Tidak ada yang salah dengan kelakarmu tadi malam. Aku memang semakin redup, beruban di sana-sini dan lukisan usia yang dipulaskan waktu, semakin jelas terlukis di setiap lembar kulit, keriput. Aku bukanlah revolusi di tanah air ini yang selalu mati dalam rahim perubahan. Mati sebelum lemparan batu pertama dilontarkan ke kaca gedung negara. Aku adalah kepal hasrat para pemabuk yang limbung karena terlalu banyak mereguk kerinduan akan dirimu, terlahir di setiap malam, menjelma tua, mati dalam kesunyian dan kembali dihidupkan bersama cahaya matahari yang paling sepi di waku hari masih dini.
Atas nama segala keheningan berita televisi dan sepucuk surat yang mengabarkan getar jemari di belakang pelatuk, kubisikan kepadamu sebaris pengharapan “Menyerahlah", sebelum hatiku menjadi barisan tentara yang tidak pernah mengerti bahwa moral sudah mati ketika seragam belang mereka kenakan. Atas nama kesaksian yang berulangkali dihapuskan dan suara-suara yang dibungkam, kutuliskan kepadamu ayat-ayat gumam “Mengertilah…”
Masih di tempat ini, ketika tadi malam kita berkelakar, aku tuangkan selarik cahaya bintang di atas bayang-bayangmu. Semoga di seberang sana, kau menjadi terang. Semoga di bawah nisan, kau tetap tenang. Maria… Aku semakin kehilangan diriku di setiap kali kata-kata mempertemukan kita, tanpa makna. Dan aku tertegun, betapa hidup tidak lebih dari semesta sunyi yang tak berkesudahan.
Revolusi sudah menjadi tulisan nisan, hasrat ini, hasrat yang di setiap getarnya kita merampas penghidupan, semoga lekas menerka. Bahwa ada ribuan pasang mata berwarna kelam mengawasi di balik malam.
Info Absurditas Kata Lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Semesta Sunyi Tak Berkesudahan"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar