CINTA DAN KEKALAHAN
Merayakan kekalahan, itulah satu-satunya alasan yang aku miliki untuk tetap bernafas di pengap kota ini, Bandung. Lelaki berdasi belang menyebrang jalan, pengemis bersenjata kaleng bekas-bekas berkuasa di perempatan, deret mobil mewah di pelataran FO, muda-mudi di bangku kafe berkelakar. Kota ini, Maria… Masih menjadi asal yang lekat, muasal tentang segala cinta yang dari sekujur dirimu menyejuk, membening, menelaga.
Di benteng taman, di antara huruf D A G dan O yang sombong menjadi ikon Cikapayang, aku terduduk merenungi kedua bola matamu yang menjadi seribu - di kaca mobil yang melintas arogan. Adapun wajahmu adalah sejarah asap yang tak sempurna dihisap daunan, racun udara yang menjelaga di dinding metropolutan, adalah segala pengap yang hari ini kurasakan membekap.
Papan iklan ribuan watt tak pernah beristirahat, jam publik yang tidak begitu akurat, lampu merah geram menatap pertarungan para pengemudi yang berjibaku berebut ruas jalan. Hingar, hingar, hingar kota ini… Bandung. Di dalam urat-urat kepalaku, begitu kosong, darah mengental, ritus jantung berdegup melamban. Sementara dirimu, menari di punggung trotoar, memanggil mesin-mesin untuk menepi.
Maria… aku masih berada di tempat yang sama, di benteng taman Cikapayang, menikmati kesombongan. Melapal setiap huruf-huruf rajah yang mengabarkan kebosanan. Terlalu besar, kota ini… Bandung. Dan setiap orang di dalamnya adalah pilihan yang tak pernah usai, percabangan yang melulu berdekat pada keraguan, untuk menjadi Elysium atau Aspalunarun atas dirinya sendiri.
Lihat itu, Maria. Orang-orang bergegas dengan langkah menderas seakan kaki mereka diganduli berbagai macam jam yang tak pernah berhenti berdetak. Wajah-wajah mereka cemberut kalut, punggung menekuk takut. Di tangan mereka terjinjing semua barang yang dibutuhkan untuk menjalani hidup; tas kerja, tas belanja, dan entah apa lagi seolah hidup mereka sendiri bergantung pada barang yang mereka bawa.
Di jalan ini, aku masih menikmati berbagai nada. Partitur tak kasat mata yang menggerakkan orang-orang ke berbagai tujuan. Kota ini, semakin hari semakin sesak. Udara yang aku hisap kini, yang mungkin juga ikut kau hisap adalah kumpulan partikel sisa-sisa pembuangan; polutan yang dipuja-puji sebagai arus kemapanan.
Kota ini, Maria. Ingin sekali kutinggalkan agar kekalahan demi kekalahan tidak lagi menyesak dada dan kerongkongan. Namun, apa yang mereka punya tidak aku punya. Banyak yang aku punya juga tidak mereka punya. Harapan-harapanku ternyata juga tertanam di banyak trotoar dan garis jejalan. Beberapa berada di lampu taman dan di papan-papan iklan.
Akulah pemuda yang merasa asing menepi di kota sendiri. Ransel yang kubawa tidak berisi apa-apa kecuali sebundel harapan yang sebentar pendar sebentar padam. Di dalam ransel itu, Maria. Berbagai buku berjejal seakan dengan membaca dan duduk diam mendengarkan manusia bernama dosen itu meracau maka hidupku seketika berubah ringan. Tapi, tahukah kau? Tidak ada hal baru untuk menghadapi hidup yang mereka tawarkan. Pada akhirnya, aku harus mengemas langkahku sendirian; berjibaku kembali dengan deras derap kehidupan.
Maria… aku tak jua beranjak, masih di benteng taman Cikapayang, menikmati senja di kota yang semakin arogan. Percakapan demi percakapan dari orang-orang penikmat jalan berhamburan.
“BBM naik, ongkos angkot pun ikut naik, sementara uang jajan dari Emak tidak ikut naik karena katanya gaji Bapak tidak ikut naik,” seorang anak berseragam SMP merutuk di samping kawannya.
“Keadilan di negeri kita tercinta adalah barang jualan, kawan. Siapa yang mampu membayar paling mahal, ia lah yang akan mendapatkan,” sesosok mahasiswa mencibir, berorasi, tentang negeri, tentang masa depannya sendiri.
Bukan itu saja yang kudengar, Maria. Andai engkau tahu bahwa suara-suara yang lain berebutan menyerbu telinga. Aku ingin sekali tuli, ingin bisu, ingin lumpuh. Apa yang bisa aku lakukan setelah ijazah ada di genggaman tangan? Akankah aku berbaur dan menyatu dengan mereka penghuni kota bebal ini? Atau menciptakan jalanku sendiri? Aku bingung, Maria. Aku linglung.
Senja terus berlanjut sementara pikiranku kian kalut. Besok, Maria. Aku akan berdiri di podium, memakai toga, menerima tanda kelulusan yang menyatakan bahwa aku adalah mahluk berpendidikan. Tapi apa yang harus kulakukan kemudian? Tak ada jawaban. Engkau menghilang ditelan deru jalan dan kerlip lampu taman.
Bersama cinta, pertanyaan dan kekalahan. Aku berangkat mencari-carimu di setiap perempatan, di suara-suara gitar pengamen jalanan, di gemerincing kaleng para pengemis, di asap timbal yang dihembuskan mewah mesin-mesin, di antara keraguan yang semakin bersarang dalam pikiran, di tegap dinding-dinding kota yang sombong penuh kebosanan.
Absurditas Malka
edisi Mei 2012
Belum ada tanggapan untuk "Cinta dan Kekalahan (Majalah Youngster - edisi Mei 2012)"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar