MULTIVERSUM
Hari ini aku terbangun lebih cepat, lebih gesit dari matahari dan pertanyaan-pertanyaanmu yang selalu berkelebat dalam gelap. Seharusnya aku terbangun dengan mata yang lurus menatap potret Julia Robert di belakang pintu atau jika aku menoleh ke sebalah kanan, akan terlihat jam dinding berwarna biru bergambar nyamuk yang terbunuh sebuah produk pembunuh nyamuk. Biasanya, selalu ada belasan sms dari pacarku yang semua berakhir dengan tanda tanya. Seharusnya begitu tapi tidak pagi ini.
“Selamat pagi Tuan, nanti jam 9 Kita harus sudah berada di hotel bintang lima untuk menandatangani MOU dengan perusahaan minyak dari Arab.”
“Busyeeet… siapa Kamu? Ngapain ada di kamar Saya?”
Perempuan itu tersenyum legit, “Saya asisten pribadi Tuan, nama Saya Ratna. Tugas Saya mencatat, mengingat dan melayani semua kebutuhan Tuan di mana saja, kapan saja. Kalau Tuan mau, Saya juga bisa memberikan pelayan plus-plus, tapi bayarannya juga plus-plus.” Perempuan bernama Ratna yang baru kali ini aku kenal, mengerlingkan mata.
“Apanya yang plus-plus?”
Ratna hanya tersenyum, semakin legit. Hari masih sangat buta, pikiranku juga masih gelap. Dunia macam apa yang kulakoni hari Minggu ini? Hari Minggu yang plus-plus?
“Sekarang hari Senin, Tuan. Sebaiknya Tuan segera bersiap untuk agenda pertama Tuan hari ini.”
“Aku ini memangnya siapa? Agendaku hari ini main ke rumah Agus, teman SMAku.” Aku sebenarnya heran, kenapa Ratna bisa membaca pikiranku, benarkah sekarang hari Senin?
“Kalender ada di atas meja, sekarang hari Senin.”
“Masa sih?” Aku menatap Ratna heran, “Sebentar, Ratna, sebentar. Sepertinya Kamu salah orang, Saya tidak pernah memiliki asisten, Saya juga tidak…”
“Terhitung sejak Tuan bangun tidur, Saya adalah asisten pribadi Tuan. Sejak itu juga Tuan bukan lagi si Rendi yang playboy itu, bukan Rendi Yudistira. Tuan kini menjadi pengusaha minyak yang akan menandatangani MOU dengan perusahaan minyak dari Arab. Nama Tuan sekarang adalah Johnatan.”
“Ha ha ha… Ratna Kamu salah orang, sudah pergi sana. Aku mau tidur lagi. Ha ha ha…”
Aku Kembali menarik selimut, aku terkaget, aku baru menyadari, saat ini aku terbangun di sebuah kamar mewah, bukan kamar rumah yang sempit, berkasur busa lepet dan hanya berselimut kain sarung. Aku berada di sebuah kamar super mewah, selimut bulu angsa super tebal, bantal super empuk, kasur super ngenyod, televisi layar datar berukuran besar, semuanya serba mewah.
“Kita berada di hotel bintang lima Tuan, pada jam 7.00 Kita harus sudah chek out. Waktu Tuan tinggal 30 menit terhitung dari sekarang.” Ratna melirik jam dinding.
“Apakah Aku bermimpi?”
“Tidak Tuan John, semua ini bukan mimpi.”
“Jan Jon Jan Jon, namaku Rendi, bukan Jon. Sok tau Kamu.”
“Waktu Kita tinggal 15 menit lagi Tuan. Silakan lihat KTP Tuan kalau tidak percaya.”
“Aku tidak percaya dan masih betah di sini.” Aku kembali tertidur, kepalaku terbanting ke belakang menimpa bantal super empuk, masa bodoh, aku tidak harus mengerti bagaimana aku bisa berada di sini. Itu bukan urusan!
“Tuan, waktu Kita sudah habis. Ayo, Kita tinggalkan kamar ini dan segera berangkat.”
“Bagaimana kalau Aku menolak?”
“Tuan tidak bisa menolak.”
“Aku bisa menolak.”
“Silakan tapi Tuan tidak akan bisa.” Ratna tersenyum, ditariknya dua buah koper roda, petugas hotel membuka pintu dari luar, tersenyum hangat, diraihnya kedua koper itu.
“Akhirnya, pergi juga asisten nyasar itu.” Aku tersenyum, punggungku merasa-rasakan lembutnya kasur super mewah, “Tuh kan, Aku bisa menolak, tidak harus pergi dari tempat ini. Dasar asisten bodoh!”
“Tuan John, waktu Anda sudah habis. Sebaiknya Tuan segera meninggalkan kamar ini.”
Dua orang petugas keamanan berdiri sopan di muka pintu, aku menatapnya heran. Aku tidak peduli, nanti juga petugas itu pergi sendiri, seperti Ratna.
“Kami tidak akan pergi, kecuali bersama Tuan.” Petugas satu mendekatiku, mereka seperti membaca pikiranku. Aku yang masih tiduran, diseretnya. Petugas dua memegangi kakiku, petugas satu memegangi tanganku. Aku diboyong keluar dari kamar, menuju lift, turun ke bawah.
“Kalian mau membawaku ke mana?” Aku meronta, mereka melepaskan tangan dan kakiku setelah berada di dalam lift.
“Kami diminta Ibu Ratna untuk mengantarkan Tuan ke lobi bawah. Mobil Tuan sudah menunggu di sana.”
“Ratna?”
Pintu lift terbuka, kedua petugas keamanan itu kembali meboyongku seperti tadi, kaki dan tanganku dipegangi oleh mereka. Aku dibawanya keluar dari lift, melewati ruang lobi, menuju beranda depan. Orang-orang menatapiku, mereka ada yang heran, ada juga yang tertawa, sebagian lain menatapku curiga. Di depan pintu kaca yang terbuka sendiri, Ratna tersenyum ke arahku.
“Silakan masuk Tuan.” Ratna menuruni anak tangga kemudian membuka pintu mobil, petugas itu melemparkanku masuk ke dalam mobil. Seorang lelaki di belakang kemudi, sudah terduduk tenang, menyapaku hangat.
“Selamat pagi Tuan John…”
“Pagi.” jawabku, kesal.
Dua petugas keamanan kembali ke dalam hotel, Ratna masuk ke dalam mobil, duduk di sebelah kananku.
“Ada yang mau Tuan tanyakan?”
“Tidak ada. Terimakasih…”
Sebenarnya ada sekian juta pertanyaan yang ingin kumuntahkan dari dalam kepalaku, tentang semua yang terjadi di pagi ini. Tapi, aku rasa Ratna sudah mengetahuinya seperti di kamar tadi.
“Ya sudalah kalau tidak ada yang ditanyakan.” Ratna tersenyum, kemudian terduduk beku.
Aku masih bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi? Siapa nama lelaki yang mengemudi itu?
“Faris, itu nama saya Tuan John.” Lelaki itu memerkenalkan dirinya.
Aku merogoh dompet di saku belakang, mencari KTP. Aku melihat nama yang tertulis di sana, bukan Rendi, iya dibaca bolak-balik juga memang bukan Rendi nama yang tertulis di KTP itu.
***
“Danur, bangun Kau.”
Lelaki berkemeja putih dengan tas kulit berwarna hitam, tersenyum kepadaku. Aku tidak mengenalnya, dia bukan lelaki yang pernah kulihat, bukan juga salah satu pekerja dari perusahaan minyak yang aku pegang, atau perusahaan minyak dari Arab itu.
“Siapa Lu?”
“Lah, dasar tukang molor! Gue Rio temen Lu, ayo bangun. Kita kudu kejar target, sebelum tanggal 30 bulan ini, Kita harus bisa menjual 30 unit mesin bubut.”
“Hah? Mesin bubut?”
“Caelah, kayak orang bego banget si Lu. Mandi sono, buruan!” Lelaki itu melemparkan handuk ke wajahku.
Aku membuka mata lebar-lebar. Kali ini aku tidak lagi berada di kamar super mewah hotel berbintang lima. Sepertinya aku berada di sebuah kamar kontrakan, di dalamnya hanya pemanas air, pemasak nasi dan radio butut juga sebuah komputer jadul.
“Eh, nama Gue siapa? Danur?” Aku melilitkan handuk ke leher, lalu membuka pintu, bermaksud pergi ke WC untuk segera mandi.
“Mau ke mana Lu?”
“Mandi? Ada yang salah?”
“Kamar mandinya di dalam, ngapain Lu ngeloyor ke luar?”
“Hah?”
Aku kembali menutup pintu. Aku ingin tertawa, aku ingin muntah, kemarin hari aku terbangun sebagai pengusaha minyak beserta segala kesenangannya. Pagi ini terbangun sebagai sales produk mesin bubut, bersama lelaki bernama Rio. Besok entah aku akan menjadi siapa?
“Rio, kita sudah jual berapa unit mesin bubut?” Aku berteriak dari dalam kamar mandi.
“Gue udah 7, Lu baru 2.”
Aku terpingkal sendirian di dalam kamar mandi, betapa absurd dunia ini. Bagaimana mungkin aku sudah menjual 2 mesin bubut, menjadi sales mesin bubut saja baru pagi ini.
“Okelah kalau begitu.” Gayung air terakhir, membasuh seluruh sabun dari tubuhku.
“Lama banget si Lu mandinya, kayak perawan saja.” Rio nyolot.
“Nyantai bro hari ini Kita akan mencapai target!” Jawabku percaya diri.
“Amin…” Rio mengacung tangan, lalu mengusapkannya ke wajah.
“Baju Gue yang mana?”
“Apa?”
Rio menunjuk tumpukan pakaian di dalam kardus di sudut kamar.
***
“Selamat pagi dunia.”
Pagi ini aku tidak harus menunggu hidup memberi kejutan, aku harus lebih awal memberi kejutan pada hidup. Entah apa lagi yang harus aku lakoni hari ini setelah kemarin menjadi pengusaha minyak, sales mesin bubut, hari ini?
Tidak ada siapa pun di dalam kamar, kali ini, kamarku terlihat lebih baik. Sepertinya bukan kamar kontrakan, aku menatapi poster pemain sepak bola di dinding kamar. Semuanya memakai kaos Liverpool. Aku tidak tahu siapa saja wajah di dalam poster itu, aku bukan maniak bola.
Kriiiiiiiing…
Kriiiiiiiing…
Ponselku berdering, sebuah nomor baru memanggil, entah siapa?
“Wan...lucky banget kamu.” Teriak seorang lelaki dari dalam ponsel.
“Siapa ya?” jawabku kalem.
“Jiah, nomer Aku gak di-save ya?”
“Maaf, semua nomer kehapus. Eh, kamu siapa?” sebenarnya tidak ada nomer yang kehapus, nomernya memang nomer baru di ponselku.
“Ini nomer Aku, Dedi. Eh, kapan nih kita makan-makan?”
“Makan-makan?”
“Pasti tadi malem ketiduran ya. Liverpool menang 3-2, Kamu menang taruhan sejuta. Udah diambil belum duitnya?”
“Liverpool? Menang?” Aku melirik ke arah poster-poster Liverpool yang menghiasi kamar.
“Iya, Liverpool lawan Blackburn, menang 3-2.”
“Horeeeeeeeeee!” Aku pura-pura bergembira.
“Eh, duitnya ambil dulu geeh.”
“Memangnya Aku taruhan sama siapa?”
“Beuh, aneh banget. Kamu taruhan sama Joko.”
“Oh iya, Aku lupa maklum baru bangun tidur. Joko ya?”
“Iya Joko, ambil duitnya sana. Kalau sudah diambil langsung ke rumahku ya, pesta.”
Tut tut tutttt…
Sambungan pembicaraan terputus, aku melemparkan ponsel ke atas kasur. Hari ini aku menang taruhan, aku harus segera mengambilnya. Tapi, Joko itu siapa?
Aku tidak pernah terbangun menjadi Rendi lagi, tidak pernah lagi menatap poster Julia Robert di belakang pintu, tidak juga kembali membaca pesan-pesan singkat dari pacarku yang selalu berkahir dengan tanda tanya.
Dompet kulit panjang tergolek di atas meja, aku meraihnya. Kukeluarkan KTP dari dalamnya, aku menatap nama yang tertulis di sana, Wawan Sandi.
Bandung 14 April 2012
Khazanah - Pikiran Rakyat
Belum ada tanggapan untuk "Multiversum (Khazanah / Pikiran Rakyat - Minggu, 15 April 2012)"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar