“Tulang, pulanglah. Kalian berdua pulanglah!”
Bosan aku mengingatkan mereka, keduanya sama-sama gila. Mereka sebenarnya tidak gila, mereka hanya mencintai tarian, ketika mereka menari keduanya seakan-akan menjadi gila, hilang kesadaran, teramat sangat hanyut dalam tarian Tulang Tortor yang diiringain tabuhan musik Tulang Magondang.
Tarian dan musik kedua pamanku itu, kalau telah berpadu, akan menjadi ajang pertunjukan yang anggun, membuat mata siapa saja terpesona. Aku sendiri tidak pernah melihat mereka berdua menari, aku hanya mendengarnya dari cerita ibu. Tarian mereka bukan sembarang tarian, kata ibu tarian mereka disebut dengan nama-nama yang berbeda, Pangurason, Sipitu Cawan dan Tunggal Panaluan.
“Berisik kau, kau saja yang pulang! Aku sedang bermain bersama roh-roh, memanggil mereka, hormatlah kepada leluhurmu!” Paman Tortor melanjutkan tariannya, taria Pangurason yang dilakukan untuk memanggil roh leluhur.
Paman Tor Tor mendorongku, aku terpental ke pinggir jalan. Kakinya terus berjingkit-jingkit seirama tabuhan musik paman Magondang. Tangannya bergerak ritmis. Tubuhnya meliuk, bergerak ritmis, gemulai, memesona. Aku ingin menikmati tarian mereka yang baru kali ini kusaksikan, tapi aku datang ke tempat ini bukan untuk menonton, melainkan untuk membawa mereka pulang seperti yang dititahkan ibu.
Melihat mereka menari adalah perkara yang langka, begitupun bagi ibu. Terlebih tarian Sipitu Cawan yang hanya ditarikan ketika penobatan raja-raja saja. Di kampungku hanya ada dua rumah, rumah ibu dan rumah tetangga ibuku. Tidak ada raja di kedua rumah itu. Tetanggaku satu-satunya itu, mereka juga tentu tidak pernah melihat tarian Paman Tor Tor dan Paman Magondang, mereka sendiri tidak pernah terlihat keluar dari rumah, kecuali mereka mengintipnya dari balik tirai jendela.
“Kalau kamu melihat mereka menari Tunggal Panaluan. Berdoalah kepada leluhur, berlindunglah kepada dewa-dewa.” Aku teringat ucapan ibu, tarian yang disebutkannya itu entahlah tarian semacam apa.
“Menarilah terus kau, Tulang!” Aku mengumpat. Berlalu meninggalkan keduanya yang melayang-layang dalam kemabukan tarian. “Sialan kalian Tulang, hanya merepotkanku saja!”
Aku berjalan pulang, menyeret segala perasaan kesal. Pamanku, Tulang Tortor dan Tulang Magondang tidak memiliki pekerjaan apapun, kecuali menari dan seluruh usianya habis dalam tarian-tarian itu, tidak ada uang yang didapatkannya dari menari, hanya keringat, kemabukan dan sesuatu yang tidak dimengerti olehku.
“Mana Tulang?”
“Tulang sedang mabuk.”
“Mereka masih menari?”
“Tulang tidak akan berhenti menari, mereka dikutuk untuk selamanya menari, sampai mati pun akan menari. Malas aku membawa mereka pulang.”
“Hus! Durhaka kau! Janganlah kau mengumpat Tulang.”
Ibu selalu saja membelanya, membela mereka, para penari itu, orang-orang yang mabuk tarian itu.
Rumah tetangga ibuku kelihatan sepi, para penghuninya disebut-sebut sekelompok orang yang aneh. Aku sendiri tidak pernah melihat mereka menyembul dari mulut pintu, tidak sekali pun, kecuali kata ibu dan sesekali kata Tulang.
“Ibu, orang-orang di rumah itu, kenapa mereka tida pernah ke luar dari rumahnya?”
“Tidak tahu, apa urusanku sama mereka?”
Satu-satunya tetangga di kampungku adalah rumah itu, yang berbatasan, bersebelahan, hanya terpisah pagar bambu. Aku sekali pun tidak pernah melihat mereka berada di luar rumah, apalagi bertamu, mereka tidak pernah. Ibu pernah sesekali mengetuk pintu rumah mereka, ingin bertamu, ingin berbagi kuah sayur di dalam perigi. Tidak ada yang menyahut, sekian lama berdiri di beranda, pintu tetap tertutup.
“Orang-orang aneh, kenapa kita mesti bertetangga dengan mereka?” ucapku kepada ibu.
“Sudahlah, sebentar lagi malam. Kau siapkan makan untuk Tulang.”
“Aku menyiapkan makanan untuk mereka? Kenapa aku? Biasanya juga Ibu?” Aku menyanggah.
“Ibu ada pekerjaan lain, kamu saja. Cepat!”
“Alamak! Nahas benar nasibku, meski meladeni Tulang yang gila-gila itu.”
“Jaga mulutmu Batan! Mereka itu Tulangmu. Mengerti…”
Aku terdiam, berjalan kesal menuju meja makan, menyiapkan piring kosong yang tertangkup, dua gelas air hangat dan lauk pauk yang siap disantap. Ibu terlalu berlebihan memerlakukan Tulang.
“Tulang sialan! Ayo, cepat pulang. Nasi sudah kusiapkan.” Aku mengumpat kesal. Biasanya mereka pulang setelah malam menyempuh kampung dengan kegelapan yang sempurna.
Aku terduduk di beranda, menatapi jalanan di depan rumah. Tidak akan ada yang melintas malam atau pun siang, di kampung ini hanya ada aku, kedua pamanku dan ibu, juga orang-orang itu, tetanggaku yang tidak pernah kelihatan berkeliaran.
“Lama kali kalian Tulang!” aku semakin kesal.
Dari rumah tetangga terdengar suara-suara bergemuruh, seperti suara tabuhan. Suara-suara yang samar, aku memasang telinga tajam-tajam.
“Berisik sekali suara itu. Aku bosan mendengarnya.” Aku ingin menutup telinga, tapi percuma. Menutup telinga tidak akan mengakhiri kebisingan itu.
“Ibu, Tulang belum juga pulang. Bosan aku menunggu!”
“Tunggulah sebentar lagi, tidak lama lagi Tulang pasti pulang.”
Aku terus menunggu, hari semakin malam. Tulang tak terlihat datang, tidak ada seseorang yang menari di jalanan menuju rumah. Tidak ada yang datang, “Ke mana Tulang?”
Seharusnya aku tertidur ketika malam sudah semakin malam, melompati tengah malam. Kedua mataku yang sialan ini masih terjaga dan melihat bayang-bayang menari di kaca rumah tetangga.
“Itu kan tarian Tulang?” Aku menggosok bola mata.
Benar, itu tarian mereka yang tadi aku lihat, tarian pemanggil roh-roh, tarian yang elok memesona, tarian sihir yang membuat penyaksinya hanyut dalam irama. Itu tarian Tulang Tortor yang diiringi tabuhan musik Tulang Magondang. Tidak seorang pun yang akan bisa menguasai tarian itu selain mereka, di kampung ini memang hanya mereka yang bisa menari Pangurason.
“Kenapa mereka berada di rumah itu?” Aku semakin menyelidik, menatapi bayang-bayang tarian di tirai jendela kaca. “Benar, itu memang mereka.”
“Tulang Tortor!” Aku berteriak ke arah rumah tetangga.
Tidak ada jawaban. Bayang-bayang di tirai jendela kaca semakin lincah menari-nari, melihat bayang-bayangnya saja aku terpesona. Aku berjingkit, menyelidik rumah itu, berjalan mengendap dekati jendela kaca.
“Tulang?” Aku terkesima, dari balik jendela kaca itu aku melihat Tulang benar-benar ada di dalam sana. Menari bersama tiga orang asing yang rupanya baru aku lihat sekarang. “Tulang sialan! Di depan orang asing kalian mau menari, di depan aku dan ibu kalian tak pernah menari.” Aku terbakar kesal.
Tulang Tor Tor terlihat menari, semakin gila, semakin gila. Suara gemuruh itu rupanya tabuh-tabuhan musik yang dimainkan Tulang Magondang “Apa yang terjadi? Kenapa mereka berada di rumah itu?” Tanganku menarik jende kaca, aku mengintip dari celah yang menganga.
“Tulang! Keluar kau. Ayo, pulang!” Aku menggedor jendela kaca. Berteriak ke arah Tulang, memanggilnya untuk pulang. Suaraku tertelan tabuhan, tak terdengar. Aku kembali menggedor jendela kaca.
“Siapa kau?” Seseorang dari dalam ruangan berteriak penuh bentak.
“Aku Batan, aku ingin membawa Tulang-tulangku pulang.” Jawabku lantang.
“Anak sialan! Tulangmu tidak akan pulang. Mereka sudah menjadi penghuni rumah ini. Kamu pulang sajalah.” Jawab seseorang.
“Cih, sejak kapan Tulang berpindah rumah? Terlebih ke rumah aneh itu. Rumahnya adalah rumah Ibu.” Aku bergumam dan tiga orang asing seketika berdiri di depanku, mereka terlihat geram.
“Oh, akhirnya aku bisa melihat kalian. Tolong, kembalikan Tulang.”
Aku berteriak semakin lantang, tanganku menunjuk-nunjuk ke arah Tulang Tor Tor dan Magondang yang tidak berhenti menari, tidak peduli aku memanggil-manggilnya, tidak peduli kalau aku sangat berharap agar mereka segera pulang. Ketiga orang itu berdiri berjajar di mulut jendela.
“Tulang, pulanglah. Rumahmu bukan di sini.” Aku berteriak semakin kencang.
Dari dalam rumah, seketika berlarian sosok asing yang lain. Tidak hanya tiga orang tapi belasan yang dalam seketika menjadi ratusan, menjadi ribuan, mereka berdiri memagar, menutupi jalan keluar.
Tarian semakin penuh pesona, aku masih sempat melihatnya dari celah tubuh orang-orang yang semakin rapat memagar.
“Ibu, Tulang Tortor dan Magondang dicuri mereka!”
Aku menuduh ke arah ribuan orang-orang di rumah tetangga. Ibu hanya tersenyum, membawaku pulang.
“Biarkan Tulang Tortor menari ikuti irama tabuhan Tulang Magondang, kelak mereka akan kembali. Rumahnya bukan di sana, rumah kitalah tempatnya kembali.” Ibu menutup pintu.
Aku dalam geram menatap bayang-bayang ribuan orang, terpesona pada tarian Tulang Tortor dan tabuhan musik Tulang Magondang. Tarian pemanggil dewa-dewa, tarian sihir yang memesona.
“Lihat, itu tarian Tunggal Panaluan, tarian kematian.”
Ibu menunjuk ke arah jendela kaca.
Bandung, 18 Juni 2012
Cerpenisasi Tarian Tor Tor yang diklaim Malaysia
sumber gambar: ini
Belum ada tanggapan untuk "Tor Tor Magondang"
Post a Comment
Berkomentar memakai akun Blogger akan lebih cepat ditanggapi, berkomentar memakai akun Facebook tergantung radar :D Terima kasih telah berkomentar