hatimu, di hati siapa saja.
Maria, dengar suara-suara. Itu, suara-suara yang mungkin sempat kita ucapkan, semacam kecam karena alur pikira yang tak beralasan, karena tindak yang pijakan. Biarkan suara-suara itu tetap bergema, toh kita pernah mengatakannya. Hanya saja, kita tidak sekadar berkata, melempar suara, memuntah isi kepala. Kita menghurufkan suara, berkelebat di belantara-belantara makna.
Dengan atau tanpa definisi, dibaca atau ditempat sampahkan, pada akhirnya kata-kata butuh dihurufkan. Writing for nothing... Kapanpun, di manapun, bagaimanapun. Maria, ingat sekali lagi, bahwasannya manusia dikutuk untuk menulis.
Info Absurditas Kata Lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Manusia Dikutuk untuk Menulis"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar